Aku mengaduk-aduk teh hangat tanpa meminumnya. Di depanku ada kamu, yang sedari tadi hanya memandangi air hujan yang mengaliri jendela kaca di sebelah kita. Aku yakin walau pun tatapanmu tertuju di situ, tapi pikiranmu melayang ke arah lain. Aku yakin itu. Lama kita bersama menjadikanku mudah untuk mengerti gerak-gerikmu. Namun satu yang tak pernah bisa kubaca, yang kamu pikirkan. Apa itu? Aku tidak tau. Tak pernah tau.
"Ehemm.." Aku berdehem kaku. Berniat memulai pembicaraan agar kita tak berlarut dalam diam. Seperti yang kita lakukan dua jam terakhir.
Kamu langsung mengalihkan pandanganmu padaku. Membuatku terdiam sejenak saat pandangan kita beradu. Mata itu. Mata yang sama dengan yang memandangku dulu, yang penuh lembut dan sayang. Tapi skarang tampak berbeda. Aku hanya menemukan misteri di sana. Aku hanya menemukan dingin di sana. Membuatku lupa dengan niatku untuk memulai pembicaraan.
Kamu tertunduk beberapa saat sebelum kemudian mengangkat wajah dan bicara...
"Aku bertemu dengan seseorang" katamu kemudian.
Aku merasakan denyut jantungku tetap normal.
"Sudah hampir tiga bulan aku dekat dengannya..." Katamu lagi. Tapi kali ini tak memandangku. Aku tau itu karena kamu tak berani. Segelas cappuccino dingin yang tak tersentuh di depanmu seakan jadi pelampiasan tatapanmu.
Aku masih diam. Kurasakan denyut jantungku juga masih seperti biasa. Pengakuanmu itu... sebenarnya tak penting lagi bagiku. Karena aku sudah tau semuanya. Aku tau pertemuanmu dengannya dari awal sampai hubungan kalian skarang.
Selama ini aku hanya diam. Meski awalnya memang sakit. Asal kamu tau, aku menghabiskan malam-malamku dengan lagu melow dan berbungkus-bungkus keripik kentang serta air mata. Asal kamu tau, setiap melihatmu aku ingin menonjok wajahmu. Menempelengmu hingga lehermu patah dan pipimu bengkak. Ingin sekali aku lakukan itu padamu. Begitu juga dengan dia, yang bercerita padaku tentang kalian berdua tanpa berdosa. Dia memang tidak salah sih. Karena dia tak tau aku pacarmu. Dia satu jurusan denganku. Asal kamu tau, aku dan dia cukup akrab. Hanya saja aku memang tak pernah memperkenalkannya padamu. Mungkin itu salahku. Tapi seandainya aku yang memperkenalkan kalian, apakah perselingkuhanmu tak akan terjadi?
Kamu menguatkan diri menatapku. Kulihat sedikit ada kebingungan dalam tatapan itu. Apakah karena responku yang hanya diam?
Jujur aku tidak tau harus apa. Karena walau hubungan kita belum usai, aku sudah lama move on denganmu. Ya, itu benar. Aku menyerah duluan darimu dan berhenti mempertahankanmu. Jadi jika kamu merasa bersalah, jangan. Tidak perlu.
"Der.." Panggilmu lembut. Membuatku teringat kenangan dulu, saat panggilan itu masih sepenuhnya tulus untukku.
"Yaa.." Sahutku hampir berbisik. Aku menatapmu dalam. Bisa kulihat ada genangan air di sana, di matamu.
Ah.. apa kamu hendak menangis? Apa yang membuatmu.. bukankah ini saatnya? Bukankah kamu mengajakku ke sini untuk mengakhiri hubungan ini? Mengakhirinya di tempat yang sama waktu kita pertama kali bertemu dan kemudian mengucap janji untuk saling memiliki. Jadi kamu harusnya senang kan? Karena aku tau kamu begitu bahagia bersama perempuan itu.
"Maafkan aku..." Kamu tertunduk dalam.
Aku menatapmu iba. Seberat itu kah untukmu bilang putus? Karena maafmu sekarang tak berguna. Sedihmu tak akan berefek di hatiku. Itu pun kalau aku masih punya. Sebab telah lama kamu menghancurkannya tanpa sadar.
Kamu tidak pernah tau betapa aku mencoba kuat. Aku bertahan beberapa minggu. Berharap kedekatanmu dengan dia hanya sebagai teman biasa. Berharap kedekatan itu tak akan lama karna kamu sudah punya aku. Berharap kamu akan sadar kalau perbuatanmu itu salah. Berpikir bahwa jika aku lebih, lebih, dan lebih perhatianmu padamu, akan membuatmu sadar dan segera menjauhinya. Tapi usahaku sia-sia. Kamu malah jadian dengannya. Parahnya, kamu belum memutuskanku. Aku harus menebalkan telinga demi mendengar curhatannya setiap hari.
"Der... aku selingkuh darimu" katamu dengan suara serak.
Ahh.. iya. Aku sudah tau kok. Sudah lama tau.
"Der, katakan sesuatu"
Ahh, katakan sesuatu? Seharusnya kamu merasa beruntung karena aku tidak seperti gadis lain yang ngamuk-ngamuk di tempat umum saat tau pacarnya selingkuh. Seharusnya kamu senang aku tidak menumpahkan teh di depanku ini ke kepalamu atau menamparmu dengan telapak sepatuku, meski aku sangat amat ingin melakukannya.
Tapi itu dulu. Sekarang tidak lagi. Karena aku sudah tak bernafsu untuk emosi dan marah padamu, atau menangis sesenggukan akibat kejahatanmu. Aku sudah melewati tahap itu dan telah lama mati rasa padamu. Jauh sebelum pengakuanmu sekarang.
"Der.."
"Wan.."
"Ya?"
"Hujannya sudah berhenti.." kataku mengarahkan pandangan ke jendela kaca di sebelah kita. Kulirik dengan ekor mata tampaknya kamu bingung. Aku senyum. Wajah bingungmu tidak berubah, hanya saja sekarang tak tampak istimewa lagi untukku. Kamu ternyata sangat jelek saat aku sudah hilang rasa padamu.
Aku berdiri dari dudukku.
"Kamu mau kemana?" Tanyamu sambil ikut berdiri.
"Mau pergi." Jawabku.
"Kemana?"
"Pulang." Sahutku datar. "Kamu tidak usah nganterin aku. Aku jalan kaki aja."
"Tapi aku ingin bilang sesu.."
"Aku sudah tau kok! Ingin putus kan? Oke." Aku tersenyum walau malas.
"Tapi Der, aku.."
"Wan, kita duduk diam di sini selama dua jam lebih. Kamu membuang waktuku! Lama sekali sih cuma ingin minta putus! Aku duluan ya, bye."
Aku melangkah meninggalkanmu. Oh iya, aku lupa bilang padamu..
"Oh ya Wan?"
"Ya?"
"Kamu dan juga Neva, jangan hubungi aku lagi ya."
Dapat kulihat wajahmu memucat mendengar kusebut namanya. Iya. Aku kan sudah tau. Tidak berhubungan dengan kalian berdua lagi memang keputusan terbaik. Ahh... cerah sekali langitnya pas hujan sudah berhenti. Aku menghirup udara dalam-dalam. Semuanya tampak bersih dan terang. Aku pasti bisa melupakan semua ini dan berlalu. Seperti langit yang kembali cerah setelah gelap waktu hujan turun. Pasti bisa kok.
END

KAMU SEDANG MEMBACA
Berlalu...
Short StoryAku pasti bisa melupakan semua ini dan berlalu. Seperti langit yang kembali cerah setelah gelap waktu hujan turun. Pasti bisa kok.