𝐀𝐬𝐭𝐚

58 11 3
                                    

Tak terasa, kini sudah memasuki pertengahan semester ganjil. Sekarang, gue dan Chasya fokus dahulu dengan soal soal ulangan yang sedang dihadapi. Kami berjanji setelah Penilaian Tengah Semester nanti, kami akan pergi bertemu dengan Nenek gue.

Penilaian kali ini diselenggarakan secara daring dari rumah masih masing. Pada hari pertama kemarin, gue terlambat 30 menit di mata pelajaran pertama, tapi syukur pelajaran tersebut Ilmu Agama bukanlah matematika. Gue sudah selesai dengan penilaian mata pelajaran hari ini, gue menutup seluruh laman bekas mengerjakan penilaian, kecuali laman pemutar musik yang gue biarkan terbuka untuk menemani kesendirian gue hari ini.

Gue membuat sarapan sederhana karena tak sempat sebelum ulangan tadi, hanya membuat omelet dengan topping seadanya. Ditengah gue memasak, ponsel gue bergetar. Dapat dilihat bahwa adik dari Nenek gur lah yang menelpon, gue hiraukan dulu, paling dia hanya mau menanyakan kabar dan basa basi saja. Gue meneruskan acara masak memasaknya. Di depan laptop yang membunyikan lagu <Berlari tanpa kaki> lah yang menemani santap pagi gue kali ini.

Ponsel gue kembali berdering, tapi kali ini nama sepupu gue lah yang terpampang dilayar. Kali ini gue mengangkatnya.

"Ya?" Ucap gue setelah menekan tombol berwarna hijau

"Mamih udah gaada" Ucapnya dengan nada bergetar

"Bercanda lo ga lucu, Dy"

"Engga, cepet ke sini"

Gue memutuskan panggilannya, terduduk lemas di bangku belajar. Masih belum bisa mencerna apa yang sebenarnya terjadi, berbagai pertanyaan senantiasa timbul setiap detik berganti. Kelopak mata gue mulai meneteskan air matanya, dada mulai terasa sesak dan tenggorokan yang terasa sangat sakit. Akhirnya, seluruh air mata yang dipendam sejak lama bisa dikeluarkan dengan alasan dan tak sia sia. Gue memeluk diri dan menangis sepuasnya, seolah tau, pemutar itu memainkan lagu lagu yang mendukung keadaan, membuat hati semakin terhanyut.

Setelah lebih tenang, gue berganti dengan pakaian serba hitam dan bergegas pergi menuju rumah duka.

Sudah tidak ada air mata lagi diperjalanan, bukan tidak sedih atau merasa kehilangan, tapi diri ini yang menahan air matanya. Ya, ini dia sifat gue yang terlalu banyak memendam, sehingga gue sulit mengeluarkan emosi secara leluasa. Entah ini didikan atau memang diri sendiri yang menentukan pilihan.

Sebentar lagi gue sampai, hanya tinggal lurus beberapa meter saja. Gue menurunkan kecepatan, melihat pemandangan rumah itu yang dipenuhi orang yang senantiasa membantu merapihkan teras rumah. Hingga tibalah gue didepan rumah itu, gue turun dari kendaraan setelah memarkirkannya.

Semua orang menangis sambil saling memeluk, kecuali suaminya yang duduk tenang di teras depan, menghadap langsung ke jenazah yang ditidurkan di ruang tamu. Gue melangkah ke hadapannya, berlutut dan mengusap pelan punggung tangannya. Ia tersenyum melihat gue yang begitu tegar dan tenang, gue melepas masker dan ikut tersenyum dengannya. Lalu memeluk tubuhnya untuk membagi ketenangan yang gue punya.

"Masuk" Kata si Kakek

"Engga, biar aja Rara di luar sama Papap" Ucap gue.

Gue menarik satu bangku dan duduk disebelahnya.

"Kenapa bisa gini?" Tanya gue.

"Jatuh– jatuh"

Gue tersenyum sambil mengusap pundak Kakek gue ini. Tak lama, adik dari Nenek gue menghampiri dengan tangis yang tak henti. Gue tersenyum dan menyambut pelukan beliau

"Mamih udah gaada, kamu yang sabar ya" Ucapnya.

"Iya" Ucap gue sambil terus mengusap punggungnya.

Setelah puas menangis, ia melepaskan pelukannya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 14, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

SAHARDAYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang