Bab 10b

5.3K 724 22
                                    

Kaesar menghabiskan lima cangkir kopi dan melewatkan makan siang, Kesibukannya membuat laki-laki itu tidak nafsu makan. Laluka yang takut mengganggu, hanya menawari sekali dan saat ditolak, ia tidak bertanya lagi.

Menjelang sore, sopir pribadi sekaligus asisten Kaesar datang. Laki-laki itu membawa setumpuk dokumen dan menyerahkan pada Kaesar.

"Lebih banyak bukti dari keuangan yang bocor, Tuan."

Kaesar mengernyit. "Gila! Ke mana saja aku selama ini. Padahal, aku memantau semua dengan rapi."

"Orang yang mengerjakan ini, jauh lebih rapi dan pintar karena bisa lolos dari pantauan."

"Apa kita sebaiknya memanggil audit?"

"Ke sini?"

"Tentu saja."

"Terlalu beresiko, Tuan. Kalau menang ingin bantuan orang lain, lebih bagus kalau kita lakukan di penthouse atau kantor."

Kaesar mengangguk, menyadari kebenaran dari ucapan sang asisten. Ini memang rumahnya, tapi ada Laluka di sini. Seorang auditor pun bisa disuap oleh uang dan ia takut kalau siapa pun yang datang ke sini, akan membocorkan rahasianya soal Laluka. Sedangkan ia tidak ingin itu terjadi. Sampai kapan pun, ia ingin menyimpan Laluka di sisinya tanpa orang lain tahu, terlebih lagi keluarga besarnya.

Di dapur, Laluka menatap lauk pauk di meja yang masih utuh. Sebentar lagi matahari terbenam dan Kaesar sama sekali tidak ada niatan makan. Ia berunding dengan Yuyun barangkali ingin mengganti menu atau membuat cemilan sehat, tapi diurungkan karena takut mengganggu dan membuat laki-laki itu marah. Lebih baik mereka menunggu perintah, dari pada harus salah langkah yang berujung pada kekesalan Kaesar yang ditimpakan ke mereka.

Laluka berjengit di tempatnya berdiri saat mendengar makian Kaesar. Ini entah keberapa kali laki-laki itu memaki orang yang diteleponnya. Suaranya yang keras menembus dinding rumah dan membuat gemetar siapa pun yang mendengar termasuk Laluka.

Duduk di kursi untuk menenangkan diri, Laluka membuka ponsel yang dari tadi pagi tidak ia sentuh. Ada dua pesan di layar dari Rainer dan satu lagi nomor tak dikenal.

"Ibumu mencari nomormu dari ponselku. Kurang ajar, sih. Sekarang ponselku aku kunci. Sorry!"

Laluka membalas pesan Rainer dengan emoji tersenyum. Tanpa membukanya sekarang ia tahu satu pesan lagi dari siapa. Dugaannya ternyata tidak salah.

"Laluka, kamu jadi anak tidak berbakti. Kenapa malah memberi kabar pada Rainer, bukan pada ibumu!"

Laluka menatap pesan itu dan merasakan keengganan untuk membalas. Ia masih belum siap untuk berhubungan dengan wanita yang melahirkan dan juga menjualnya pada Kaesar. Saat ini, ia sedang menginginkan ketenangan, bukan drama-drama soal uang karena ia yakin, sang ibu menghubunginya pasti perkara materi.

"Kenapa kamu nggak balas pesanku? Anak durhaka! Apa karena sekarang kamu sudah jadi nyonya kaya makanya lupa sama orang tua!"

Pesan kedua datang, dan Laluka kembali mengabaikannya. Ia meninggalkan ponselnya di meja, melangkah ke teras belakang dan menatap senja dengan langit berwarna jingga. Ada perasaan kosong dan tak berarti saat menerima pesan-pesan dari ibunya.

Maryam lupa, kalau ia punya hati dan bukan boneka tanpa perasaan. Ibunya menutup mata, kalau ia bisa merasakan sakit dan marah. Mungkin karena terlalu diam dan sabar selama ini, sang ibu bertindak semena-mena padanya.

"Bukankah seorang ibu harusnya menjaga dan merawat anaknya? Bukankah seorang ibu harusnya punya naluri melindungi anaknya? Bukan malah melemparkan anak dalam bahaya?"

Ia pernah mengungkapkan perasaannya pada Maryam dan menerima tamparan keras sebagai imbalan.

"Gadis gembel! Tidak tahu diuntung. Orang tua sedang kesusahan dan kamu bukannya menolong malah menentang!"

"Kalian yang membuat masalah, kenapa aku yang dikorbankan!"

"Karena sudah sewajarnya kalau anak berbakti pada orang tua. Kalau sekarang posisi Jehan adalah anak tertua, dia yang akan menggantikanmu!"

Hari itu, pertama kalianya Laluka melihat ibunya mengamuk. Wanita yang selama ini lembut, berubah menjadi pemarah dan egois, tanpa sebab. Maryam yang tega menjual anak gadisnya demi melunasi utang. Sampai sekarang, Laluka masih menolak kenyataan kalau ternyata ibunya sekejam itu. Ia bahkan punya pikiran jahat kalau ibunya berubah karena menikah. Seandainya ia tahu lebih dulu keadaan akan begini, saat itu Lalukan akan menggunakan segala cara demi mengggalkan pernikahan ibunya. Sayangnya, ia terlalu mencintai Maryam dan tidak ingin melihat wanita itu menderita. Kebahagiaannya direnggut oleh keluarganya sendiri dan ia tidak pernah sekali pun berhenti mengutuk nasib.

Memikirkan tentang Maryam dan keluarganya membuat Laluka bersedih dan tanpa terasa air mata menitik di ujung pelupuk.

"Laluka, sedang apa kamu?"

Ia berjengit kaget, buru-buru menghapus air mata dengan punggung tangan dan membalikkan tubuh sambil tersenyum.

"Berdiri saja, Tuan. Mengamati senja."

Kaesar mengernyit, tidak mengerti dengan jawaban Laluka. "Kenapa dengan senja?"

"Nggak ada apa-apa, Tuan. Langitnya indah, warna jingga."

Kaesar menengadah, menatap langit yang menurut Laluka indah, sedangkan dalam pandangannya sama saja seperti biasanya. Ia tidak melihat di mana letak keindahan dari sore yang temaram.

Ia mengalihkan pandangan pada Laluka yang berdiri di tengah halaman kecil. Rambut dan pakaiannya berkibar tertiup angin. Wajah dan mata gadis itu memerah, seperti bekas menangis. Ia tidak tahu, apakah benar karena tangisan atau karena hal lain. Sosok gadis itu terlihat cantik dan rapuh secara bersamaan. Kaesar menghela napas, mengusir perasaan kasihan yang sedikit mengusik hatinya. Ia tidak boleh merasakan itu, hal kecil apapun yang bersifat pribadi harus dibuang jauh-jauh dari hidupnya. Seorang Kaesar, tidak tunduk pada siapa pun, tidak pula istrinya apalagi hanya wanita simpanan seperti Laluka.

"Masuklah, aku ingin makan!"

Laluka mengangguk, mengikuti langkah Kaesar. Ia menghangatkan sup, dan beberapa makanan yang tersedia di meja. Ia menemani Kaesar makan dan setelahnya membantu Yuyun membereskan dapur.

Selesai mandi, ia melihat banyak panggilan tak terjawab di layar ponsel. Ia tahu, itu nomor ibunya. Meraih ponsel, ia memencet blokir dan tidak akan membiarkan sang ibu mengusiknya.

"Aku sedang berjuang untuk berdamai dengan keadaan, Bu. Tolong, jangan ganggu aku dulu." Ia bergumam pada ponsel dengan layar yang mulai meredup.

Kesibukan Kaesar tidak berkurang pada malamnya. Laki-laki itu ditemani sang asisten melanjutkan pekerjaan sampai jauh malam. Laluka yang tidak tahan menahan kantuk, masuk ke kamar lebih dulu. Hingga menjelang pagi, saat matahari menyelusup masuk dengan lembut melalui celah gorden, ia merasa kasur bergerak. Tak lama, terdengar dengkur halus di sampingnya dan Laluka tahu, Kaesar terlelap.

***
Jangan lupa PO

Luka (Wanita Simpanan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang