Bleistift
"The moment when I saw you with that pencil, I knew that you're the one."
.
.
.
This story was published a couple of years ago when I joined the VMIN b'day project short stories, but I think it's deleted now, so I will post this story again for a throwback session. If you ever read this story, comment and let me know! I miss you guys so much!
.
.
.
Sudah dua hari ia memandangi sebuah kanvas kosong di depannya. Sebagai seseorang yang menekuni bidang seni, tidak mudah bagi mereka untuk menemukan inspirasi atau ide. Terkadang, ia menghabiskan waktu 24 jam di ruang studio untuk melukis. Tak jarang pula ia menghabiskan waktu 45 menit di depan kanvas, ketika inspirasi sedang banyak-banyaknya. Menjadi orang seni itu tidak mudah, ia paham. Namun ia tidak bisa menyerah begitu saja mengingat berapa banyak orang yang sudah berjuang membantunya hingga detik ini.
Hari sudah semakin sore, tidak perlu melihat ke arah jam dinding di belakangnya untuk memastikan. Terima kasih pada apartemen kecil yang dibangun di sebelah barat, sinar matahari sore sudah pasti menyapa studionya. Sebenarnya ia lebih suka tinggal di sisi timur apartemen, bertemu dengan matahari pagi. Namun apa boleh buat, tinggal di New York City tidak murah. Harus ada biaya lebih untuk membayar tempat tinggal yang lebih baik.
Mari kita bahas profil lelaki ini sejenak. Tinggal di New York City setelah berhasil masuk ke New York Academy of Art, Kim Taehyung harus melawan takdir untuk mengejar impiannya menjadi seorang seniman. Ia adalah anak tunggal dari sepasang petani di tempat kelahirannya, Daegu, Korea Selatan. Setelah orang tuanya meninggal karena wabah, Neneknya yang waktu itu sudah positif tertular, menjual seluruh ladang pertanian untuk menyekolahkan Taehyung di Ilsan. Di sana, ia dititip oleh saudara dari Ayahnya yang memiliki dua orang anak. Taehyung tidak pernah diizinkan kembali hingga lima tahun kemudian, pemerintah melepaskan tanda bahaya dan menyatakan bahwa wabah sudah berhasil diatasi.
Namun tentu saja semua itu sudah terlambat. Seluruh keluarga Taehyung sudah meninggal.
Sejujurnya, keluarga pamannya tidak begitu kaya. Namun berkat kemampuan berbisnis dari anak pertamanya, Kim Seokjin, ia berhasil membangun dua buah restoran Korea yang sukses di Seoul. Jangan lupakan anak keduanya, Kim Namjoon, yang sukses menjadi seorang produser musik di Amerika. Meninggalkan Taehyung seorang diri yang masih berada di tahun terakhir SMAnya.
Terkadang ia berpikir, apa yang bisa ia lakukan untuk membalas kebaikan keluarga pamannya? Mereka sudah menganggap Taehyung seperti anak ketiga mereka, bahkan Pamannya selalu mengabulkan permintaan Taehyung. Waktu Taehyung dihukum karena sering kabur dari pelajaran matematika, Sang Paman rela datang ke sekolah dan melakukan negosiasi hukuman dengan pihak sekolah. Pamannya mengerti jika Taehyung tertarik di bidang seni sejak kecil, maka ia tidak pernah memaksa Taehyung untuk menjadi top student di sekolahnya.
Bagaimana ia bisa sampai di New York? Tentu saja karena bantuan dari pamannya dan Namjoon yang terus memberi dukungan dan rujukan universitas. Taehyung yang sempat mogok dan memilih untuk tidak kuliah pernah hampir membuat seisi rumah jantungan hingga Jin mengambil salah satu karya terbaik Taehyung dan mengirimkannya pada Namjoon diam-diam. Namjoon yang kebetulan sudah tinggal di New York waktu itu, memutuskan untuk mendaftarkan Taehyung diam-diam ke New York Academy of Art dengan karya yang dikirim SeokJin waktu itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bleistift || VMIN [COMPLETED]
Fanfiction"The moment when I saw you with that pencil, I knew that you're the one." - Park Jimin. "An old man said that a beautiful pencil will bring you to a beautiful sketch. I never knew it was you who brought me such a beautiful sketch of life." - Kim Tae...