Ruu berlari secepat yang ia bisa menuju gerbang sekolahnya. Semalam gadis itu lupa menyetel ulang jam weker yang membuatnya jadi bangun kesiangan. Sementara itu Bintang sudah lebih dulu berangkat sehingga ia harus ke halte dan menaiki angkutan umum. Walau begitu ia tak bisa mengejar keterlambatan dari ulahnya sendiri.
Sekarang Ruu tengah berdiri di depan pintu gerbang sekolahnya yang sudah tertutup rapat. Ia mendecak, kalau begini Ruu jadi bingung harus bagaimana, apa ia pulang lagi saja? Satu alfa tidak akan membuatnya di keluarkan bukan, Ruu menggeleng sepertinya bukan pilihan tepat.
Cewek itu jadi melangkah mundur, memindai bangunan sekolah yang sudah berumur itu lalu berjalan memutar. Ia ingat seseorang pernah datang terlambat dan menggunakan jalan masuk lain, Ruu meyakinkan diri mungkin saja ia juga bisa melakukannya.
Ruu mencoba mengingat letak gedung Lab. Biologi yang kalau dilihat dari luar sekolah begini jadi terasa membingungkan. Kenapa Lab Biologi? Ya karena tempat itu sudah dipastikan sepi akibat gedung yang sudah alih fungsi. Walau begitu dia masih perlu berhati-hati, mengingat Pak Adi pernah muncul di sana secara tiba-tiba.
Saat sampai di tempat yang diperkirakan, Ruu berhenti. Gadis itu ternganga melihat betapa tingginya dinding yang harus ia panjat agar bisa masuk ke dalam sekolah.
Melihat tak ada harapan cewek berpipi bulat itu jadi menekuk wajah putus asa, ia memutar tubuh memilih pada rencana awalnya saja—pulang ke rumah, bertepatan saat sosok jangkung yang tadinya tengah berlari kencang jadi berhenti mendadak hampir menubruk gadis itu.
“Ngapain di jalan sih!” kata Raka sudah emosi mengingat hari ini ia juga terlambat.
Ruu yang terkejut jadi melotot dan mencibir kecil. “Ya lo juga ngapain lari-lari!” katanya tak kalah ngegas.
Raka agak menarik diri terkejut, “Gue? Dikejar ibu-ibu Komplek karena terlalu tampan,” sahutnya percaya diri.
Ruu hampir saja mengumpat. “Hn, soalnya yang nganggap lo tampan ibu-ibu Komplek doang,” balasnya sinis.
Raka mencibir, “Dihh, syirik aja lo. Yang penting ada yang mengakui ketampanan gue kan.”
Ruu merotasikan bola matanya malas, “Serah lo aja dah.”
“Yaudah sono lu,” kata cowok itu seraya menyeruak maju hingga menyenggol bahu kiri Ruu dan membuatnya tersingkirkan begitu saja.
Ruu mendengus, berbalik kemudian berjalan cepat lalu tanpa kata menendang belakang lutut Raka hingga cowok itu hampir jatuh tersungkur.
Raka menengok dengan kesal, untung saja tadi refleksnya bagus sehingga hanya satu lutut dan kedua tangannya yang menyentuh tanah. Cowok itu berdiri, menepuk-nepuk kedua tangannya yang kotor karena tanah. Ia menggeram sebal, kemudian mengangkat kedua tangan diudara lalu meremasnya gemas ingin mencakar pipi bulat cewek itu.
Ruu menjulurkan lidah membalasnya, ia mengibaskan rambut sebahunya tak peduli. “Makanya gak usah nyari perkara. Udah datangnya telat lagi, sekarang malah ngajak ribut,” katanya mengomel.
Raka mendelik, “Ngaca! Lo pikir lo sekarang nggak telat?” tanyanya balik dengan emosi.
“Beda. Gue baru sekali,” balas cewek itu ringan.
Raka mendecih sinis, “Tapi kalau ketahuan nama lo dua kali muncul di buku hitam.” Raka melipat tangan di depan dada terkekeh merasa menang, melihat gadis itu menoleh dengan mata melebar sadar.
“Gue waktu itu lolos dan nggak nulis nama di buku hitam,” sambung cowok itu kembali menegaskan membuat Ruu mengatupkan bibir tertohok keras.
Melihat Ruu yang terdiam dengan raut wajah mengeruh menahan kesal membuat salah satu sudut bibir Raka terangkat.
KAMU SEDANG MEMBACA
It's Okay
Novela Juvenil[Slow Update] [R 13+] Blurb: Ruu datang ke Jogja untuk bertemu kembali dengan teman masa kecilnya. Bintang, si cowok dingin yang irit bicara itu sudah lama ia taksir diam-diam. Kedatangan Ruu sebagai siswa angkatan baru di sekolah Harapan Sakti mem...