(song: Mariage D'amour by Paul de Senneville)
***
Zikri baru saja memasuki lorong menuju kelasnya ketika aku mendadak melesat menghampirinya dan melewati tubuhnya. Zikri beringsut ngeri, merasakan gelenyar aneh bercampur dingin saat 'bersentuhan' dengan badanku yang tidak punya kepadatan.
"Apa-apaan sih?" sergahnya antara kesal dan kaget.
"Ups," aku berakting seolah tidak sengaja. "Maaf, aku terlalu bersemangat waktu hendak menghampirimu."
Kening pemuda itu masih berkerut, tetapi kekesalannya memudar kala teringat kejadian kemarin.
"Btw, soal ucapanku kemarin . . . "
"Tidak masalah, aku sudah memaafkanmu," jawabku mendahuluinya. "Kejadian kemarin tidak mengubah fakta bahwa kita berteman. Dan salah satu syarat pertemanan adalah berani memaafkan, bukan begitu?"
Alis Zikri bertaut, tidak paham. Tapi ia tetap mengangguk.
"Sebagai gantinya, maukah kamu memainkan lagu di ruang musik sekarang? Hari ini ada rapat guru, jadi jam pelajaran pertama kosong."
"Apa? Tunggu-" Zikri terkejut dengan permintaan dadakan itu, namun aku langsung menarik tasnya dengan telekinetik. Pemuda itu setengah berlari terseret menuju ruang musik.
Sesampainya di sana, aku duduk manis seperti penonton yang menantikan pertunjukan. Zikri begitu canggung saat berpapasan dengan piano.
"Ada apa? Biasanya kamu akan bersemangat dan langsung memainkan lagu-lagu asing seraya memintaku menebak judulnya."
Zikri tampak gelisah.
"Atau kamu bingung memilih lagu? Kalau begitu coba mainkan lagu yang sama waktu pertama kali kita bertemu secara resmi."
"Eh?"
"Duh, masa lupa sih? Padahal itu pertemuan yang unik, lho. Kamu terjatuh sewaktu aku melamun di jalan. Kapan lagi ditabrak hantu kan?"
" . . . "
"Tapi aneh sekali, waktu aku menabrakmu tadi, aku malah menembus tubuhmu. Kemudian aku ingat bahwa tidak mungkin tubuh astral ini bisa menyentuh benda padat seperti makhluk hidup . . . "
Zikri mengalihkan pandangan sewaktu aku menatapnya penuh curiga.
Aku mendekatkan wajah. "Kamu bukan orang yang kutabrak waktu itu kan? Kamu adalah Zikri si pemarah yang yang mengepel lantai kemarin. Lalu siapa orang yang memainkan piano? Kami pasti saling mengenal karena aku bisa tahu lagu-lagu yang ia mainkan!"
"H-ha? Apa maksudmu? Aku ya aku, siapa lagi?"
Pemuda itu berusaha menyembunyikan kekagetannya. Sayang sekali, dia pembohong yang payah. Kegugupan terlalu jelas terlihat dari wajahnya.
"Katakan! Jika tidak aku akan menyeretmu ke halaman sekolah dan menggantungmu di tiang bendera!"
Ancaman yang kekanakan, namun kami berdua tahu bahwa itu tidak mustahil kulakukan. Pemuda itu mengepalkan tangan, masih bungkam.
Kesal, aku merentangkan tangan, membuat Zikri melayang beberapa senti. Pemuda itu menjerit takut.
"Tunggu!"
Sejurus terdengar seruan dari sudut ruang musik-tempat yang mustahil ada orang karena sejak tadi hanya kami berdua yang ada di sini. Aku menjatuhkan Zikri, terlalu terkejut dengan kemunculan sosok pemuda berpendar biru. Wajahnya tampak begitu akrab hingga membuatku tak mampu berkedip.
"Lama tidak jumpa, Analia."
Hanya dengan satu kalimat, dia berhasil membuat air mataku jatuh.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Baur
Kısa HikayeKumpulan cerpen yang genrenya tidak menentu. Bisa jadi drama, bisa jadi horor. Cover hanya pemanis, tidak selalu merepresentasikan isi. Story & cover by Dreki-kun