17 - Anak Perempuan Satu-satunya

146 20 5
                                    

"Kamu nggak pergi hari ini?" tanya ibu ketika melihatku malah asyik berleha-leha di depan TV dengan wajah yang masih penuh dengan bekas bantal dan air liur sembari mengganti-ganti saluran televisi di Sabtu pagi menjelang siang.

Aku menggeleng sebagai respon atas pertanyaan ibu setelah sempat menggerutu soal betapa jauh berkurangnya kualitas siaran televisi di negara +62 ini dibandingkan dengan saat aku masih kecil dulu. 

"Kenapa?" tanya ibu lagi. "Kamu nggak lagi ada masalah, kan, sama Ryu?"

"Kenapa Ibu bisa tanya gitu?" tanyaku balik.

Ibu mengedikkan bahu. "Soalnya Ibu liat-liat dari sejak kamu diundang ke acara ultah anaknya Ryu kamu kayak nggak semangat. Kamu kayak beda gitu. Apalagi setelah kamu diajak pergi ke rumah Ryu minggu kemaren buat makan malem. Kamu jadi makin lesu kayak ada masalah berat."

Aku mengembuskan napas panjang. Terkadang aku berpikir kalau ibuku itu bukan manusia biasa karena dia bisa membaca pikiranku dan menebak tepat hanya dengan perubahan gerak-gerikku.

"Bener, kan, kamu ada masalah?" selidik ibu yang kini sudah duduk di sebelahku.

Aku tersenyum sumir. Mendadak aku kehilangan selera untuk menonton TV tapi kali ini bukan karena siarannya tidak ada yang menarik melainkan lebih karena disebabkan oleh pertanyaan ibu. Aku mematikan TV dan beranjak dari sofa. Aku sedang tidak ingin membicarakan apapun dengan ibu kali ini. Mungkin lain kali.

"Eh, eh, eh. Mau kemana kamu, Nis?" panggil ibu seraya mencekal lenganku.

"Ke kamar lah, Bu. Sambung tidur," jawabku sekenanya. Perasaanku sedang kacau saat ini. Tiba-tiba badanku lemas dan aku kehilangan gairah hidup. Aku ingin tidur dan melupakan masalahku sejenak.

"Siapa yang bilang kamu boleh tidur lagi? Sekali-kali kamu mandi kek dandan rapi kek meski nggak diajak jalan sama Ryu."

Aku mendecak kesal. "Ya buat apa, Bu, mandi sama dandan rapi kalau cuma mau di rumah aja? Banyak-banyakin cucian doang. Ngabis-ngabisin stok lipstik sama bedak juga," sungutku.

Ibu mendecih. "Duduk lagi kamu!" titah ibu.

Aku menggeram kesal. "Aku mau balik ke kamar aja, Bu. Nggak ada tontonan bagus di TV—"

"Siapa bilang Ibu nyuruh kamu duduk lagi buat nonton TV bareng?"

Aku menggeram lagi. "Terus buat apa nyuruh aku duduk di situ?" raungku seraya menghentak-hentakkan kaki.

"Ibu cuma pengen ngobrol sama kamu. Apa istilahnya? Yang sering kamu bilang itu kalau lagi sama Hanny? Girls' talk?" 

Aku mengerutkan glabela. "Dih, Ibu, kan, udah bukan girl lagi mana bisa disebut girls' talk?"

"Lho, girl itu cewek, kan?"

"Iya, cewek, Bu, bukan wanita."

"Emang bedanya apa? Sama-sama punya vagina kok," protes ibu sengit.

"Ya beda lah. Cewek itu kalau masih muda. Wanita itu kalau udah dewasa. Kayak Ibu gini nih. Dewasa. Cewek tapi jaman kompeni," kataku sambil terbahak.

Ibu menoyor kepalaku. "Ngawur. Jaman kompeni Ibu belum lahir, Nis. Tiga puluhan tahun setelah kemerdekaan baru Ibu lahir."

"Iya, iya, iya. Aku juga belum lupa kok tanggal lahir Ibu." Aku akhirnya mengambil tempat di sebelah ibu di sofa di depan TV. "Emangnya Ibu mau ngomong apa sih? Tumben?" tanyaku.

"Ya itu tadi. Kamu beneran lagi ada masalah ya sama Ryu?" todong ibu langsung.

Aku mendesah. "Nggak. Bukan sama Ryu kok masalahnya," jawabku tanpa berani menatap mata ibu.

KADREDA | TamatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang