Tepat setelah Ayana pulang dari rumah Abian, dia segera memboyong semua barang-barangnya ke kos-kosan barunya.
Dia sudah mantap akan tinggal sendiri di tempat yang sempit dan kumuh ini, namun untungnya sudah tidak lagi. Ken baru saja selesai membantunya menyulap tempat kumuh ini menjadi tempat yang bersih dan layak ditinggali.
Waktu sudah menunjukkan pukul empat sore, waktunya bagi Ayana untuk kerja.
"Ken, makasih ya, udah bantuin gue beres-beres," ucap Ayana sambil tersenyum simpul kepada cowok yang sudah bertengger di atas motornya.
"Hm, sama-sama. Yuk!" Ajak Ken yang terlihat sudah sangat siap.
"Tapi sebenarnya lo ga perlu anterin gue, kan deket. Nanti pulangnya lo ga usah jemput."
"Tapi gue tetep mau jemput lo," seru Ken mantap.
Ayana menghela nafasnya setengah kesal. "Please, Ken! Kalo kaya gini kapan gue mandirinya?"
Bukannya menjawab protes kesal Ayana, Ken malah dengan sengaja mengacak-acak tatanan rambut gadis itu sambil tersenyum gemas.
"Udah Ayo naik," perintahnya.
Jujur saja Ayana ingin sekali belajar mandiri, dia tidak ingin menjadi beban bagi siapapun lagi dan inilah sebabnya gadis mulai mencari kerja. Dia ingin melepaskan ketergantungannya pada kebaikan Ken dan sahabat-sahabatnya.
Terutama Abian, Ayana yang tadinya selalu bisa berdiri dalam kondisi apapun karena ada kaki Abian yang menopangnya. Kini bertekad untuk tidak lagi berharap apapun lagi padanya. Mulai sekarang Ayana akan tetap berdiri walaupun hanya dengan satu kaki, kakinya sendiri. Apapun yang terjadi, Ayana harus bisa mengurus hidupnya sendiri.
Mereka sampai di sebuah kafe milik Iqbal. Ayana segera turun dari motor Ken dan berterima kasih padanya.
"Makasih," ucapnya.
"Gue tinggal gapapa kan? Ada urusan soalnya,"
Ayana mengangguk ringan.
"Telepon gue kalo ada apa-apa." Setidaknya itu adalah kalimat terakhir yang Ken katakan pada Ayana sebelum dia pergi dan Ayana segera masuk ke dalam.
Seperti yang sudah Ayana bayangkan, bekerja sebagai waitress memang tidak berat. Kelihatannya mudah, namun juga cukup melelahkan. Dia harus mondar-mandir dari satu meja ke meja yang lain untuk menanyai dan mencatat apa yang akan dipesan oleh pelanggan.
Ayana mencuri istirahat ketika pelanggan yang mulai sepi. Dia duduk di sebuah bangku untuk mengistirahatkan kakinya yang lelah. meskipun lelah, Ayana tetap merasa senang karena ini pertama kalinya dia bekerja dan semua orang disini juga memperlakukan Ayana dengan sangat baik.
"Gimana, ada masalah disini?"
Ayana segera menoleh begitu mendengar suara itu dan mendapati Iqbal yang bergabung duduk di sampingnya.
"Eh! Enggak kak, gak ada masalah kok."
"Pasti capek ya? Keliatannya si emang gampang, tapi namanya orang cari duit dimana-mana pasti cape." celoteh Iqbal yang berusaha membuat Ayana tetap semangat.
"Iya, ternyata nyari uang itu capek ya kak," sahut Ayana menyetujui pernyataan Bos-nya.
"Ngomong-ngomong, bokap lo kerja apa?"
Ayana terdiam sejenak." Ayah aku udah gak ada kak," jawaban sambil tersenyum.
"Eh sorry, sorry banget ya, gue gak maksud." Cowok itu jadi kelihatan panik karena merasa bersalah telah menanyakan hal yang tidak seharusnya dia tanyakan.
"Iya gak apa-apa kok, kak. Santai aja."
"Gue ceritain nih, kafe ini tu dulunya gedung kosong. Bokap gue dulu tukang mabok, tukang judi, nyokap gue aja sampe kabur ngadepin bokap gue yang temperamental," jelasnya dengan ekspresi yang dibuat seperti sedang membagikan sebuah leluconnya. Terus dengan senyum konyolnya. seolah tidak pernah ada bekas luka dari cerita yang ia sampaikan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Let Me Down
Roman pour Adolescents"Lihat, aku butuh tempat untuk bersandar, bahu yang menerima tangisku, dan pelukan yang mendengarkan keluhku. Tapi dimana kamu?" . . . . . . Boleh follow dulu lah sebelum baca, biar lebih akrab sisss (◍•ᴗ•◍)❤ Boleh komentar tapi gak jahat. Dilarang...