Hujan. Para manusia berbaju hitam perlahan pergi dari tempat itu. Aku berdiri di atap rumah sebelah seraya menjilati rambutku yang kebasahan. Dari luar jendela dapat kutengok ia sendiri di tengah ruangan, memeluk sebuah foto besar.
Kau kenapa? andai aku mampu menanyakan itu padanya. Baru kali ini aku melihatnya berekspresi lain, menangis. Padahal biasanya ia selalu memasang wajah hangat, bermenung di balkon sementara aku menghampirinya, meminta makan. Tak sekalipun pernah Ia mengusirku seperti manusia kebanyakan, begitupun dengan abangnya.
Tapi, orang itu sudah mati.
Aku mendengarnya dari gosip tetangga. Si abang diberitakan tewas dalam perang yang, entah kenapa, tak kunjung berakhir. Sungguh malang gadis itu. Sudah yatim piatu, kini malah sebatang kara. Ingin aku menghibur gadis itu bagaimanapun caranya. Apakah mengembalikan si abang akan menghentikan tangisnya?
Mendadak aku menemukan sebuah ide. Buru-buru aku berlari menuju hutan, menemui temanku si pembuat keajaiban, monster.
"Apa?" serunya kaget begitu mendengar permintaanku. "Jangan bertindak bodoh, Hitam. Menyamar menjadi abangnya takkan mengembalikan kebahagiaannya."
"Ia sudah terlalu lama menderita. Salahkah bila aku ingin menghapus air matanya?" balasku seraya terus mendesaknya. Monster mendesah panjang. Ia akhirnya menyerah.
Monster mengacungkan tangannya, bersamaan dengan itu turun selarik cahaya dari langit yang langsung menyambarku. Seketika penampilanku berubah. Mengenakan mantel cokelat, dengan rambut pirang dan mata biru safir. Wujudku sekarang benar-benar mirip dengan si abang.
Aku bergegas pergi ke rumah gadis itu lalu mengetuk pintu. Ia membukanya begitu pelan, nyaris tak bersuara. Wajah kami berhadapan. Belum juga sempat aku berkata, ia langsung memelukku, menumpahkan segala kerinduannya.
Aku melirik bintang di langit. Apa yang kulakukan ini sudah benar?
***
"Maaf, aku cuma ingat kalau diriku pernah tinggal di sini."
"Begitu, ya . . . ," wajah teduh gadis itu tampak muram ketika kubilang aku amnesia. Hanya ini cara agar ia tak curiga dengan berbagai ketidaktahuanku.
"Kalau begitu mari kita mulai dari awal lagi. Namaku Haruka, kamu Hikari. Kita adalah saudara," gadis itu menyuapkan sepotong ikan goreng ke dalam mulutku. Enak sekali! Ia sangat pandai memasak.
"Onii-chan, jangan dihabiskan semua! Kita harus menyisakan bagian untuknya."
"Siapa?"
"Itu, si hitam, kucing yang suka mendatangiku untuk meminta makan. Aneh sekali, biasanya jam segini ia sudah datang. Apa aku harus tunggu lagi di balkon, ya?"
Gadis itu berlalu ke balkon sambil membawa sepiring ikan goreng. Aku tercenung. Bahkan dalam situasi ini ia masih mengingatku?
***
Supaya tak kecewa, setiap kali ia tertidur aku selalu menghabiskan ikan yang ia siapkan. Hari-haripun berlalu. Pagi itu aku berangkat ke pasar, bekerja sebagai kuli angkut barang. Panas mentari menyengat tubuhku yang tak lagi berbulu.
"Hikari? Itu kau?" seorang pekerja terbelalak memandangi wajahku yang terlindung di bawah caping. Aku tak menyangka ada yang mengenal si abang di sini.
"Anoo, apa aku mengenalmu?"
"Bagaimana mungkin? Ku-kudengar kau gugur dalam perang. Kau sungguhan Hikari?" orang itu mencubitku, memastikan aku bukan hantu.
"Oh, aku berhasil kabur melalui jalur hutan. Mereka pasti salah mengenali korban," jawabku asal-asalan sambil menjauh. Mata orang itu memicing tajam.
Akhirnya selesai juga. Setelah selesai kerja dan mendapat gaji aku langsung membeli sebuah kue besar. Berhiaskan lilin dan tulisan 'Selamat Ulang Tahun', kue tersebut kupersembahkan di hadapannya.
"He? Bukannya kau hilang ingatan?" tanya gadis itu polos. Aku tersenyum meringis. Aku tahu karena pernah melihat ia merayakannya. Tetapi sekarang apa alasanku?
"O-oh, tadi di pasar ada yang mengenalku. Ia bilang hari ini ulang tahunmu, jadi . . . ," aku menggaruk tengkuk, menutupi kegugupanku. Gadis itu memelukku seraya tersenyum, ekspresi terindah yang baru kali ini kulihat darinya.
"Jangan tinggalkan aku lagi," ucapnya lirih. Tanganku gemetar merengkuhnya. Aku menggigit bibir. Apa tuhan akan memaafkanku?
***
Siang berikutnya kami mencari bahan makanan di hutan. Gadis itu mencari jamur sementara aku berburu rusa. Semuanya terasa indah. Gemerisik pepohonan, kicau burung, desir sungai, dan . . . seruan manusia.
Aku baru mengetahuinya ketika tiba-tiba bentangan jaring besar menimpaku. Para penduduk desa yang membawa tombak langsung menyeretku ke tempat gadis itu. Aku dimaki dengan kata yang familiar mereka gunakan untuk menyebut temanku.
"Dasar monster! Berani-beraninya kau meniru Hikari!" kata salah satu yang kemarin kutemui di pasar. Mereka lalu menghujamkan tombak-tombak itu padaku, sekaligus menghujatku dengan berbagai celaan. Aku mengerang kesakitan.
"Hentikan! Jangan sakiti Hikari!" Pekik gadis itu memohon. Tak ada gunanya, mereka tetap menyerangku. Satu-satunya yang terpikir olehku adalah membela diri, namun Monster telah mengingatkan agar aku tak lepas kendali. Pandanganku memudar. Kulihat gadis itu dijambak rambutnya karena ingin menolongku . . .
Cukup! Aku meronta membebaskan diri. Tubuhku perlahan ditumbuhi rambut hitam. Taring menyembul dari mulutku. Aku kembali ke wujud kucingku, tapi dalam ukuran sebesar singa.
Dengan wujud ini rasanya mudah sekali mengalahkan orang-orang tersebut. Setelah mengusir mereka semua kini kami tinggal berdua. Gadis itu menatapku cukup lama, mengenaliku sebagai si hitam. Aku menjulurkan ekorku untuk menghapus air matanya. Jangan menangis, kumohon, jeritku dalam hati. Sayangnya dalam wujud kucing ini, aku tak lagi bisa bicara dengannya.
Aku kemudian berlari meninggalkannya. Sebelum menghilang dalam kelebatan hutan dapat kudengar suaranya yang lembut berkata.
"Terima Kasih . . . "
Aku menutup mata. Aku adalah makhluk pendusta yang penuh dosa. Kenapa tidak kau benci saja aku?
***
Okay, jadi cerita ini sebenarnya hanyalah saduran dari lagu vocaloid berjudul "a love story of a certain bakeneko" by Nem, yg dinyanyikan oleh Kagamine Len. Aku sungguh menyukai MV nya dan, well, aku tidak tahan untuk tidak menulis ulang kisahnya dalam versi cerpen.
Ada beberapa part yang agak berbeda dari versi lagunya, tapi secara keseluruhan, ceritanya sama. Aku sangat merekomendasikan untuk menonton MV nya (aku sudah meletakkan videonya di atas).
At last, terima kasih sudah berkunjung ke lapak berdebu ini 🙇♀️
KAMU SEDANG MEMBACA
Baur
Historia CortaKumpulan cerpen yang genrenya tidak menentu. Bisa jadi drama, bisa jadi horor. Cover hanya pemanis, tidak selalu merepresentasikan isi. Story & cover by Dreki-kun