Tibalah saatnya puncak ketegangan itu, Meisya dan Runi saling menguatkan satu sama lain, mereka akan berpisah untuk waktu yang cukup lama, tentu demi sebuah tugas mulia sebagai abdi negara.
Tugas negara adalah prioritasnya, mereka akan berjuang sekuat tenaga untuk menjaga kedamaian dan ketenteraman negara ini.
Puluhan prajurit diantar oleh keluarganya, ada yang persitnya sedang menggendong balitanya, ada yang sedang mengandung anak pertama mereka dan ada jua menantikan pertunangannya setelah pulang.
Nuansa hijau, loreng dan baju persit menyebar di lapangan, air mata bening itu begitu rapuh mendarat melepas prajurit berangkat menuju medan laga.
Meisya yang belum sah menjadi seorang persit, hanya mengenakan baju biasa dan tetap tersenyum menguatkan Runi dan meyakinkannya bahwa dia akan pulang dengan selamat.
Jerit tangis anak-anak menggema merasuk ke relung hati keibaan, namun Meisya tetap memamerkan senyumnya untuk melepas Pratu Runi mengemban tugas negara. Tajam keyakinannya bahwa ia bisa beradu mata lagi dengan senyuman bukan dengan tangisan.
"Selamat berjuang prajurit!" Pekik Meisya seraya melambaikan tangannya diriasi senyuman siap menelan rekaman truk TNI berlalu.
Desiran angin memecah keheningan, heels Meisya terus saja bersorak sepanjang perjalanan.
Dua lelaki berambut gonrong, dengan janggut yang tak terawat, membelalak dengan tatto yang menyeramkan.
"Wih, cantik sekali bos, santapan lezat nih."
"Iya, culik dia!"
Jantungnya terpompa kencang, matanya berlarian-larian tak karuan mencari pertolongan, disemburkan jua suaranya keluar.
"Tolong..., tolong..., tolong!"
"Mana handuk biusnya?"
"Lupa di konrakan, Bos."
"Emang dasar enggak becus!"
Mereka menyeret Meisya, perlawanannya tak mempan dengan tubuh kekar si penculik.
Kontrakan mereka nyaris dekat, Meisya terus saja melakukan perlawanan.
"Tuhan, tunjukkanlah keajaibanmu untukku," desisnya dalam hati seraya memejamkan matanya.
"Eh, Bos, mungkin dia mau pingsan."
"Enggaklah, fisik dia kuat begini."
Ketakutan Meisya kian menjadi-jadi, namun harapannya pada Tuhan tetap digentorkan. Keheningan yang menjadi saksi bisu penculikannya, sesuatu yang suram terus dibayangkannya, tapi kepercayaannya pada Tuhan tak pernah samar.
Tak ada satu pun orang lewat, perasaannya kian bercampuraduk tak karuan.
Kedua penculik itu langsung dibekuk dengan lelaki bertubuh gagah.
"Ampun, kami minta ampun!"
Meisya pun membalikkan badannya, matanya yang sedari tadi bersujud meminta pertolongan akhirnya berbinar.
"Yudha, Revan, kalian kok bisa ada di sini?"
"Kami disuruh Beliau menjagamu," celutuk Revan.
"Sebelum berangkat, Runi menelepon kami agar segera menjaga capersitnya supaya enggak lecet, tapi yang lebih ditakutin Runi sih capersitnya nekat bunuh diri," tuturnya seraya tersembur gelak.
"Kalian, dasar."
"Lepaskan kami, Pak!"
"Kami akan menggiringmu ke jeruji besi," tegas Revan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senapan Yang Penuh Keajaiban (Tamat)
Ficção AdolescentePemilik nama lengkap dr. Meisya Glavita Kirana jatuh hati pada seorang prajurit bernama Runi Andrianto Pratama. Perkenalan dimulai saat sang pratu menolong seorang di jalan yang hendak melahirkan, hingga ia segera membawa wanita itu ke rumah sakit t...