On playing
Somewhere Only We Know - Keane
• selamat membaca
• bila suka boleh meninggalkan jejak yaa😊😊😊
Kursi tunggu di taman SMA Noble tidaklah buruk untuk dijadikan sandaran. Juan telah mencobanya dan ia cukup menikmati sensasi keras yang bertemu tulang punggungnya. Lelaki itu memejamkan mata, menghirup udara segar dari pohon di sekitarnya. Sesekali ia mengentakkan kaki, mengikuti melodi lagu yang terputar melalui headset. Lagu lama entah keluaran tahun berapa itu akhir-akhir ini menemaninya, atas rekomendasi Niko.
Sebentar lagi, bel pulang sekolah akan berbunyi. Ia sengaja menunggu sejak setengah jam lalu agar Niko tak perlu mencari dan menantinya. Ia tidak mau anak itu resah karena tak melihatnya saat meninggalkan kelas. Juan ingin ia-lah yang pertama kali bisa menyambut dan mendengarkan cerita Niko hari ini.
Saat seorang guru menyapanya dengan senyuman, Juan lekas berdiri dan sedikit membungkuk. Ia buru-buru mendekat, meski sedikit menjauhi pintu supaya murid kelas sepuluh bisa keluar dengan leluasa. Peluh yang sedari tadi menetes karena beradu dengan sinar matahari seolah lenyap, berganti kesejukan saat Niko melambaikan tangan dan berlari ke arahnya. Juan pun tersenyum dan mengulurkan tangan, berharap Niko lekas menggenggamnya dan melanjutkan langkah.
"Kak Juan!"
Anak itu melompat-lompat kecil di depan Juan sambil memegang tali ransel. Juan segera mengajaknya menepi dan duduk di taman--tempatnya menunggu tadi. Ia kemudian memberikan sebotol air dan membiarkan Niko meminumnya terlebih dulu.
"Gimana sekolahnya?"
Niko mengangguk antusias. Ia mengeluarkan lembar kerjanya yang terlihat rapi dan kosong, hanya ada nama lengkap dan identitas kelasnya di halaman depan. Anak itu terus membalik halaman sampai menemukan bagian gambar yang telah ia warnai.
"Tadi tugas seni Niko bikin ini. Cantik, nggak?"
Juan meraih buku Niko dan memandangi karya tersebut lekat-lekat. "Wah, bagus banget. Niko pinjam pensil warnanya siapa?"
Pertanyaan itu muncul pertama kali di otak Juan karena ia belum sempat--lebih tepatnya tidak kepikiran--membeli alat tulis selain bolpoin dan pensil. Ia mengusap hasil goresan Niko yang cukup rapi, meski pemilihan warnanya kontras dan sangat acak.
"Temen Niko baik. Tadi dipinjami ini." Niko mengeluarkan beberapa pensil warna dari kantong tas bagian depan.
"Lho, kok, dibawa pulang?"
"Katanya buat Niko mewarnai di rumah."
Niko tak dapat menahan senyumnya saat mengingat pelajaran Seni Budaya tadi pagi. Ketika yang lain mengeluarkan buku dan berbagai macam pensil warna, ia hanya bisa celingak-celinguk dan menggigit jari. Dalam kotak pensil yang Juan berikan, hanya ada alat tulis standar yang membosankan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Walk the Line ✔
Teen FictionJuan tak lagi sekadar hidup setelah bertemu Niko, pengidap autisme yang baru kehilangan sosok ibunya. Hari-hari sebagai caregiver menuntunnya untuk mengenalkan dunia lama yang sempat terlupakan oleh anak itu. Melodi piano yang senada dengan perjalan...