Serius

4.6K 458 9
                                    

Life is never flat

...

"Dek, dua hari lagi Mas mau ke Singapura, kamu mau ikut?" 

Jaemin yang tadinya sedang menulis laporan magang menghentikan seketika kegiatannya. 

"Aku kan cuma anak magang, Mas. Kamu biasanya pergi sama sekertaris, kan?"

"Iya, sama sekertaris juga, sih. Aku bisa usahain kamu ikut, kok. Gimana?"

Jaemin menggelengkan kepalanya, dia tidak mau menunda-nunda pekerjaannya. 

"Mas, aku harus fokus sama laporan magang. Kamu tahu kan aku benar-benar ngejar kelulusan? Umur aku sudah gak muda lagi, aku pengen raih gelar sarjana secepatnya biar bisa cepet kerja resmi."

Jeno faham kalau Jaemin itu dulu setelah lulus sekolah tidak langsung melanjutkan kuliahnya. Namun, dia bekerja dulu sampai merantau ke berbagai negara. Semua itu dia lakukan untuk membiayai hidup keluarganya. Jaemin itu anak sulung laki-laki di rumahnya, otomatis dia memikul beban yang berat. 

Kalau menurut Jeno, Jaemin ini adalah laki-laki yang luar biasa. Dia bisa membiayai kehidupan Jisung hingga lulus sarjana, membangun rumah untuk keluarganya, membayar hutang keluarga dan membeli beberapa petak tanah untuk aset. Setelah Jisung lulus sarjana dan menyambung gelar master melalui beasiswa, barulah Jaemin menabung untuk biaya kuliahnya sendiri di usia 23 tahun. 

Oh, ya. Bahkan Jaemin juga menikah muda saat itu, dia tidak hanya membiayai keluarga inti, tapi juga istrinya. 

"Ya sudah, kalau itu mau kamu."

Jaemin melanjutkan laporan magangnya ditemani dengan kopi yang mulai mendingin. Jeno sedang menidurkan Logan di kamar. Saking lelahnya, Jaemin sampai tertidur di sofa. Efek kopi sudah tidak bisa lagi mengobati kantuk dan lelahnya. 

"Dek..."

Jeno terkejut saat dia tidak menemukan Jaemin di ranjangnya. Ketika dia mengecek keadaan kekasihnya itu, Jaemin ternyata tertidur di sofa. 

"Ya ampun, kok posisinya mirip kucing kedinginan gini. sih?"

Jeno mengangkat badan Jaemin dan merebahkannya di atas kasur. Dia lalu menyimpan laptop Jaemin, membersihkan meja dan menaruh gelas kopi di wastafel. Saat itu dia terbangun pada pukul tiga malam. 

Jam berapapun Jaemin tidur, besoknya dia akan tetap terbangun di jam setengah lima. Saat dia terbangun, Jaemin langsung beranjak ke dapur untuk memasak, mandi pada pukul setengah enam dan bersiap ke kantor. 

"Kak Naren?"

"Iya, Sayang? Logan sudah bangun?" 

Pukul enam Logan terbangun dengan wajah sembabnya. Jaemin langsung mengurus anak itu, memandikannya, membereskan kasurnya dan menaruh semua baju kotor di mesin cuci. Jaemin handal dalam pekerjaan rumah seperti ini karena dia dulu mengasuh Jisung sejak kecil. Sebenarnya pekerjaan rumah seperti ini tidak memiliki label hak paten harus dikerjakan oleh perempuan. 

Jaemin bukanlah orang yang seperti itu apalagi dia sering merantau, perbedaan budaya dan kultur tentu sudah biasa dia hadapi. Jadilah ketika dulu istrinya masih bersamanya, mereka mengejakan pekerjaan rumah bersama atau dibagi dua. 

"Sayang..." 

"Cepat mandi dan sarapan. Logan sudah menunggumu."

Sebenarnya Jeno itu cukup mandiri. Hanya saja, dia memang sering bermanja pada Jaemin. 

"Dek, gimana kalau kita segera menikah?"

Jeno saat ini masih memeluk Jaemin, dia mengatakan hal itu sambil memejamkan matanya. Dia masih mengantuk rupanya.

"Mas, kamu jangan ngaco, deh."

"Kamu gak serius sama hubungan kita?"

Seketika Jeno langsung membuka matanya, dia melepas pelukannya di tubuh Jaemin.

"Bukan gitu maksudnya, Mas. Mas pasti faham kalau menikah itu bukan cuma tentang aku dan kamu. Apalagi kamu sudah punya Logan. Ini bukan masalah sepele, Mas."

"Logan itu sudah sayang luar biasa sama kamu, dek. Lihat aja betapa dia tergantung banget sama kamu. Aku dan Logan sudah gak bisa hidup kalau tanpa kamu, dek."

Jaemin tidak meyangka jika Jeno akan sangat emosional begini ketika membicarakan tentang pernikahan. Biasanya lelaki itu terlihat santai dalam menjalani hubungan.

"Kalau kamu dari awal gak serius sama aku, kamu gak perlu bikin aku dan Logan bergantung sama kamu, Narendra. Kalau sejak awal kamu cuma lakuin ini demi kebaikan kami tanpa mau berkomitmen lebih panjang, lebih baik kamu pergi. Aku gak menjalin hubungan sama kamu buat bercandaan atau sekedar hiburan."

Pagi itu mereka sedikit mengalami perbedaan pendapat... Ya, dalam sebuah hubungan memang seperti ini, bukan? 

Ada pasang surutnya.

Lalu, apakah mereka harus putus hanya karena sebuah masalah?


At My Worst 🔞 (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang