[ Hoshi ]
• • •
"Seriusan lo ngewek sama Abang Ipar lo sesering itu?" tanya Adam yang udah ketiga kalinya gue dengar setelah gue cerita perihal Bang Jer yang akhir-akhir ini mulai berani meminta langsung sebelum gue yang lagi kepengen.
Dan gue kembali mengangguk menjawabnya. Kini gue dan dirinya baru saja pulang yang menuju rumah Bang Jer setelah seharian melihat-lihat gedung yang bakal gue sewa untuk bar yang gue buka minggu depan.
Ya, setelah Bang Jer bilang nggak ada waktu untuk nganter gue. Gue memutuskan untuk pergi bareng Adam tiga hari kemudian. Dan ya, gue akhirnya dapet gedung yang pas yang sesuai sama apa yang gue inginkan.
"Ah, yang bener lo? Kalo sesering itu, berarti Bang Ipar lo homo dong." tuduhnya. Gue yang lagi menyetir, menyempatkan diri untuk menatapnya, lalu kembali fokus ke depan gue menatap jalanan.
"Gue juga sempet mikir gitu. Tapi katanya dia beneran lurus kok. Sebelum ketemu gue sama Kakak gue, dia sering jajan sama lonte lain. Cewek. Baru gue doang cowok yang dia pake. Dan yap, Bang Jer ketagihan." jelas gue sambil mengingat ucapan Bang Jer beberapa waktu lalu.
"Lo juga ketagihan?" gue mengangguk.
"Goyangan dia mantep, cuy. Punyanya gede. Kuat juga. Bibirnya manis, badannya oke. Siapa juga yang nggak bakal ketagihan?" deskripsi gue akan sosok Bang Jer.
"Lo ciuman sama Bang Ipar lo juga? Wah, gila. Dia nggak nolak gitu? Atau marah?" gue menggeleng.
Dan reaksi Adam cuma mengeluarkan ekspresi tidak percaya sambil menggelengkan pelan kepalanya, sebelum kemudian menatap layar ponselnya yang membuat suasana jadi hening dengan gue yang fokus mengendarai mobil.
"Gue nggak bisa ngomong apa-apa. Mau itu ngelarang lo ataupun menghentikan lo berhubungan seperti sama Abang Ipar lo sendiri. Itu pilihan lo, dan tindakan lo. Tapi satu yang gue harap sama lo. Jangan sampe lo nyimpen perasaan sama Abang Ipar lo sendiri, Hos. Inget, dia suami Kakak lo. Saudara kandung satu-satunya yang lo punya." suara Adam, setelah cukup lama terdiam.
Gue yang memang udah menghentikan laju mobil karena sudah sampai tujuan. Menoleh dan menatap serius padanya. Setelahnya gue menggeleng sambil memukul pelan bahunya bermaksud bercanda.
"Ya, nggak bakal lah! Lo kira gue apaan?" ucap gue. Adam cuma menanggapinya dengan senyuman tipis lalu mengangkat kedua bahunya.
"Soal perasaan nggak ada yang tau, friend." balasnya. Lalu membuka sabuk pengamannya dan keluar lebih dulu. Gue mengikutinya dan menyusulnya yang menunggu gue di luar bagasi.
"Kayaknya di rumah Bang Ipar lo ada tamu deh." ucap Adam, begitu gue sudah berdiri di sampingnya.
Gue nggak membalasnya, gue memilih untuk maju sedikit agar bisa melihat tamu yang Adam maksud.
Ya, dari tempat gue berdiri, nggak bakal keliatan siapa. Karena jarak bagasi ke pintu utama cukup jauh. Tapi diliat dari mobil terparkir di halaman. Sepertinya mobil itu pernah gue liat sebelumnya.
"Kita lewat pintu belakang aja. Gue nggak yakin siapa tamunya. Kalo rekan kerja Bang Jer atau temennya yang pernah nyewa gue sebelumnya, bisa kena serangan jantung gue." ucap gue, dan berjalan lebih dulu menuju pintu belakang.
Tapi baru beberapa langkah gue berjalan, tiba-tiba suara Bang Jer terdengar yang membuat gue berhenti untuk menatap ke asal suara. Di sana di dekat mobil yang terparkir, Bang Jer berdiri yang sekarang berjalan mendekat ke arah gue.
"Gue udah lama nggak liat Bang Ipar lo. Nambah ganteng ternyata." bisik Adam di samping gue. Gue nggak membalasnya, gue menunggu sosok Bang Jer sampai akhirnya dia tiba di hadapan gue.
KAMU SEDANG MEMBACA
Brother in Law [END]
Narrativa generaleKetika sebuah kebetulan menjadi kebiasaan hingga akhirnya membuat sesuatu yang awalnya biasa saja, menjadi sebuah ketergantungan yang sulit untuk dihindarkan. • • • R21+