45. Ikhlas

26 9 0
                                    

Angeline menghempaskan sebuah kertas tipis yang baru saja diterimanya.

Fanya tersenyum sinis. “Mana rencananya? Gagal ya.”

“Hm, sialan! Kali ini mungkin boleh, tapi tidak untuk nanti.”

Fanya berdecih, bengis sekali kelakuan wanita berhati iblis ini. Fanya tidak habis pikir, ke mana Angeline yang ia kenal selama ini?

“Jangan senang dulu, kali ini aku tidak akan berpihak padamu. Jadi jangan salahkan aku jika kebusukanmu terbongkar.”

Tersenyum miring, Fanya melenggang pergi meninggalkan Angeline yang tengah menatap kepergiannya. Angeline kembali ke alam sadarnya. Tangannya cekatan menelepon seseorang.

“Kamu sudah menerimanya juga, bukan?” tanya Angeline pada seseorang di seberang telepon.

Hanya deheman yang terdengar.

“Kita bisa susun rencana lagi, sebelum mereka benar-benar sah menjadi suami istri.”

“Saya sudah tidak tertarik. Rencanamu sudah saya duga tidak akan berhasil.”

Angeline terkekeh. “Erwin ... Erwin, berarti kamu menyerah? Dan kamu membiarkan mereka bersatu. Ini yang kamu bilang cinta?”

“Saya mempunyai cara sendiri bagaimana nasib saya ke depannya. Saya tidak seobsesi kamu agar mendapatkan sesuatu.”

Angeline berdecih, kali ini ia merasa menjadi orang yang paling jahat. Fanya yang notabene menjadi sahabatnya sudah enggan berpihak padanya. Erwin juga sudah enggan bekerja sama dengannya.

“Baiklah, kita ikuti alurnya. Pembuat alur itu adalah aku,” gumam Angeline ketika panggilan sudah berakhir. Tawa Angeline berderai memenuhi ruangan.

°•°

“Mas?” Fay mengernyit ketika panggilannya tidak membuahkan hasil. Sudah terhitung yang ketiga kalinya dirinya berteriak di depan pintu kamar Adrian.

Mendorong pintunya sedikit, Fay terperangah ketika ternyata pintu tidak dikunci dari dalam. Pikirnya Adrian sedang tidur atau mungkin sedang memasang earphone hingga tidak mendengar.

“Maaf ya, Mas.” Fay masuk dengan langkah pelan.

Di dalam, ia mengedarkan pandang. Benar-benar tidak menemui Adrian sama sekali dalam ruangan yang luasnya sudah satu kontrakan Fay dulu.

Fay terus berjalan ke arah balkon, pelan sekali. Rasanya seperti ia sedang menjadi maling.

Namun, saat melewati kamar mandi. Mata bulat Fay makin lebar ketika gadis itu melotot. Oh astaga! Walaupun Fay sudah berbalik pun ia terlanjur sudah melihat.

“Eh, kamu ngapain di kamar saya, Fay?”

Terhitung satu minggu setelah mereka berdebat perihal riasan. Dan wanita tetap menang, pada akhirnya Adrian lebih memilih menurut saja.

Hubungan mereka semakin terbuka, dengan Adrian yang sering manja dan Fay yang sudah tidak segan memarahinya.

“A-aku tadi itu ... Kamu dipanggil Papa!”

Fay berlari secepat yang ia bisa keluar kamar. Mukanya memerah. Sempat menutupinya sekilas ketika ia berhenti di depan pintu kamar Adrian.

Adrian terkikik geli, lelaki itu membuka lemari, mengambil pakaian dan berganti dengan cepat.

Ketika melewati cermin, Adrian kembali tersenyum dan mengelus perutnya. “Kamu meleleh pasti tadi.”

“Fanya?” Adrian heran melihat Fanya ikut duduk bersama.

Jodoh untuk Faynara (TAMAT-BELUM REVISI)Where stories live. Discover now