HANCUR

55 4 3
                                    

Waktu itu hari beranjak sore. Masih banyak pasien berlalu lalang dan ada pula yang tengah duduk-duduk menunggu dokternya datang. Aku pun begitu. Menunggu seperti sesuatu yang paten. Hari itu jadwalku kontrol pasca operasi dan membawa hasil laborat. Aku tidak membukanya walaupun sebenarnya begitu penasaran dengan isinya. Kata suami "Biar dibuka dokternya saja." Aku manut.

Akhirnya giliranku tiba. Perawat memanggil namaku. Susah payah aku melewati beberapa orang. Ya, RS ramai sekali kala itu. Aku masuk bersama ibu mertua. Seperti biasa, beliaulah yang selalu menemaniku saat suami tdk bisa ambil cuti.
"Sore dok. Ini hasil laboratnya." Kataku seraya menaruh amplop coklat yang masih tertutup rapat.

Dokter begitu seksama membaca hasilnya. Beberapa waktu terdiam. Aku melihatnya dengan penuh tanda tanya tentang hasilnya.
"Emm sepertinya kok ganas ya. " Dokter diam lagi. Beberapa menit.
Jangan tanya perasaanku seperti apa. Aku diam. Mematung. Panas dingin. Percaya tidak percaya.
"Iya. Sepertinya ini ganas."
Aku seperti disayat parang ribuan kali. Saaakiiiittttt sekaliiiii. Periiihhhh. Duniaku runtuh saat itu juga, awal September 2021.

Dokter kemudian merujuk ke RS tipe A untuk mengecek lebih detail jenis tumor ganas itu. Sekaligus menyerahkan sepenuhnya penanganan medis selanjutnya.

Aku keluar ruang. Ibu mertua pamit ke kamar mandi. Kubuka dengan cepat hasil laborat di tanganku. Ahh bahasa medis. Aku tidak menyerah. Aku ambil handphone dan berselancar kata-kata yang aku tak paham maksudnya. Butuh waktu. Aku tidak menyerah walau kurasakan mataku sudah basah.
"Ya Allah....?" Aku menemukan benang merahnya. Sesak sekali. Dadaku seesaaakk sekali. Kepalaku mendongak memejamkan mata. Berharap tidak memecahkan tangis di tempat yang bukan seharusnya.

Padahal, jika boleh jujur. Aku ingin menangis sesenggukan dan sekeras-kerasnya saat itu juga. Jika perlu ingin kusobek-sobek kertas yg telah mengambil separuh dari nyawaku.

Ibu mertua kembali. Aku mengusap mata yang basah. Kelopak mataku mungkin bisa kering, tapi hatiku tidak.

Aku marah pada dunia. Aku marah pada takdir. Aku marah pada semuanya. Tangisku tak terbendung lagi saat suami pulang. Meski berusaha menenangkan, aku tahu dia juga terpukul. Emosiku kacau. Hanya air mata yang bisa berbicara. Bibirku kelu. Hatiku pilu.
Kenapa aku?
Apa salahku?
Apa dosaku?
Apakah ini hukuman?
Aku yang tidak punya gen kanker. Aku yang masih muda. Aku yang menjadi penyitas kanker pertama di keluarga besar.

Hingga akhirnya aku kelelahan sendiri mencari penyebabnya dan sampai detik ini aku tidak pernah tahu jawabannya.

Sukoharjo, 11 Maret 2022

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 11, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Pesan Mima untuk GiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang