Punya cantengan di kaki itu luar biasa gak nyaman lah, ditambah dengan lutut yang bohak (red: luka) dan wajah yang lebam. Motor itu ibarat kuda liar, yang kalau terlalu liar bawanya bisa jadi penyakit yang liar. Tapi kata Dewa, aku itu the lucky guy, mungkin juga, ketika terjatuh dari motor dengan laju 80km/h dan masih hidup hanya dengan luka kecil, aku anggap itu anugrah.
Termenung menatap si putih yang kini ngajugrug (red: terbengkalai) begitu saja. Chasis rusak total dan bannya sudah tak lagi bulat, ah, kamu luar biasa putih, luar biasa rusak gumamku dalam hati, menatap miris dan bersyukur kalau nasibku masih lebih baik dari si putih.
Gelombang sakit itu datangnya tiba-tiba, sangat tiba-tiba ketika ujug-ujug, sekonyong-konyongnya, ujung jari itu menyentuh luka yang masih menganga (sedikit hiperbola) dan aku hanya bisa ngajerete (red: terlonjak kaget) yang diikuti tawa puas kuntilanak paling mengerikan di rumahku.
"Duh... Tatit ya ?" katanya dengan suara bisikan penuh ancaman dan kesadisan luar biasa. Kania, kakak perempuanku yang tak pernah jadi malaikat dalam hidupku, hanya bisa berdiri sambil tertawa dengan gayanya yang khas.
"Gila... Kuntilanak lu !" bentakku sambil meniupi bekas luka yang kini kembali sakit.
"Idih... Cowok kok gitu ya ?" katanya sambil mendekat, dan aku langsung beringsut mundur dengan perasaan terancam yang sangat dalam.
"Pait... Pait... Pait !" teriakku mengucapkan mantra pengusir tawon, membuat Kania hanya bisa cemberut.
"Aku cuma di suruh ibu bersihin luka kamu, sini, buruan, mo ngapalin matematika euy !" bentaknya sambil melotot.
Aku langsung bergidik ngeri, "ogah, mo sama ibu saja" kataku yang mulai ngeloyor pergi, tapi Kania menangkap tanganku, dan dengan mudah memitingnya.
Gila, sudah sakit masih dipiting pula, ibaratnya habis jatuh tertimpa tangga, kelindes gajah, dimakan srigala, dan terakhir... Disuguhin kecoa.
Menjerit setengah mati, gak peduli kalau tetangga bilang aku banci, sakitnya itu tuh... Di sini, dan aku langsung meratap memohon ampunanNYA.
"Ih... Anjrit, cowok kok lebay !" teriak Kania dengan wajah kegirangan.
Tiba-tiba gelegar itu datang dengan membahana, ketika sang dewi kematian yang teramat sadis terdengar menjerit, mengaduh, dan memohon ampunannya.
"Adekmu itu habis kecelakaan, malah di candain, apa kamu gak kasian ?" teriak bunda yang datang layaknya penyelamat, "lihat lukanya, walau tak seberapa tapi pasti sakit luar biasa, belum lagi harga dirinya, bunda masih belum tahu obat harga diri, jadi tolong bersikaplah yang baik" kata bunda dengan kalimat yang lebih menohok hatiku daripada pitingan si teteh.
"Gak gitu juga kali bun... T-T, gak ada hubungannya dengan harga diri ah...", tapi bunda malah tertawa yang membuatku sadar darimana senyum kuntilanak Kania berasal, ah... Hidupku yang terlalu normal.
Namaku Darius Setiawangsa Irawan. Tiga kata penuh makna yang jujur, tak satupun aku tahu maknanya. Nama itu pemberian sang ayah yang kini hilang entah kemana (eh, lagi ngantor kayaknya) yang kadang ketika aku tanya arti namaku, dengan kalimat mistis dia menjawab : Darius adalah nama kakekmu, setiawangsa nama kakek dari ibumu, dan irawan tentu saja nama ayahmu, jawabnya sambil menegak kopi hitamnya. Ternyata, maknanya hanya itu... T-T.
Mengaduh manja dalam pelukan bunda, gak perlu malu sebagai anak SMA jika dekat dengan sang bunda, rasanya seperti jadi anak TK.
"Kapan mo betulin motor ?" tanya bunda tiba-tiba.
"Kapan-kapan lah bun, kalau tabunganku dah cukup"
Bunda tersenyum, "kamu ini nak, ngapain pake ngebut segala, sakit ya ?" kata sang bunda sambil tertawa ketika aku mengejat (red: terlonjak) karena entah sengaja atau tidak, bunda menekankan kapasnya kuat-kuat.
