⛪ Se AMIN tak Se IMAN 🕌

37 4 0
                                    

[Karya Original telah diikutsertakan dalam lomba cerpen with CBS (chocolate books) dan telah dibukukan dalam buku berjudul
"KETIKA AKSARA BERCERITA"]




⭐⭐Happy Reading⭐⭐







“Nak, saat kau memilih pendamping hidup, carilah yang bisa berdoa bersama.” -Bunda.



.
.
.



Aku menatap hamparan langit biru dengan awan yang berarak. Angin berhembus sepoi-sepoi membelai wajahku. Memberi sedikit ketenangan dari hati yang bergejolak ingin menjerit agar semua orang tahu. Ia terluka. Terluka begitu dalam.

Aku masih setia memandang langit dari posisiku yang berdiri agak menjauh dari keramaian gereja Santa Maria dimana sedang berlangsung acara pernikahan. Aku masih saja fokus menatap langit saat tiba-tiba sebuah buket bunga muncul dilangit dan bergerak jatuh tepat ke arahku.

Refleks, buket bunga itu pun ku tangkap begitu saja. Melupakan bahwa aku tak berhak atas buket itu. Fakta bahwa buket bunga itu milik pengantin wanita, mempelai dari orang yang kucintai sepenuh hati.

“Ah...” bisikku parau sementara tepuk tangan disekelilingku menjadi ramai.

Aku merasa bodoh disana. Sungguh. Wajah-wajah yang ku lihat itu, dipenuhi sejuta bahagia serta harapan. Mereka memberiku selamat tanpa tahu batinku menangis pilu. Hatiku sakit tak berdarah.

“Kami tunggu undangan darimu. Selamat... Selamat... Kau telah terpilih akan menjadi pengantin berikutnya.”

“Jangan lupa undang kami ke pernikahanmu.”

“Aduh, siapakah kiranya mempelai pria yang beruntung selanjutnya?”

“Aisyah kita sangat beruntung. Huaa... Padahal aku berharap buket bunga itu akan jatuh dalam pelukanku hari ini. Agar aku bisa yakin menerima lamaran Bertrand.”

Cengo. Aku lalu memberikan buket bunga itu pada Grace, teman saat SMA dulu.

“Ambillah. Aku tak pantas menerima ini.” kataku pada Grace.

“Tidak. Tidak. Anggap saja itu adalah berkat dari Tuhan untukmu. Aku tadi hanya bercanda mengatakannya.” kata Grace seraya membawa tanganku untuk mendekap buket bunga itu.

Lagi-lagi aku hanya bisa menyunggingkan senyum palsu. Grace lalu merangkulku dan membawaku ke arah dimana mantan teman-teman SMA hingga kuliah sedang berkerumun disekeliling yang punya hajat.

Dia adalah Samuel Cristian Nasution. Satu-satunya orang yang menjaga hati dan jiwaku 10 tahun lamanya. Hingga sebulan lalu, apa yang kami miliki, apa yang kami jaga, hancur begitu saja tak sersisa.

Kalian pasti bertanya-tanya siapa aku? Ah, aku bernama Aisyah Azzahra. Aku beragama islam, sedangkan Samuel beragama kristen. Jadi kalian pasti paham bukan, apa yang terjadi kemudian?

Sejak awal perasaan ini dimulai, aku dan Samuel sudah saling menyadari tembok besar yang akan menghadang hubungan kami dimasa depan. Namun perasaan remaja yang labil dan nekat membuat kami buta dan akhirnya mengesampingkan hal itu.

Kami berdua menjalani kisah manis kehidupan SMA penuh canda dan tawa. Perasaan di hati kami, lambat laun pun berganti dari cinta monyet menjadi cinta yang saling memahami dan menerima satu sama lain.

Kami tak pernah berfikir perasaan yang kami miliki akan bertahan hingga 10 tahun lamanya. Tak pernah terbayang dipikiran kami sedikitpun. Kami hanya menjalani dan menjaga apa yang kami miliki dengan sepenuh hati. Masih melupakan fakta bahwa kami berdoa dengan cara yang berbeda, meski diakhiri dengan kata yang sama.

Semua masih baik-baik saja di antara kami kala itu. Hingga setahun sebelum pernikahan ini terjadi. Bunda meninggal dunia karena sakit jantung.

Bukan kematian bunda yang menyadarkan kami, tapi pesan bunda-lah yang membuat kami mau tak mau, ingin tak ingin, membuka mata dan menyadarinya. Pernikahan beda agama adalah haram.

“Nak, saat kau memilih pendamping hidup, carilah yang bisa berdoa bersama.” pesan terakhir bunda.

Akhirnya, dengan hati yang hancur, kami pun berpisah. Kami tak bisa egois untuk terus berpegang teguh pada kekuatan cinta. Andai tembok besar yang menghadang didepan adalah manusia, mungkin kami masih akan terus berjuang menjaga cinta dan hubungan ini.

Lain halnya jika menyangkut Tuhan, sang pencipta seluruh alam semesta jagad raya. Pemilik sejati jiwa dan raga kami.

Aku dan Samuel tak bisa meninggalkan kepercayaan yang kami yakini sejak lahir. Kami tak mungkin mengorbankan agama kami, demi kami bisa hidup berdua bahagia selamanya. Agama bukanlah mainan yang bisa seenaknya kau buang dan kau ganti.

“Aisyah...” panggilan itu menyadarkan aku kembali pada kenyataan yang harus aku terima.

“Selamat atas pernikahanmu. Aku... Aku turut bahagia untukmu. Kakanda.” kataku seraya mengulurkan tangan pada Samuel.

Pelukan erat adalah apa yang kuterima darinya. Tak memedulikan sekeliling kami yang terkejut, bahkan wanita yang kini berstatus istrinya itu hanya bisa menatap kami dengan miris dan penuh sesal.

“Cukup Adinda. Jangan tersenyum lagi. Kau tahu aku tak menginginkan ini. Jadi tolong jangan tersenyum seolah kamu bahagia melihatku. Seolah semua baik-baik saja. Aku tahu hatimu hancur. Begitu pun aku. Tapi kita tak bisa memaksakan diri kita untuk memilih dan menyesal dikemudian hari. Maafkan aku Adinda. Maaf...” kata Samuel.

“Jangan meminta maaf Kakanda. Bukankah kita sudah sepakat takkan ada maaf dan terimakasih diantara kita? Apa yang terjadi memang sudah kehendak-Nya. Jodoh kita cukup sampai disini.” kataku seraya melepas pelukannya. Menyisakan genggaman tangan yang begitu sulit untuk kami urai.

Kedua pipiku telah basah sejak kedua iris mataku bertemu dengan iris matanya. Kenangan demi kenangan bak slide film yang muncul silih berganti diantara kami.

“Berbahagialah kakanda. Jika terasa sulit, jadikan kebahagiaan itu untukku. Agar aku pun bisa tenang untuk pergi darimu.” pintaku.

“A-pa.. Apa maksudmu Adinda? Kamu mau pergi kemana?” kata Samuel panik.

“Besok aku akan berangkat ke Hong kong. Aku akan bekerja disana.” kataku.

“Sejauh itu? Mengapa?” tanya Samuel. Tak rela berpisah. Meskipun secara harfiah hubungan kami benar-benar berakhir.

“Aku hanya ingin percaya, bahwa jarak dan waktu dapat mengobati hati ini. Semakin jauh jarak diantara kita, akan membuatku cepat melupakan dirimu. Dan aku harap kakanda pun juga begitu. Jangan melihat kebelakang lagi. Biar kan itu menjadi kenangan. Aku adalah masa lalu kakanda.” kataku.

Aku lalu melepas sebelah tanganku. Kemudian membawa Samuel pada Sayla, istrinya yang juga adalah teman sekampus kami.

Ku raih tangan Sayla untuk kusatukan dengan tangan Samuel dalam genggamanku.

“Sekali lagi aku ucapkan selamat atas pernikahan kalian. Aku sungguh mendoakan agar rumah tangga kalian samawa. Jaga baik-baik keluarga kalian.” pintaku.

Aku lalu memeluk keduanya. Merasa iklas untuk meninggalkan masa lalu dibelakang. Aku tersenyum tulus sebelum mundur dan berbalik pergi, tanpa menoleh kebelakang lagi.

“Selamat tinggal...” bisikku.










⭐⭐END⭐⭐















Hongkong, 30 Agustus 2021

🌝_BLUEMOON3104_💙

SeAMIN tak SeIMAN [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang