Chapter 13

889 92 2
                                    

Belum derma jempol nih? Aku aduin lho nanti ke Ray, huhuuuuu😥😥

⚠☠️️⚠️

"Ray. Mau ke kantin?"

Sunyi. Satu kalimat ajakan yang pendek dari mulut Halley itu membuat suasana kelas yang semula riuh bagai pasar malam yang mengadakan event bazar—berubah menjadi pemakaman. Rasanya seperti tersambar petir di siang bolong yang cerah.

Pasalnya, semua orang mengetahui kalau Ray itu sangat membenci Halley sejak beberapa hari yang lalu mereka lihat Ray mengumpat pada Halley terang-terangan karena Halley tak berhenti mengikutinya. Faktanya mereka tak tau kalau sebenarnya itu hanyalah ancaman ringan sebelum Ray jatuh ke tangan Halley.

"Mau." Ray mengangguk pelan dan berdiri dari kursinya.

Sunyi. Untuk kedua kalinya suasana kelas bagai malam di tengah makam.

"Apa lihat-lihat!!?" Ray mendelik.

!!

Semua sontak kembali melakukan aktivitas mereka masing-masing sambil salah tingkah. Niat mau membully karena Ray dekat dengan seorang gay, malah terhalang oleh rasa takut mereka kepada Ray. Entah kenapa tak ada satupun dari mereka yang berani mendekati atau bahkan mengajak ngobrol Ray. Saat pertama datang, Ray selalu tersenyum dengan ramah. Tetapi akhir-akhir ini senyumnya itu hilang. Hanya tatapan sinis yang tersisa. Mereka takut dengan tatapan itu karena seakan bisa membunuh.

"Gila! Rupanya Ray dekat dengan pria gay itu?"

"Aku pun tak menyangka. Padahal waktu itu Ray mengatainya dengan sadis, tetapi kenapa sekarang malah..."

"Atau jangan-jangan Ray... "

"Aku tak mau memikirkannya. Aku takut sekali pada pria kecil itu!"

"Benar aku juga."

***

Keadaan kantin sangat heboh. Padahal hanya tinggal mengantri dengan tenang sambil menunggu loyang makanan mereka sampai ke tangan, tetapi mulut mereka seakan tak ber-rem.

Semuanya sibuk dengan cerita masing-masing dan menjadi pencerita yang tak kenal putus ide. Bahkan Ray sampai bisa merasakan deru nafas dan detak jantung mereka semua berlomba-lomba minta ditusuk. Ray memejamkan matanya jengah.

"Berisik, ya, Ray." Halley terkekeh saat melihat raut wajah Ray yang sejak tadi menekuk.

"Iya," angguk Ray jengah.

"Kau duduk saja kalau lelah. Aku yang gantikan mengantri," tawar Halley dengan senang hati. Ray berdesis. Rasanya seperti diperlakukan seperti anak kecil saja. Jelas-jelas usianya jauh lebih tua tiga tahun.

"Tidak perlu!" Ray menggeleng. "Lagian mau duduk di mana? Semua penuh."

"Benar juga," angguk Halley. "Hei Ray! Bagaimana kalau kita antri sambil mengobrol?" tanya Halley antusias.

Ray berdecak. "Berisik begini memangnya akan kedengaran?" katanya. "Aku tidak bisa fokus."

Halley segera menginterupsi. "Dari tadi kita bicara, lancar-lancar saja, kan?" tanyanya memastikan. "Aku mendengar suaramu dan kamu mendengar suaraku. Kita bisa mengobrol dengan santai. Kalau masalah fokus, kau lihat saja wajahku terus. Pasti akan fokus," lirih Halley dengan makna tersirat. Ray tau akan hal itu.

"Itu kan maumu."

"Memang benar!" Halley mengaku sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal.

"Okee." Ray menghela pasrah.

"Apa makanan kesukaanmu, Ray?" tanya Halley tak menghilangkan raut semangatnya. Apapun pembahasan yang keluar, asal itu bersama Ray pasti tak akan membosankan ataupun membuat Halley malas. Dia selalu semangat empat lima. Ray adalah segalanya.

PSYCHOPATH || BL18+⚠Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang