43. Secepatnya

24 7 0
                                    

Fay tengah menonton tayangan televisi dengan memangku camilan.

Kehidupannya yang berpredikat ‘menumpang' di rumah calon suami membuatnya enggan untuk bermalas-malasan. Fay sudah menyelesaikan pekerjaan rumah. Hanya sebagian, itu pun karena ia yang memaksa Bi Ina.

Adrian datang dengan wajah lesu. Lelaki dengan pakaian santai itu duduk di sebelah Fay. Tentu saja, dengan refleks Fay menolehkan wajah dengan alis saling bertaut. “Kenapa?”

Adrian menyandarkan kepala ke pundak Fay. Sedikit berontak, Fay mendorong bahkan menjambak rambut hitam legam Adrian.

“Begini saja, sebentar.”

Fay diam, tubuhnya kaku hingga camilan yang berada di tangan tidak lagi termakan. Adrian mengangkat tangan Fay dan menyuapkan keripik ke mulutnya.

“Cerita sama aku. Kita calon suami istri, bukan? Terbukalah, Mas.”

“Hm? Saya tidak apa-apa.”

Adrian berpindah menyandar pada kepala sofa. Lelaki itu menggerakkan kedua kakinya. “Papa menyelidiki kasus penusukan waktu itu.”

“Benarkah?”

“Iya, padahal saya sudah ingatkan untuk tidak memperpanjang masalah ini.”

“Tapi ... bukannya bagus, Mas? Memangnya kamu tidak ingin tahu siapa dalang dibalik penusukan itu?”

“Tak perlu, Fay. Biar ini menjadi urusan Tuhan.”

“Hanya itu?”

“Hm?”

“Hanya itu yang membuatmu murung?” tanya Fay. Pasalnya, ia kenal betul Adrian. Dokter muda yang cerdas itu tidak mungkin lesu hanya karena hal semacam ini.

“Ada lagi, dan ini membuat saya selalu kepikiran.”

“Kamu mau nikah sama saya, ‘kan?” Fay mengangguk.

“Kamu tidak terpaksa menerima saya waktu itu karena kasihan?” Fay menggeleng.

“Berbicaralah Fay, saya ingin mendengar, bukan hanya dengan anggukan dan gelengan.”

“Ya lagian kamu tanya begitu buat apa?”

Fay tidak habis pikir dengan yang Adrian pikirkan. Maksudnya apa coba? Nanti kalau dia jawab khilaf, Adrian marah.

“Karena kamu tidak pernah mau membahas hubungan kita lebih lanjut. Kemarin-kemarin setelah ayah meninggal, kamu yang bilang mau nikah kapan pun.”

“Terus?” pancing Fay, gadis itu merasa terhibur melihat wajah bersungut Adrian. Terlihat menggemaskan.

“Ya beri kepastian dong, Fay. Kita mau nikah kapan? Tadi tanya ke papa malah dapat—“

“Sttt ... calon suamiku nggak boleh banyak omong,” potong Fay. Adrian berdecak.

“Secepatnya.”

Mimik wajah langsung berubah, Adrian langsung menoleh ke arah Fay yang merona malu. “Kita nikah secepatnya?”

Fay mengangguk, gadis itu tidak menyangka hidupnya akan sejauh ini mengenal cinta. Ia juga tidak menyangka karena respon Adrian yang ternyata terlihat begitu bahagia.

“Kita langsung urus semuanya mulai dari sekarang. Tunggu sebentar.”

Adrian bangkit, terlalu semangat ia sampai berlari menapaki satu-persatu undakan tangga.

Adrian turun membawa beberapa buku dan brosur di tangan. Meletakkan di meja tepat di hadapan Fay.

“Ini undangan, dekorasi, gaun, make up. Kamu yang pilih.”

“Kita, kita yang pilih,” sahut Fay. Adrian mengangguk dan tersenyum. Ia kembali duduk di samping Fay, rasanya senang sekali.

Mereka mulai membuka dan mengamati satu-persatu gambar dan tulisan yang terdapat dalam kertas.

“Kamu orang Jawa, Mas. Gimana kalau kita nikah dengan adat Jawa?”

Tentu saja hal itu membuat senyum Adrian makin lebar. “Yakin? Kamu mau?”

Sekali lagi, Fay mengangguk mantap.

“Boleh, Fay. Nanti kita diskusikan lagi ke mama dan papa. Sekarang, kita pilih undangan.”

“Kita undang tamu nggak usah banyak-banyak ya, Mas!” Fay menunjuk gambar undangan yang simpel berwarna cokelat terang. “Yang ini.”

“Oke, manut saja.”

°•°

“Fandy, Kamu boleh pulang ke Jakarta. Biar kasus penusukan itu jadi tanggung jawab papa, Adrian sudah tahu,” tulis Ardan di pesan yang ia kirimkan pada Fandy.

Lagipula, menurut cerita yang dibeberkan Fandy, Diana selalu meminta alasan mengapa sampai selama ini ia tinggal di Bandung.

Ting!

[Ya, ini sedang bersiap pulang, pa.]
[Adrian tahu? Lalu bagaimana?]

“Nanti papa bicarakan secara langsung, hati-hati di jalan,” jawab Ardan melalui pesan.

°•°

To be continued ....

Jodoh untuk Faynara (TAMAT-BELUM REVISI)Where stories live. Discover now