"Abang, good job hihi." Bisiknya sembaru terkikik pelan.
Sedangkan Jean hanya memutar kedua bola matanya dengan malas.
Mereka berdua tengah menunggu sang wali datang, sudah enam jam lamanya dua saudara beda ibu itu menunggu, namun sayangnya Papa tak kunjung datang, tampaknya pria dewasa itu sangat sibuk.
Hanya mereka berdua yang belum di jemput, yang lainnya sudah sedari tadi. Namun begitu, pikiran buruk terus saja menghantui Jean, Papa nya itu jika marah sudah tak pandang bulu. Hati kecilnya tentu merasa takut. Itu tadi, sebab sekarang, perlahan rasa itu menghilang, Haevan yang duduk di sampingnya terus mengucapkan berbagai kalimat yang membuatnya tenang.
"Abang lukanya sakit ngga? Maaf tadi Haev ngga bisa bantuin Abang. Haev ngga bisa pukul-pukulan, hehe."
Jean hanya terdiam, jika di lihat, luka Haevan nampak lebih parah, ia bersyukur luka itu sudah di obati.
"Abang takut kan? Nggapapa nanti Abang cerita jujur aja kalo Yoga yang pukul-pukul abang duluan, nanti Haevan bantu jelasin."
"Tapi tadi, Abang tambah keren loh!"
"Langsung set lempar temen Yoga sampe masuk tong sampah. Hahaha!"
Jean memang hanya mampu terdiam, namun ia mendengarkan semuanya hingga kedua sudut bibirnya terangkat tipis. Haevan selucu ini ternyata.
Keduanya menoleh bersama kala seorang pria dewasa datang dengan tatapan tajam. Melihatnya pun membuat Jean dan Haevan kembali takut.
Brakk..
Jeffrey menutup pintu mobil keras, membuat orang yang berada di dalam mobil terkejut.
Kini mereka telah sampai pada rumah mewah bercat putih.
Dengan suara ketukan sepatu yang bersahutan menemani sunyinya malam ini.
Haevan dan Jean mengejar langkah sang Papa. Keduanya di mintai datang di meja kerja sang Papa.
Ini kali pertama, kali pertama Haevan memasuki mobil sang Papa bersama salah satu anggota keluarga, juga kali pertama ia nemasuki meja kerja sang Papa. Perasaan senang tentunya menghuni hatinya.
Begitu masuk, mereka di hadapkan sang Papa yang sudah melepas ikat pinggang dari kulit buaya itu.
Hukuman.
Jeffrey, selalu mendidik mereka dengan keras.
"Duduk!" Jean dan Haevan pun menurut dengan duduk di sofa.
"Di lantai!" Buru-buru mereka berpindah posisi menjadi duduk di lantai. Lantas Jeffrey tarik kasar satu persatu tangan sang putra. Walau sempat ragu, sebab tangan Haevan terdapat luka yang masih baru, bercak darah tentunya turut hadir. Namun melihat perilaku mereka yang bisa saja menghancurkan citra baiknya, amarah itu muncul kembali.
Ctass..
"Akh.. " Rasanya sesakit ini ternyata, hingga Jean yang pertama kali di cambuk pun mengeluarkan rintihan.
Ctass..
Kali ini Haevan namun anak itu menahan rintihannya.
Dengan sedikit bergetar, ia mendongak. Menatap Papa yang hendak melayangkan ikat pinggangnya menuju tangan Jean.
"Papa harus denger penjelasan dari Abang."
Ctass..
Tak mempedulikan itu, Jeffrey tetap mengarahkan ikat pinggang itu pada tangan Jean.
"Papa--
Dugh
Jeffrey berjongkok lalu menarik rambut Haevan dan mendongakkannya hingga membuat kepala sang putra membentur meja kaca di belakangnya.
Jean tentunya terkejut. Pun semakin panik melihat darah keluar perlahan dari kepala sang adik. Ia hendak melayangkan protes, namun urung kala mengingat sang Papa sedang dikuasai amarah, jika seperti ini ia tak bisa berbuat apa-apa. Ia takut menghadapi sisi lain dari Jeffrey.
"Ngga perlu dengar penjelasan dari Jean, pun saya bisa tau ini semua gara-gara kamu! Kamu yang bawa pengaruh buruk pada putra saya."
"Kamu pengaruh buruk keluarga saya! Karena kamu keluarga saya hancur, Haevan! Manusia tidak punya hati! Sampai kapan pun, saya ngga akan pernah maafin kamu! Ngga berguna. Seharusnya kamu ngga ada di sini."
Jeffrey semakin mengeratkan cengkraman pada rambut Haevan hingga membuat putranya itu mengaduh kesakitan. Rasanya, rambut hitam itu lepas dari kulitnya.
"Papa--" Jean hendak melerai, ia pikir perbuatan Papa sungguh keterlaluan, namun perkataannya di sela begitu saja.
"Kamu rusak semua yang saya punya."
Walau begitu, tangannya yang sudah memerah itu dia buat mengusap lembut tangan Papa yang mencngkram rambutnya erat, berharap Papa melunak, setelah itu ia turunkan tangan yang lebih besar darinya, masih dengan mengusap lembut agar Papanya tenang.
"Papa, tenang dulu." Sebenarnya rasa takutnya itu mengingatkan ia pada kejadian dulu, trauma masa kecilnya yang teringat samar membuatnya bergetar.
"Haev minta maaf, tapi Haev cuman mau jelasin kalo semuanya ngga seperti apa yang Papa kira."
"Bang Jean di keroyok.."
"Haevan mau nemenin Abang yang bolos karena Abang mau menghindar dari orang-orang sekolah yang ngancem Abang, tapi orang-orang itu malah nemuin Abang."
"Abang dihina, Abang luka karena di pukul, makanya Haevan minta Abang jangan di hukum."
Hanya itu, rasanya ia tak mampu mengucapkan kata-kata selanjutnya, bahkan suara yang bergetar itu kian melirih, dua orang lainnya sempat tertegun.
"Hukum aku, aku pantas dihukum."
"Semuanya emang salahku. Pa? Kenapa hidupku kaya gini? Aku capek.." Bulir-bulir air keluar, turun perlahan melalui pipi yang kini penuh luka itu.
"Aku rela mati, kalo itu bikin semuanya tenang, tapi maaf, aku ngga bisa ngembaliin apa yang udah hancur."
Tubuhnya sungguh terasa ngilu, pegangannya pada sang Papa melemah, tak kuasa untuk menahan beban tubuhnya ia terjatuh, perlahan semuanya terlihat kabur dan gelap, ia tutup mata bulat itu erat.
"Haev!" Jean segera menghampiri sang Adik. Panik sekali ketika melihat punggung seragamnya sepenuhnya memerah akibat darah dari kepalanya.
•••••••••••••••••••••••
Halo? Ada yang nunggu kah? Maaf ya baru update, semoga kalian suka.
Selamat menunaikan ibadah puasa bagi yang menjalankan..
Sehat dan bahagia selalu ya
♥♥♥♥♥♥
KAMU SEDANG MEMBACA
The Dark Sun (hiatus)
FanficSemesta, kehadirannya memang tak diharapkan, namun ia ada, mengapa tak dianggap? Adalah suatu kalimat yang sering terlintas di otaknya. Dunia, ia juga tak mengharapkan hadir, namun tuhan berkehendak, lalu untuk apa ia menyerah? Adalah suatu kalima...