Pulang

220 40 3
                                    

"Permisi, boleh aku duduk di sini?"

Seseorang datang lagi ketika aku duduk sendirian di bangku taman, seperti biasa dia akan meminta izin untuk duduk di sebelahku yang kosong. Tidak ada bangku lain di taman kecil ini, aku menggeser badanku sedikit tanpa perlawanan apa pun bahkan aku tersenyum manis padanya.

"Silakan, Tuan Park! Kamu boleh duduk di sini."

"Terima kasih. Kamu tahu namaku?"

Pria yang sudah duduk di sebelahku itu tampak mengernyit, dahinya mengerut bingung. Hari ini dia memakai pakaian yang lebih hangat dari sekadar kaos pendek hitam dan celana training panjang. Dia mengenakan mantel cokelat hangat, dan syal warna biru terlihat melilit lehernya. Aku tidak khawatir pria itu akan jatuh sakit karena cuaca dingin.

"Oh, perkenalkan aku perawat Min. Dua hari yang lalu kita juga bertemu di sini. Kamu mungkin tidak mengingatnya karena aku buru-buru pergi, ada panggilan darurat dari pasienku," jelasku padanya sambil tersenyum, berharap dia tidak menganggapku seseorang yang tahu namanya dari hasil memata-matai atau istilah kerennya stalker?

Dia masih kebingungan tapi terlihat lebih santai dari sebelumnya. Seolah tidak mau ambil pusing kenapa aku masih bisa mengingat namanya atau kenapa aku harus repot-repot menghafalkan nama orang yang ditemui secara kebetulan dan singkat?

"Apa kamu baru pulang dari tugasmu, perawat Min?"

Dia mencoba mengakrabkan diri denganku? Bagus lah, sudah lama aku ingin bicara dengannya, tapi takut dia menganggapku sebagai pengganggu.

"Oh, iya. Dinasku sudah berakhir siang tadi. Aku pergi dulu membeli kue lalu duduk di sini."

"Kenapa? Bukannya lebih baik pulang dan istirahat? Pasti lelah sekali sudah merawat orang sakit. Aku pernah dengar jika orang yang sakit lebih menyebalkan dari orang yang sehat. Apa itu benar?"

Aku tertawa. Dia terlihat lucu ketika antusias dengan sesuatu, mengingatkanku pada seseorang. Seseorang yang tidak akan berhenti bicara sebelum rasa penasarannya hilang. Ah, hatiku serasa dicubit kecil. Aku rindu.

"Ya. Itu benar. Tapi tidak masalah, aku memang tidak ingin pulang."

"Tidak ingin pulang? Aku juga tidak ingin pulang."

"Itu sebabnya kamu datang ke sini?"

"Iya. Mungkin. Aku juga tidak tahu."

Angin memainkan poni rambutnya yang panjang, pipinya tirus, dia punya mata sipit yang tajam, tapi terlihat redup, tingginya hampir sama dengan aku yang terlihat lebih pendek sedikit. Badannya kecil, tapi tidak bisa diabaikan jika dia punya otot tubuh yang bagus. Tidak sepertiku yang hanya menimbun lemak di perut. Pria itu tampan dengan kumis dan jenggot tipis di wajah. Mungkin dia tidak sempat bercukur atau tidak ada orang yang mau mencukurnya?

Dia masih diam menikmati angin sore, jemari kapalannya memainkan cincin emas yang melingkar di jari manis. Lalu kepalanya menunduk dan dia tersenyum kecil. Tampan. Sangat tampan.

"Aku sudah punya istri..." nada kalimatnya tidak jelas. Aku tidak tahu itu sebuah pernyataan atau justru pertanyaan. Namun, melihat cincin yang tersemat apik, aku simpulkan dia sedang mengatakan sebuah pernyataan padaku. Dia ingin aku tahu soal statusnya.

"Oh, aku juga. Aku sudah punya suami."

Aku tidak tahu kenapa aku mau membagi informasi itu padanya, padahal dia sedang tidak mengajakku untuk saling berbagi informasi soal status pernikahan.

Dia tampak kaget, entah kenapa dia seperti langsung menarik diri. Membangun batas tak terlihat di tengah-tengah kami. Aku tidak ingin itu terjadi. Memang tidak boleh seseorang yang sudah punya istri dan seseorang yang sudah punya suami duduk bersebelahan begini? Aku tidak masalah. Akan tetapi, itu terlihat seperti masalah untuknya.

HomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang