SATU

260 14 0
                                    

Seorang wanita muda duduk disampingku mengulurkan tangannya, "panggil aku Ghea, namaku Ghea Afrita. Aku lahir di Kendal 19 Agustus 1990 silam. "Tujuanku ke kota ini mencari ayah dari orang ini" wanita itu berusaha menunjukan gambar dari layar hpnya sebelum layarnya menghitam karena tidak dicharger. Belum juga aku sahut atau mengenalkan diriku "Kami sahabat, saudara, kekasih, musuh, bahkan kadang tak saling mengenal yang tak pernah dimengerti orang" katanya. Aku berusaha tersenyum sambil melihat dia. dia tampak tak lagi punya harap, terlihat air matanya sangat bening, mata yang begitu bulat, teduh. Tetapi penampilannya lusuh. Mungkin sudah seharian belum mandi, biarpun tampak sejuta masalah dari dirinya namun dia sangat menarik, dari perawakan yang tak begitu tinggi, kulitnyanya yang halus benar-benar terlihat wanita jawa yang begitu ramah.

"Saya Anton Wijaya mbak, panggil saja Anton. Jika dengan bercerita bisa mengurangi beban mbak. Saya kira, mbak bisa membagi beban itu dengan saya" biarpun kami baru berkenalan tapi wanita ini mudah sekali mengakrabkan diri. Pembawaannya mebuat hati benar-benar nyaman dan ingin jadi pelindungnya. "Sepertinya mbak butuh air untuk cuci muka, saya akan menunggu di sini. Silakan bila memang mbak memerlukan itu" belum juga dia menjawab aku sudah menambah ucapku. Selang tujuh menit dia kembali dari kamar mandi. Terminal Purbaya semakin ramai, jarum jam di tangan kiriku menunjuk angka lima, matahri semakin memaksa untuk istirahat. Mata gadis ini yang semakin sayu. "Bagai mana bila kita duduk di warung itu, menu rawon di sana terkenal di kota ini. Tetapi hanya sebatas kondektur terminal bus kota yang mengenalnya". Merekahlah senyumnya sangat meneduhkan, wajahnya bersih baru dibasuh air yang belum mengering.

Gadis ini sangat berbeda dari wanita lalu lalang di terminal yang biasa aku temui. Aku semakin penasaran apa sebenarnya yang ia cari sementara dari deretan wanita di ruang tunggu hanya dia yang tampak resah. Sepiring nasi, semangkuk rawon, dan segelas es jeruk membuyarkan pikirranku yang tergelam atas rasa penasaran. Sementara gadis ini masih terlihat lusuh dengan sejuta harapan kupandang. "makanlah, setelah makan barulah kau ceritakan apa sebenarnya yang kamu cari", dia masih memandang makanan yang aku pesankan untuknya, seketika semua terdiam suara adzan memenggal tatapan kami yang mencoba saling mengkrabkan diri. Kupandang baik-baik wajah polos gadis kampung di depanku ini, jangan sampai aku salah menolong orang. "Anda sungguh menarik nona, pipi yang menyerupai bakpao merah jambu di gundukannya, yang dipadukan dengan mata bulat, dan jilbab merah yang sangat menawan, aduh...sepertinya lebih cantik jika dipakaikan kebaya putih dan disanding di pelaminan" Guman dalam batin yang tidak berani aku utarakan. Kembali aku lempar senyum tipisku, dan dia izin untuk sholat sebelum menyantap rawon idola kondektur bus kota.

Hari ini Surabaya terasa sangat dingin, apa karena aku di dekat perempuan ini, atau ini hanya sebuah rasa iba, tapi siapa yang dia cari? Sepertinya dingin yang kurasa karena batinku yang berjalan-jalan ikut memikirkan apa sebenarnya yang dia cari, kenbali kuingat kalimatnya tadi "Bahkan kadang tak saling mengenal yang tak pernah dimengerti orang" apa maksud kalimat itu? "Aku boleh memakannya? Kenapa hanya pesan satu?" Suaranya begitu halus, seketika dia sudah terduduk di depanku, belum juga kudapat jawaban dari apa yang batinku tanyakan. " Tentu silakan, kebetulan saya sudah makan, belum lama juga" jelasku.

Sesendok nasi menyatu dengan bibirnya yang begitu ranum, sepertinya sudah dari pagi dia malas makan, terlihat dari cara mengunyah yang begitu lama, seharusnya nasi ini tak dikunyahpun bisa ditelan, karena dari teksturnya sangat halus. Disuapan yang kedua tiba-tiba kami mendengar petir yang begitu keras, dia menutup daun telinga dengan kedua tangannya, dibungkukan tubuhnya persis di atas meja, matanya terpejam sepertinya sangat takut, tapi aku masih beruntung tanganku tidak reflek memeluknya. Aku coba dekatkan bibirku ketelinganya "kamu takut? Jangan...aku akan menemanimu. Biarkan petir sebagai penanda hujan, dan biarkan kamu tetap utuh dalam tenangmu" kataku mendadak lembut tak biasanya.

"Biasanya pukul 23.00 WIB ayahnya kesini" dia coba mengalihkan pembicaraannya. "Aku ingin sekali kembali dan menetap di kotamu ini, tetapi sudah tak memungkinkan" sepertinya dia ingin bercerita tapi sepenggal sepenggal yang tak memiliki urutan. "Habiskan dulu makananmu, nanti setelahnya kau bisa cerita apa yang kau rasakan, kau cari, dan kau inginkan, warung ini 24 jam dan saya yakin pemiliknya, mbak Jum tidak akan mengusir kita" penggalku.

Satu persatu sendok nasi yang masuk mulutnya aku hitung, seakan tak bosan wajahnya dipandanganku. Meraba sosok masa depan yang akan menjadi pendampingku, jika di Kediri tempatku lahir aku sudah dikatakan bujang lapuk, maklum di sana laki-laki tiga puluh tahun saja sudah menggendong anak dua, sementara aku sudah hampir kepala empat belum juga menentukan siapa wanita yang mampu sepaham dengan nasibku ini. Hampir sepuluh tahun juga aku keluar masuk terminal mengikuti perputaran roda bus patas antar kota antar propinsi, kadang ke Bali kadang ke Bakawuni, mengantarkan jodoh orang lain, karena banyak penumpang yang berjodoh dalam bus yang aku kemudikan, tapi belum ada satupun perempuan yang pesonanya seperti wanita ini.

Nglidurku semakin jauh, kusadari aku sangat kagum dengan wanita ini. Semakin jauh aku ingin menjaga hak milik orang lain di hadapanku ini.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 24 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

PURBAYA DAN RASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang