Jean mengemudi dengan kecepatan di atas rata-rata. Ini kali pertama ia sekalut dan sekhawatir ini terlebih ia khawatir dengan seseorang yang paling ia benci.
Ia sungguh gusar, hatinya di huni rasa bersalah.
Jean sangat tidak mengerti, bayang-bayang ucapan menyakitkan yang terlontarkan dari mulut Haev samar-samar terngiang. Haevan, untuk pertama kalinya berucap seperti itu dengan nada putus asa yang terselip di antaranya. Haevan sudah menyerah kah? Atau bagaimana? Sungguh tak bisa dipungkiri saat itu hatinya turut sakit. Entahlah, apakah Jean sudah mulai melunak?
Melihat perilaku Papa yang tiba-tiba berlalu pergi tanpa niat membantunya untuk membawa Haevan ke rumah sakit dengan tatapan yang bisa Jean simpulkan bahwa tak ada rasa khawatir, takut, ataupun bersalah.
Ia baru sadar, seburuk itu perilaku Papa pada putra kandungnya? Haevan putra kandung Papa kan? Kenapa bisa setega itu? Sebenarnya, ia tahu, ia dan saudaranya pun berperilaku sama. Hanya saja-- Ah entahlah mengapa semua menjadi seperti ini?
Mengapa ia mengasihani Haevan yang jelas-jelas adalah penghancur hidupnya?
Sampailah mereka pada gedung tinggi yang di sebut rumah sakit. Ia turun dengan langkah cepat, memanggil sang perawat dan membantu mendorong brankar di mana terdapat Haevan yang terbaring lemah di atasnya, dengan darah yang tak berhenti mengalir.
Tubuhnya bergetar melihat itu, baju yang di pakai sang adik berubah warna menjadi merah sepenuhnya, sebanyak itu darahnya?
Kini beralih, mata tajam itu menatap telapak tangan yang ternyata, terdapat bekas darah milik Haevan. Jean mencuci tangan itu sedikit kasar, lalu ia bawa pergi langkah itu keluar dari Rumah Sakit, entah hendak pergi kemana.
•••••••••••••••••••••••••
Ia mengerjap pelan saat merasakan cahaya masuk ke indera penglihatannya. Yang ia rasa, pening serta tubuhnya terasa ngilu. Pun dengan bau khas obat-obatan membuatnya tahu dimana ia berada sekarang.
Rumah Sakit.
Rangkaian persitiwa yang terjadi secara urut beberapa jam lalu semakin membuat kepalanya sakit. Tubuhnya serasa lemas, tenggorokannya sepertinya telah kehabisan suara.
Hening sekali. Dimana semua orang? Apakah betulan tidak ada yang peduli dengannya? Bahkan di saat ia merasakan yang namanya hampir menyerah? Di saat ia hampir mati?
Ia menggeleng saat pikiran negatif hinggap di otaknya. Bahkan air matanya lolos begitu saja. Tidak, ia harus bisa berfikir positif, harusnya ia bersyukur masih ada yang mau membawanya ke Rumah Sakit.
Matanya terpaku pada benda berbentuk bulat, pukul tepat dua belas malam. Ah benar, semua orang pasti sudah tidur, harusnya ia selalu berfikir positif.
Ia raba perban yang menempel di kepalanya, semakin kebawah, menelusuri luka-luka lain yang turut menghiasi wajah manisnya.
Sakit juga, ya?
Haevan menghela nafasnya pelan, ingat sekali dengan perdebatan yang terjadi beberapa waktu lalu.
"Papa.. "
"Abang.."
"Nathan.. "
"Maaf.."
Malam itu, Haevan tak bisa melanjutkan tidurnya sebab kejadian-kejadian yang menimpanya itu terus terputar bergantian, membuat rasa bersalahnya kian menjadi.
Sedangkan di luar sana, seorang Jeffrey tengah terdiam sendirian, menatap air yang tenang dimana hal itu berbanding terbalik dengan hatinya yang dilanda resah. Ia tak mungkin bisa tenang setelah kejadian yang ia perbuat lumayan parah.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Dark Sun (hiatus)
FanfictionSemesta, kehadirannya memang tak diharapkan, namun ia ada, mengapa tak dianggap? Adalah suatu kalimat yang sering terlintas di otaknya. Dunia, ia juga tak mengharapkan hadir, namun tuhan berkehendak, lalu untuk apa ia menyerah? Adalah suatu kalima...