18 - Hari Bersama Selimut

125 19 0
                                    

Dua gelas minuman yang ada di atas meja di hadapan kami sama sekali tak tersentuh. Tubuh gelas yang semula hanya dihiasi titik-titik embun dari es di dalam gelas kini berubah menjadi jejak-jejak embun yang meluruh menjadi air dan meninggalkan bekas meliuk-liuk hingga membentuk kulacino di bawahnya.

"Jadi itu keputusan kamu, Nis?" tanya Ryu tenang. Aku menundukkan kepala tapi masih bisa melihat kalau Ryu menatap lekat ke arahku. "Putus?"

Aku mengangguk.

"Tapi kenapa?" tuntutnya tapi dengan nada suara pasrah.

Aku mengembuskan napas panjang dengan tetap mempertahankan posisi kepala yang menunduk. "Karena itu yang terbaik buat kita berdua," jawabku.

"Terbaik? Memangnya nggak ada jalan lain?"

Aku mendongakkan kepala dan memandang ke arah manapun selain ke dua netra Ryu.

"Aku nggak mau jadi penyebab retaknya hubungan keluarga kamu—"

"Oke. Kalau masalahnya karena Diva aku akan minta dia buat minta maaf ke kamu—"

"Ryu, ini bukan masalah Diva marah-marah ke aku tempo hari aja tapi lebih pelik lagi. Diva nggak suka sama aku karena dia merasa bahwa Yuna lebih deket sama aku ketimbang sama dia. Masalahnya nggak sesederhana yang kamu pikir."

"Kalau gitu kita bisa bicara sama Diva—"

"Nggak." Aku menggeleng. "Nggak. Diva nggak mungkin mau diajak bicara soal ini."

"Aku akan bikin dia mau bicara—"

"Itu nggak ada gunanya, Yu. Diva akan tetep benci aku sampe kapanpun." Tanpa sadar aku berteriak. Saat aku melihat Ryu mendadak diam aku langsung merasa bersalah. "Maaf," ucapku kemudian.

"Kamu benar. Diva memang orang yang keras kepala. Tapi bukan berarti dia nggak bisa dilunakkan. Kita bisa coba untuk bicara sama dia." Ryu mengembuskan napas kasar. "Aku nggak mau hubungan kita bubar begitu aja, Nis."

Aku juga nggak mau, jeritku dalam hati.

"Kamu inget nggak kata-kata mama? Kamu inget waktu mama bilang kalau kamu adalah perempuan pertama yang dibawa ke rumah? Itu memang benar. Bahkan selama tiga puluh tiga tahun hidupku baru kali ini aku punya pacar."

Aku sedikit terkejut dengan kenyataan itu. Selama ini aku memang tidak pernah membahas masa lalu masing-masing dari kami. Aku pikir masa lalu biarlah jadi masa lalu. Namun, aku tidak menyangka kalau sebelum ini Ryu juga belum pernah pacaran.

"Itu semua kenapa, Nis? Itu semua karena aku sudah banyak berharap kalau hubungan ini akan berhasil. Terlebih lagi kamu juga udah akrab sama Yuna. Kedua orang tuaku juga sudah menerima kamu bahkan mama nyebut kamu calon mantu. Mereka udah cocok sama kamu, Nis."

Tapi Diva nggak, jeritku lagi dalam hati.

"Aku yakin lama-kelamaan Diva akan luluh dengan sendirinya. Kamu nggak usah khawatir soal itu. Yang terpenting adalah kita berdua."

"Tapi hubungan kita nggak mungkin berjalan tanpa melibatkan adik kamu, Yu. Gimanapun aku pasti akan bergesekan dengan Diva karena Yuna secara hukum adalah anak kamu. Kalau aku deket sama kamu maka mau nggak mau itu akan memperburuk keadaan karena itu akan memberikan kesempatan buat Yuna buat deket sama aku."

Ryu tampak frustrasi.

"Aku akan … Nggak tahu gimana caranya … Percaya sama aku masalah ini pasti akan selesai. Please, Nis," mohonnya yang membuatku kembali gamang.

Tapi tidak. Aku tidak boleh gamang. Aku sudah memantapkan keputusan ini sejak di rumah tadi. Aku juga sudah memikirkannya berhari-hari. Aku sudah paham konsekuensinya.

KADREDA | TamatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang