Pertemuan dimulai dengan formalitas seperti biasanya dari tuan rumah.
Beberapa Werewolf yang hadir tampak mendengus cenderung meremehkan ketika perwakilan vampir memulai diskusi menjelaskan posisi mereka, dan mengajukan apa yang mereka sebut dengan rencana gencatan senjata dengan pihak lawan.
Bangsawan Vampir yang melihatnya berekspresi jijik, berpikir kalau manusia serigala ini tak pernah mengenyam pendidikan sama sekali seumur hidup mereka.
"Lihat dua kelompok ini bisa sewaktu-waktu menerkam satu sama lain," komentar Nagisa dengan pandangan jijik, dia berdiri di pojok ruangan berdampingan dengan Gray. "Apa kau yakin ini akan berhasil Gray?"
"Jujur ini akan sulit, lihat saja dari ekspresi mereka berdua yang penuh kebencian, tak ada saling respek," timpal Gray.
Nagisa menoleh. "Kau tak memiliki rencana lain?" tanyanya.
"Jika ini gagal ya terpaksa kita akan berperang satu sama lain," kata Gray dengan raut wajah serius.
"Kuharap itu takkan terjadi," desah Nagisa. dia menambahkan dalam benaknya. "Aku benar-benar tak ingin membayangkan bertarung dengan Gray,"
"Siapa bilang kita akan bertarung sama lain?" alis Gray mengerut, menatap bingung ke Nagisa.
"Hah?" Nagisa tak mengerti.
Gray memelankan suaranya. "Dari awal aku juga sangsi diskusi damai seperti ini akan berjalan mulus, pasti ada yang tidak setuju dan membuat keributan. Jika terjadi perang, aku akan berdiri di tengah-tengah, memastikan membunuh siapa saja yang melalui batas yang kutentukan," ujarnya.
Seorang wanita vampir tampak menyerahkan secarik perkamen kepada Rowena. Ratu Vampir lalu berdiri dari duduknya, berniat membacakan isi perkamen;
"Aku Wicitya Rowena yang menjabat sebagai Ratu Vampir akan membicarakan resolusi perdamaian yang kami susun karena masalah yang sudah berlangsung beberapa abad ini memang harus segera dipecahkan. Kedua ras harusnya saling mengerti dan bisa berkerjasama satu sama lain, ini tidak bermaksud apa-apa melainkan hanya agar kita bisa menjaga perdamaian satu sama lain..."
Semua mendengarkan dengan penuh perhatian, namun dalam artian berbeda, kubu vampir mendengarkan setiap kata-kata yang meluncur dari bibir ratu mereka, kubu manusia terbelah antara kata-kata Rowena dan juga mengagumi parasnya yang memang cantik dan tubuhnya semampai menggoda, dengan baju ketat abad pertengahan yang memperlihatkan sebagian dadanya, Sementara kubu manusia seriagala lebih ke arah nafsu dan malas mendengarkan.
"Gray, dengan tingkat kekuatanmu sekarang, apa kau bisa membunuh semua dalam ruangan ini?" celetuk Nagisa tiba-tiba.
Sebelah alis Gray terangkat. "Kenapa kau bertanya seperti itu?"
"Aku hanya penasaran, sejauh apa kekuatanmu sekarang, apa aku bisa melindungi dirimu jika terjadi sesuatu padamu suatu hari nanti?"
Gray menghela napas panjang.
"Aku masih belum cukup kuat, masih banyak yang harus kucapai, menang melawan Bael saja itu suatu keberuntungan untukku, jika dia tak meremehkan diriku mungkin aku tak berdiri di sini," ujar Gray jujur. Tapi, dia menambahkan dengan menggelengkan kepala pelan. "Melawan semua di ruangan ini, jujur saja aku tak tahu bisa menang atau tidak."
"Setidaknya kau berada di tingkat berbeda dibandingkan kami," pungkas Nagisa.
"BRAAK!" salah satu Werewolf menggebrak meja dengan keras.
"Sudah dimulai rupanya," gumam Gray.
"Apanya?" tanya Nagisa bingung. Dia waspada jika para werewolf atau vampir memulai pertengkaran.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Exorcist: Descendant of the King
FantezieSekuel The Exorcist Holy Grail (Buku 3)