Prolog🧁

1.2K 97 5
                                    

"Kayeena, Kayeena, Kayeena! Why does she always get involved in everything?!" Berteriak marah, Winter menyuarakan pendapatnya. Menunjuk gadis yang baru saja ikut memasuki ruang kerja sang ayah. Winter benci, benci karena Kayeena selalu diutamakan dalam segala hal.

"Winter, dia kakakmu. Jadi Daddy harap 'kau dapat merendahkan suara dan menjaga ucapanmu," peringat pria paruh baya yang terduduk di kursinya. Menatap Winter penuh peringatan dan Kayeena yang juga diam memperhatikan.

Winter tahu Kayeena diam karena merencanakan sesuatu. Dilihat dari caranya menatap remeh Winter yang berdiri tak jauh darinya, serta tangan yang menyilang rapi di depan dada. Winter tertawa sumbang mendengar ujaran daddy-nya yang berkali-kali diucapkan setiap memberi teguran. Winter tidak bisa lagi diam sejak dua tahun yang lalu, ia tidak ingin kalah, tidak akan lagi.

"Ada yang ingin 'kau sampaikan, Kayeena?" Francis Almoraic, bertanya dengan tatapan berbeda drastis pada putri sulungnya. Kayeena tersenyum lebar menanggapi. Mengangguk penuh semangat sebelum menjawab dengan kalimat yang sudah ia susun sedemikian rupa.

Dalam hati Winter sudah berteriak dan memaki Kayeena tanpa peduli dosa. Dendamnya pada gadis tersebut seolah bertambah berkali-kali lipat tanpa sebab khusus. Oh tidak, tentu saja memiliki alasan. Tabiat Kayeena yang selalu semena-mena dengannya serta seluruh hal yang dilakukannya, Winter sangat, sangat, sangat tidak suka.

"Emm, aku memiliki jadwal ke Leiden bersama Misel dan lainnya, jadi untuk kelas latihan sore ini akan ditunda. Bolehkah?"

Ohh ini dia salah satu penyebab kemalasan Winter berada satu ruangan dengan Kayeena. Selalu mencari muka di hadapan Francis dan melebih-lebihkan kenyataan yang tertera. Padahal ada Winter yang menjadi saksi bahwa sama sekali tidak ada acara apapun yang mengharuskan Kayeena untuk pergi ke kota seberang, Leiden.

"Yaa, silahkan. Untuk urusan jadwalmu dan sebagainya Mommy yang mengatur. Jadi sebaiknya izin juga kepadanya."

Senyum manis itu, Winter bahkan juga ingin diberikan senyuman itu. Iri pada Kayeena? Tentu! Tapi pikirnya menolak, ia tahu hal tersebut adalah kemustahilan. Yang tentu saja memungkinkan sebuah kiamat kecil tersendiri untuk Winter jika hal itu terjadi.

Kayeena melangkah dengan anggun setelah izin pada Francis untuk keluar. Matanya melirik Winter yang masih diam dengan tangan mengepal. Mendekat menghadap gadis yang masih mematung dan membuka genggaman erat Winter, berbisik dengan senyum iblisnya, "Again, you lose."

Gadis tersebut berhenti di ambang pintu. Tersenyum lebar sebelum mengatakan hal yang akan mengancam Winter setelah ini. Ia benar-benar merasakan kebahagiaan saat melihat Winter kalah jauh di bawahnya, yang bahkan mungkin bisa ia injak dengan mudah.

"Dad, Winter tidak datang ke kelas latihan selama tiga minggu," dan setelahnya Kayeena menghilang dari pandangan. Winter menggeram marah di tempat. Ia benar-benar ingin membunuh Kayeena detik ini juga. Tetapi mengingat bahwa ia juga harus menjaga image di depan sang daddy yang terus mengawasi dirinya.

"So? Anything you want to explain?"

Tatapan tegas itu kembali. Tatapan yang sangat tidak disukai oleh Winter. Tatapan yang selalu hadir setelah mommy-nya tiada. Tatapan yang ingin Winter hilangkan dan berakhir memeluk lelaki tersebut erat seraya mengatakan segala keluh kesahnya.

"Yup. Aku lebih memilih menyanyi daripada mengikuti kelas ballet yang tidak berguna itu."

"Lalu? 'Kau ingin membuang-buang uang Daddy? Winter, mencari uang tidak semudah menghabiskannya."

Winter tertawa, lagi. Ucapan Francis kali ini adalah sebuah kebohongan. Winter tahu bahkan biaya hidup Francis bisa digunakan untuk bertahan hingga seribu tahun lagi jika mereka masih hidup. "Daddy bisa menjual saham dan salah satu penthouse. Mudah?"

"Untuk merealisasikan mimpiku, should I stop being your daughter first?!"

Memilih keluar dan melempar beberapa berkas laporan dari pembina kelas ballet yang ia bawa, dan meninggalkan Francis yang masih berusaha mengontrol emosinya. Kaki jenjang Winter menapak tergesa menuju kamarnya. Yang sialnya, Kayeena sudah berada di kasurnya, terduduk menyilangkan kaki seraya menatapnya dengan sebelah alis terangkat.

"How, baby girl? Mendapat ceramah dari Daddy, hmm? Winter, kamu akan selalu kalah jika aku lawanmu."

Gadis tersebut terdiam. Panggilan dari Kayeena selalu membuat jantungnya berdetak lebih cepat. Menghiraukan rasa tersebut, Winter memilih melangkah maju. Mendekati Kayeena yang masih tersenyum manis di tempatnya.

"Nope. Untuk kali ini Aku lolos. Tetapi jika Kamu mencoba menjatuhkanku lagi di hadapan Daddy, bukankah lebih baik aku mati? Oh ayolah, itu bukan hal yang buruk, seharusnya kamu bahagia tidak memiliki saingan lemah sepertiku, right?"

Kali ini Kayeena yang terdiam. Salah satu kebenciannya adalah Winter yang selalu mencoba mengakhiri hidupnya. Berkali-kali pula Kayeena yang selalu menggagalkan. Ia tidak akan membiarkan Winter pergi dari dunia dengan begitu saja.

Mendorong Winter dan membentur dinding. Gadis di depannya meringis merasakan ngilu pada tulang punggungnya. Jemarinya mencengkeram dress milik Kayeena dengan erat melampiaskan rasa sakit. Kayeena tidak suka kalimat yang baru saja Winter lontarkan.

"Cukup diam jika kamu merasa tersakiti, dan jangan memiliki niat untuk mengakhiri dirimu. You know I hate that, Winter!" Teriakan Kayeena menggema. Kamar kedap suara milik Winter hampir setiap hari menjadi saksi pekikan-pekikan dan gertakan Kayeena untuk Winter.

"You always win because you are sly, Kayeena!"

Winter semakin mencengkeram erat saat Kayeena memberikan ciuman penuh amarah, menggigit bibir lawannya hingga berdarah. Membiarkan Winter yang meronta tetapi juga semakin menariknya merapat. Kayeena selalu demikian, mengakhiri seluruh emosinya dengan ciuman menggebu.

"Mmmhh, stop it, Kayeena! Why do you always force your will?! Aku hanya ingin bebas, Ayin!" Berteriak disertai air mata yang menetes, Kayeena bisa melihat serapuh apa Winter saat ini. Ia ingin merengkuh, memeluk, menjatuhkan tubuh Winter untuk ia dekap seerat mungkin. Tetapi Kayeena terlalu meninggikan egonya. Ia selalu menekankan pada dirinya sendiri bahwa Winter adalah musuhnya, selalu.

Ibu jari Kayeena mengusap darah yang keluar dari bibir bawah Winter. "Because you always get what you want, termasuk kasih sayang seorang Daddy." Alis Winter menukik tajam mendengar jawaban Kayeena. "But you stole it too.. Lalu sekarang, apa yang aku dapatkan? Hanya kekangan! Sementara kamu bebas, bahkan dengan Aunty Airin yang selalu memberi dukungan penuh untukmu!"

Kayeena mundur. Tatapan tajamnya meredup. Ia merasakan itu. Sakit hati Winter, menggores relungnya juga. Kayeena selalu lemah akan tangis Winter, walau sakit Winter adalah kebahagiaan untuknya. Emosi Winter adalah hiburan untuknya. Dan makian Winter adalah hal yang selalu ingin ia dengar.

Katakanlah Kayeena sudah gila. Tetapi itu faktanya. Winter memasuki hidupnya dan hampir merenggut seluruh pikirannya. Menang, Winter selalu menang untuk Kayeena. Tetapi Kayeena bisa memastikan Winter akan selalu kalah dan jatuh di bawahnya. Kayeena yang akan membuat Winter bertekuk lutut tanpa peduli bahwa Kayeena adalah musuhnya. Maka Kayeena sendiri yang akan memastikan hal itu.

BALLERINA

kayanya ini story bakalan next kalo 'Lost' udah selesai. see you, ders!

Ballerina [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang