Ryan mengulum senyum seraya melirik ke kanan ke kiri berulang kali. Merasakan bagaimana sekarang Vanessa kembali memeluk dirinya. Merengkuh pinggangnya dengan erat.
Ehm ... tangan Ryan kembali bergerak. Mengelus-elus punggung Vanessa yang tertutupi rambut panjanganya dengan lembut. Hingga untuk beberapa lama kemudian rasanya lidah Ryan ingin bersenandung.
Timang ... timang ... Dindaku sayang. Jangan menangis, Kanda di sini.
Ah sudah deh!
Ryan perlu menahan napasnya sejenak di dadá daripada benar-benar terlepas menyanyikan itu.
Hahahaha.
Mendehem, Ryan lantas melirik pada Vanessa yang benar-benar menenggelamkan wajah di dadanya. Seketika saja sifat usilnya timbul lagi.
Kapan lagi coba kan bisa ngerjain ini cewek? Kesempatan nggak boleh disia-siakan dong. Mubazir. Dan mubazir itu temannya setán.
Iiih ....
Beberapa saat, Ryan menarik napas dalam-dalam. Penting untuk menenangkan dirinya terlebih dahulu sebelum benar-benar mengerjai Vanessa lagi. Dan ketika ia merasa bahwa dirinya sudah siap lahir dan batin, maka bersuaralah dia.
"Perasaan kemaren ada sih yang ngomong kalau di rumah harus kayak orang asing gitu. Jangan sampe nganggu satu sama lain. Ya ... semacam orang yang kebetulan tersasar di tempat yang sama. Kayak yang nggak saling kenal. Nggak ada hubungan. Kalau perlu hidung ketemu hidung juga nggak boleh bersuara."
Vanessa menggeram.
"Eh, tapi ... ternyata belum sampe 24 jam, omongan itu udah nggak berlaku lagi. Wah! Hebat sekali!"
Tapi, gadis itu tidak bisa membantah apa pun. Yang dikatakan Ryan kan memang benar.
Ryan menjulurkan lidahnya, walau jelas Vanessa tak bisa melihatnya. Bahkan cowok itu meleletkannya berulang kali. Senang sekali ia rasanya bisa mengejek Vanessa seperti itu.
"Aku jadi bertanya-tanya deh. Apa sebenarnya sikap kamu ke orang asing itu emang kayak gini, Sa?" tanya Ryan kemudian. "Suka meluk-meluk sembarangan gitu."
Hihihi.
"Diam, Yan."
"Loh? Orang aku nanya baik-baik kok. Eh, malah disuruh diam," kata Ryan mencibir. Lalu cowok itu meraih pundak Vanessa. Mendorongnya pelan. "Bisa lepasin aku?"
Sejenak, Vanessa diam. "Dia masih ada?"
"Dia siapa?"
"Kamu tau yang aku maksud, Yan. Nggak usah pura-pura nggak tau. Setán itu."
Ryan geli mendengar gerutuan Vanessa. "Oh ... ngomong yang jelas dong, Sa. Nggak usah kode-kode." Ryan mendehem. "Udah nggak ada lagi kok."
"Bener? Kamu nggak bohongin aku kan?"
"Eh?" Mata Ryan menyipit dalam keinginan untuk semakin menggoda gadis itu. "Bentar deh. Aku mendadak jadi penasaran." Ia tampak menjeda sebentar perkataannya dengan satu tarikan napas sejenak. Baru deh ia kembali berkata. "Ini sebenarnya kamu beneran takut atau cuma lagi nyari alasan buat meluk-meluk aku?"
"Sreet!"
Sedetik setelah Ryan mengatakan itu, seketika saja Vanessa langsung menarik dirinya dari tubuh Ryan. Melepaskan pelukannya dan langsung menciptakan jarak di antara mereka.
Dengan jarak itu, Ryan bisa dengan jelas melihat Vanessa. Wajahnya terlihat memerah. Lalu, matanya melotot.
"Eh ... ckckckck. Nggak boleh ribut, Sa," kata Ryan seraya melirik ke arah luar. "Nanti kalau dia kesal lagi gimana? Tadi itu aja dia udah ngebanting jendela. Kamu mau dia malah ngebanting unit kita jatuh sampe ke lantai dasar?" Ryan geleng-geleng kepala. "Ssst. Jangan ribut."
KAMU SEDANG MEMBACA
Kuliah Tapi Menikah 🔞 "FIN"
RomanceJudul: Kuliah Tapi Menikah Genre: Romantis Komedi Manis (18+) Status: Tamat Cerita Kedua dari Seri "Tapi Menikah" Buat yang belum dewasa, sangat tidak disarankan untuk membaca! ********* "BLURB" Masa sih menikahi dosen sendiri? Yang benar saja. Riz...