"Maaf Ryujin, aku lupa membawanya. Haruskah aku pulang dulu dan mengambilnya??""Tidak perlu. Sayang tiketnya." sergah Ryujin dengan segaris senyum simpul. "Tidak apa-apa, Beomgyu. Aku bisa mendengarnya lain kali."
Kendati Ryujin tampak tulus mengatakannya, itu sama sekali tak memudarkan raut rasa bersalah yang memenuhi wajah Beomgyu yang tertekuk lesu. "Sekali lagi maaf. Aku berjanji besok akan membawanya."
Gadis itu terkekeh, mengangguk kecil. Lantas keduanya saling terdiam memandangi keindahan langit dari dalam bianglala. Beomgyu menyadari satu hal lain lagi hari ini, yaitu Ryujin yang selalu naik bianglala tiap langit mulai berganti senja. Tepatnya di pukul 5:53, namun kadang lebih awal dari itu. Beomgyu sebenarnya sudah berusaha untuk datang lebih awal, tapi Ryujin selalu sudah lebih dulu berada di sana.
Beomgyu menatap Ryujin lagi. Dia tak pernah bosan memandangi wajah gadis itu dan Ryujin pun tak risih dengan hal itu. Tak disangka bahwa kini mereka sudah dekat layaknya seorang teman sungguhan. Ia sudah menganggap Ryujin sebagai temannya meskipun mungkin terlalu cepat ia menyimpulkan hal itu. Menghabiskan penghujung harinya bersama gadis ini selama dua minggu dan selalu di tempat yang sama.
Bianglala.
Itu bukan berarti Beomgyu tak pernah mengajak Ryujin untuk berbincang di tempat lain. Dia sudah pernah membujuknya, tapi gadis itu hanya menggeleng tanpa berucap sepatah katapun. Kendati demikian, Beomgyu sama sekali tidak merasa bosan terus menerus menaiki kincir besar itu. Lagipula, tidak setiap hari juga ia datang ke sana. Hanya sesekali jika ia punya uang lebih di saku. Mau di manapun dan kapanpun, segala hal yang dilakukan bersama Ryujin sekalipun hanya berbincang ringan, semuanya terasa menyenangkan. Ia menemukan rasa nyaman yang sebelumnya tak dia temukan di manapun. Ryujin selalu menjadi tempatnya menceritakan banyak hal. Gadis itu mendengarkannya dengan sangat baik, membuatnya benar-benar merasa dihargai.
"Kau bilang, kau senang naik bianglala karena langitnya sangat indah. Bisakah kau jelaskan lebih detail apa maksudnya? Aku merasa ada banyak yang tersimpan dalam kata-katamu." Beomgyu bertanya perihal jawaban yang diluncurkan gadis itu saat pertemuan pertama mereka. Dirinya yang memang sangat haus rasa penasaran, tak bisa menahan lagi.
Ryujin mengerutkan kening, "Kau masih mengingatnya?"
"Tentu."
"Kau orang yang sangat ingin tahu banyak hal ya?" Ryujin terkekeh ringan. Bola matanya bergulir ke arah langit. "Maksud dari ucapanku saat itu adalah langitnya sangat indah melebihi hidupku sendiri, Beomgyu. Bahkan jika kehidupan bisa diulang, aku akan meminta pada tuhan agar hidupku bisa seindah langit."
Beomgyu akhirnya mengerti apa yang dikatakan Ryujin. Ia mengambil kesimpulan singkat bahwa mungkin kehidupan gadis itu berat, dan memandang langit adalah cara untuk mengobati perasaannya.
"Tetapi langit juga terkadang mendung." ucapnya yang membuat pandangan Ryujin mendarat ke arahnya. "Dan setelah mendung, langit akan kembali cerah. Kau tahu maksudku kan?"
Gadis itu terdiam cukup lama, seolah mencoba memahami tiap kata yang diucapkan Beomgyu. Sorot matanya meredup lagi dengan senyum kecut yang terlukis. "Sudah terlambat."
"Maksudmu?" Beomgyu bertanya tak mengerti hingga keningnya berkerut.
"Sudah terlambat, tapi aku tidak menyesalinya. Seandainya aku bertemu denganmu lebih cepat, mungkin segalanya bisa lebih baik dan tidak akan ada akhir yang seperti ini. Sayang sekali."
Entah yang ke berapa kalinya Beomgyu dibuat hampir muak karena ucapan Ryujin yang selalu terdengar rancu. Merasa jika ia melanjutkan percakapan ini akan semakin banyak kata-kata yang tidak ia mengerti, Beomgyu pun memilih menutup mulut. Dan aat ia tengah mengamati wajah gadis itu, angin tiba-tiba berhembus cukup kencang, membuat Beomgyu sontak menyipitkan kedua matanya. Rambut sebahu Ryujin juga tertiup, melambai-lambai menutup wajah hingga tak sengaja lehernya terlihat. Beomgyu mematung, mengerutkan kening saat ia melihat leher gadis itu. Ia yakin penglihatannya tak salah.
Itu seperti sebuah bekas sayatan yang lebar dengan posisi menyamping dan bentuk yang miring.
Bianglala mereka berhenti. Turun perlahan ke bawah, dan ketika mereka sudah berada di posisi terbawah, Ryujin tiba-tiba kembali merajut senyum di antara gelembung-gelembung kebahagiaan di wajahnya.
"Choi Beomgyu, terima kasih banyak."
Pemuda itu tertegun mendengarnya. Apalagi saat melihat senyuman tulus yang dilukis gadis itu membuat perasaan aneh tiba-tiba datang menyergapnya. Senyuman yang tak pernah ia lihat dari seorang Shin Ryujin. Kenapa ia merasa seolah ini adalah terakhir kalinya? Kenapa ia merasa seolah Ryujin akan pergi?
Pintu kabin dibuka, mempersilahkan mereka untuk keluar. Dan hal selanjutnya yang mengejutkannya adalah Ryujin keluar dari bianglala. Selama ini, Beomgyu belum pernah melihatnya melakukan hal itu dan selalu dirinyalah yang turun lebih dulu. Ryujin selalu melontarkan alasan yang sama tiap ditanya, yaitu dia membeli tiket yang lebih. Namun, kali ini gadis itu benar-benar turun, membuat Beomgyu membeku di tempatnya dengan rasa terkejut.
"Ryujin—"
Duk!
Beomgyu hendak mencekal lengan gadis itu yang satu kakinya sudah berada di luar kotak bianglala. Namun, aksinya itu tertahan sebab ponselnya yang jatuh. Ia menunduk, buru-buru mengambil benda pipih itu. Tetapi saat ia mendongak, gadis itu sudah menghilang.
"Kau masih ingin naik lagi?" tanya si pria paruh baya.
Beomgyu menggeleng. "Ah tidak. Maaf, saya akan segera turun." ucapnya dan bangkit dari duduk. Namun, sebelum ia benar-benar keluar dari kabin, Beomgyu menoleh ke tempat duduk Ryujin. Ada sesuatu yang terselip di bangkunya, nyaris tak terlihat. Karena penasaran, ia pun mencoba meraihnya. Sedikit sulit karena benar-benar terhimpit, tapi akhirnya ia berhasil mendapatkannya. Ternyata itu adalah buku coklat yang biasa dibaca oleh gadis itu.
Beomgyu buru-buru keluar dari kabin dan langsung berlari mencari keberadaan Ryujin. "Ryujin-ah!! Shin Ryujin!" ia berteriak, memanggil namanya berulang kali dengan mata yang terus memindai sekitarnya. Tak menyerah, Beomgyu terus mencarinya hingga mengelilingi festival yang luas itu dan tak henti terus menyerukan nama gadis itu. Ia juga bertanya pada orang-orang di sekitarnya apakah mereka melihat seorang gadis seperti Ryujin. Beomgyu menjelaskan ciri-cirinya, namun tidak ada satupun yang tahu. Ia mengerang frustasi, mencengkram buku milik Ryujin. Tidak mungkin dia menghilang secepat itu kan?
Sinar matahari perlahan semakin memudar, tenggelam kembali ke peraduan seiring dengan gelap yang mulai menyebar. Beomgyu pulang dengan putus asa. Hatinya masih dilanda kegelisahan yang tak mereda sama sekali. Dia tak berhasil menemukan Ryujin. Hanya buku coklat milik gadis itulah yang berada di tangannya sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
『√』The Ferris Wheel
Fanfiction[short story] "At 5:53 on the ferris wheel, i met her." ⚠️suicide, loneliness