10|Saudara

794 123 3
                                    

Hallo gaissssss, selamat membaca chapter yang lumayan panjang ini...

---

Remaja dan perkelahiannya, permusuhan karena hal sepele lalu berbaikan kembali. Siklus sederhana seorang remaja untuk menjadi dewasa. Bukankah hal seperti itu sudah biasa?

Giwang terlibat perkelahian dengan Yaksa, salah satu teman di sekolahnya. Tanpa ada yang menduga Amina melihat kejadian itu dengan mata kepalanya sendiri.

Disebuah ruangan yang tadi sudah dipinjam Bundanya, mereka di sana sekarang. Hanya Giwang dan Amina.

Robi mengurus Aldevan dan teman temannya yang lain, terutama anak yang bernama Yaksa itu. Sekolah menjadi sedikit menegangkan dan ramai dengan berbagai cerita tentang Giwang.

Amina duduk di sebuah kursi yang juga hanya ada satu di sana, menatap Giwang yang berdiri didepannya. Bajunya kotor dan lusuh, rambutnya lengket karena susu, wajahnya terasa nyeri dan terlihat bekas darah di sudut bibirnya. Tangan kanannya menahan sakit diulu hatinya, tapi Giwang tahu Bundanya tidak peduli akan hal itu karena dia tertangkap basah terlibat perkelahian, hal yang sangat Amina benci.

"Sudah berapa kali?" tanya Amina

"Giwang nggak pernah lawan, Yaksa yang selalu mencari masal-"

"Nggak perlu menyalahkan orang lain!"
"Bunda nanya sudah berapa kali Giwang berkelahi?"

"Giwang nggak berkelahi bunda, Giwang yang kena pukul, Giwang yang-"

"Yaksa, nggak mungkin dia mukulin kamu kalo nggak ada dasarnya"
"Kamu nggak boleh berkelahi apapun yang terjadi, bunda nggak suka dan udah sering kali mengingatkan tapi nggak kamu dengar!"

"Giwang dengar, Giwang nggak berkelahi, bunda tanya Theo aja. Dia-" ucapan Giwang terpotong setelah melihat tatapan Amina, "Maaf, Giwang salah"

Setelahnya mereka hanya berada di sana berdua, tanpa ada obrolan dan Giwang hanya menundukkan kepala. Ini adalah bentuk hukuman yang Bundanya berikan, Amina tidak akan membiarkan Giwang duduk atau meninggalkan tempat itu sampai dia rasa sudah cukup nantinya.

Giwang melewatkan pembelajaran, Amina sudah mengurus semuanya. Hampir tiga jam mereka berada didalam ruangan itu dan selama itu pula Giwang berdiri. Wajahnya sudah pucat karena lemas menahan sakit di tubuhnya.

"Bunda, Giwang udah boleh duduk belum?" tanyanya pasrah. Keringatnya sudah membasahi rambut dan bajunya

"Udah kapok? Masih mau berkelahi lagi? Bandel? Nggak mau nurut sama bunda, iya? Hm?"

"Nggak bund, Giwang salah, Giwang minta maaf" jawabnya dengan suara lirih.

Disisi lain, Aldevan sedang berhadapan dengan ayahnya.

"Devan, jelaskan sekarang!"

"Yaksa yang mulai duluan Yah, Devan nggak tau dia itu siapa. Tapi kata Theo anak itu memang sering cari masalah sama Giwang"

"Kenapa kamu nggak bantu Giwang? Ayah ajarkan karate untuk bela diri dan menolong orang, bukan buat gaya gayaan. Kamu lupa?"

"Ayah, Devan nolongin tapi nggak bisa bebas karena dipegangin..."

"Lain kali jangan sampai adikmu itu dipukul orang, bantu Giwang melawan. Urusan sekolah biar ayah yang urus nanti jadinya gimana. Tugas kamu cuma melindungi adikmu, dia anak yang berarti untuk bundamu"

Aldevan mengangguk.

Mereka lalu berjalan ke ruangan dimana Giwang berada. Ada sebuah kaca kecil disana, Aldevan mengintip dan melihat Giwang yang sedang berdiri.

Two Brothers : Escape Room Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang