° Rumah Sakit °

2.5K 244 27
                                    

Laksa terus mencoret-coret kertas bekas yang berisi hasil perhitungan soal matematika. Pandangannya kosong, menatap lantai seolah mencari jawaban. Sejak kemarin, tepatnya saat mendengar percakapan ibu di telepon, ia terus kepikiran akan kalimat yang terdengar. Sayang, tidak ada penjelasan yang muncul. Ibunya hanya menyuruh untuk istirahat, lalu keluar lagi ke tempat kerja.

Saat ia mencoba bertanya pada Mada, lelaki itu memilih mengangkat bahu dan menggeleng, padahal Laksa yakin bahwa kembarannya juga mendengarkan. Apa pun itu, ia tidak bisa tidur nyenyak dan berakhir letih sebelum waktunya di sekolah. Bahkan, bel istirahat yang seharusnya tak mendatangkan masalah tiba-tiba membuatnya pening. Sudah berulang kali Laksa mengumpat, tetapi lama-kelamaan ia dapat bersahabat dengan sakitnya.

"Ternyata di sini."

Laksa terkesiap, lalu mendongak. Ia tersenyum sekilas saat Mada menghampirinya. Kelas tengah sepi, semua pergi ke kantin. Hanya ia yang bertahan dengan kotak bekal yang masih utuh. Biasanya, meski tidak membeli apa pun di kantin, Laksa tetap ke sana untuk sekadar berbincang dengan kawan sekelasnya. Namun, hari ini ia tidak memiliki daya untuk itu.

"Ngapain lo ke sini? Nggak makan?"

Mada yang tidak pernah mau menerima bekal makanan bikinan ibunya segera menggeleng dan duduk di bangku kosong depan Laksa. "Lo sendiri kenapa nggak makan? Nunggu Adek suapin, ya? Sini Kakak, ak!"

"Jijik! Balik sana!"

Mada lekas meletakkan sendok berisi nasi yang sudah tersedia. Mungkin, tadi Laksa sempat ingin mengisi perut, tetapi diurungkan karena beberapa hal. Ia tidak mau banyak berpikir, yang jelas ini tidak bisa dibiarkan.

"Tadi pagi lo nggak mau sarapan. Janjinya sama Ibu bakal makan di sekolah sampai dibawain dua kotak. Sekarang gue lihat semuanya masih utuh. Lo lagi cosplay orang kelaparan apa gimana, sih?"

Laksa mendengkus. Ia segera menutup telinga menggunakan headset dan memutar lagu dengan volume yang cukup kencang. Tanpa menjawab pertanyaan Mada, ia menyandarkan kepala pada pinggiran kursi dan memejamkan mata.

"Ye, diajak ngomong malah tidur. Kalau emang se-nggak nafsu itu, bilang. Lo mau apa? Asal nggak aneh-aneh, gue beliin, tapi buat tambahan doang. Bekal dari Ibu harus tetap dimakan."

Masih tidak ada jawaban. Meski tengah duduk diam, Laksa merasa lemas dan terhuyung-huyung. Rasanya seperti ketika baru turun dari roller coaster. Alunan melodi klasik yang harusnya menenangkan malah mendatangkan dengungan yang luar biasa. Lelaki itu sontak mencengkeram celana, menyalurkan nyeri yang menjalar dari ujung ke ujung. Keringat dinginnya pun berdatangan. Sesak yang menghujam membuatnya bungkam dan tak tahu harus bagaimana.

"Sa, lo jangan kekanak-kanakan gini, dong. Ibu, tuh, udah capek banget mikirnya. Lo tau ...."

Mada mengulur kalimatnya. Ia memperhatikan gerak-gerik Laksa yang terlihat resah. Seketika ia bangkit dan berjongkok tepat di samping saudara kembarnya. Perlahan, lelaki itu menyentuh lengan Laksa dan menepuk-nepuknya lembut. Hawa panas yang cukup tinggi pun lekas menyengat dan mengganggu Mada. Ia sungguh tidak suka sensasi demikian.

"Sakit banget, ya?"

Laksa tidak ingin membuka mulut. Ia hanya menggeleng sambil memiringkan kepala, berusaha menghadap saudaranya. Mada pun mendengkus dan menepuk jidat. Buat apa ia bertanya? Toh, ia sudah tahu tabiat Laksa bagaimana. Lelaki itu tidak akan jujur atas tubuhnya sendiri.

"Lo tidur aja."

Mada segera beranjak dan melapor ke ruang guru. Pihak sekolah pun bergegas membawa Laksa ke rumah sakit. Meski seharusnya tetap diam di kelas, Mada merengek untuk ikut dan berkata bahwa ibu mereka belum tentu bisa menyusul. Jadi, hanya ia-lah satu-satunya keluarga yang bisa menemani.

Tentu para guru memiliki jawaban yang bisa mengantar Mada untuk tinggal di sekolah. Namun, lelaki itu bersikeras dan Laksa juga memintanya untuk terus di sampingnya. Alhasil, si kembar kini berdampingan di UGD. Selama guru mereka mengurus administrasi, Mada tak melepaskan genggaman tangan Laksa yang terasa panas dan lembap.

"Kamu sudah menghubungi orang tuamu, Da?"

"Tadi sudah SMS Ibu, Pak."

"Terus, gimana?"

"Belum dibalas."

"Ayahmu?"

Mada menelan ludah. "Saya tidak punya nomornya."

Wali kelas Laksa mengusap wajah dan mengacak rambut. "Bapak tunggu di luar kalau gitu, ya. Di sini bau obat, Bapak nggak betah."

"Balik ke sekolah aja nggak apa-apa, Pak. Kalau Bapak khawatir kami bolos, dihitung begitu juga nggak masalah, yang penting kakak saya nggak kenapa-napa."

"Bukan masalah itu. Saya stay di sini buat jaga-jaga kalau ada yang dibutuhkan. Orang tuamu belum datang. Kamu butuh wali."

"Saya bisa sendiri. Paling nanti kalau Laksa perlu dirawat, saya tinggal obrolin sama Ibu di telepon."

Tidak ingin lanjut berdebat, lelaki yang menemani Mada ke rumah sakit itu lekas mengiakan dan pergi terlebih dulu. Ia memutuskan demikian setelah mendengar suara ibu si kembar yang sudah menelepon balik. Mada pun segera menyalami dan berterima kasih, lalu kembali di samping Laksa.

Lalu-lalang UGD siang ini tidaklah parah, malah terhitung sepi--jika dibandingkan hari biasanya. Mada sudah hafal dengan nuansanya, jadi tidak begitu asing dan bisa duduk dengan nyaman.

Lelaki itu mengusap rambut Laksa yang basah. Ia lantas menyingkirkan poni depan yang menutup wajah dan menatanya rapi. Mada lekas menghela napas dan memangku dagu, pikirannya berlarian ke mana-mana.

"Hasil pemeriksaan lo kemarin belum keluar, ya?"

Mada bertanya pada semilir angin, sebab Laksa sedang terlelap dengan kening yang berkerut. Walau sudah diberi obat penurun panas dan diinfus, sepertinya lelaki itu masih merasakan sakit. Mada pun memijat pelipis saudaranya, berusaha mengurangi rasa yang menusuk, meski tidak banyak membantu.

"Katanya kalau kembar punya ikatan batin, tapi pas lo sakit, kok, gue nggak bisa ngerasain, ya, Sa?"

Lelaki yang terus mengusap wajah Laksa itu menguap, ia lelah. Perlahan, Mada menidurkan kepalanya di samping Laksa--memakai space yang tersisa. Namun, belum sampai menutup mata, ia kembali tersentak dan menoleh. Ibu telah datang dan menepuk bahunya cukup keras.

"Kenapa bisa begini?" tanya sang ibu panik. Napasnya kembang-kempis tak karuan.

"Ibu abis lari? Padahal Laksa udah nggak apa-apa, harusnya nggak perlu buru-buru."

"Ya, gimana nggak lari? Ibu khawatir."

Mada mengangguk. Ia segera berdiri dan membiarkan ibunya duduk di satu-satunya kursi yang ada di samping ranjang Laksa. Sontak fokusnya beralih ketika mendapati seorang lelaki berjalan ke arah mereka. Sepertinya, dua orang dewasa itu--dengan ibu--datang bersamaan. Mada langsung menggigit bibir dan beringsut-ingsut ke pinggir.

"Kenapa Ibu ngajak Ayah ke sini?"

🍃🍃🍃

🍃🍃🍃

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
My Sick Twin ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang