19 - Empat Mata

185 23 0
                                    

Aku menyeret mundur sebuah stool agar aku bisa duduk di atasnya, persis di sebelah seorang perempuan yang sudah lebih dulu menunggu di sana sembari menghadap pemandangan taman dari lantai dua.

"Hai," sapa perempuan itu dengan senyum ramah begitu melihatku.

"H-hai," balasku canggung.

Seingatku perempuan di depanku ini meluapkan kemarahannya padaku ketika kami terakhir kali bertemu. Kenapa dia sekarang bisa seramah ini seolah tak pernah terjadi apapun sebelumnya? Apakah mendadak dia hilang ingatan atau bagaimana? Anehnya justru aku yang sebenarnya enggan bertemu dengannya tapi entah kenapa aku mengiyakan saja janji temu kami di sana. Entahlah. Otak dan tubuhku memang kadang tidak sinkron. 

"Sudah pesen minum atau makan di bawah tadi?" tanyanya yang tentu saja kujawab dengan gelengan kepala.

"That's fine. Kamu bisa panggil— Ah, Mas. Sini!" Diva melambai pada seorang waiter yang kebetulan baru selesai mengantarkan pesanan ke meja yang lain.

Selama beberapa saat kami disibukkan dengan kegiatan memilih menu makanan dan minuman.

"Jadi, Nis, tujuanku sebenarnya mengajak kamu untuk ketemuan di sini adalah untuk meminta maaf atas omonganku tempo hari," katanya setelah waiter tadi mencatat pesananku dan turun ke lantai satu. "Maaf juga kalau butuh waktu lama buatku untuk minta maaf langsung sama kamu."

Aku terkejut dengan ucapan Diva. Tak kusangka dia akan meminta maaf padaku lebih dulu. Kesan angkuhnya yang selama ini melekat padanya jadi sirna. Aku melihatnya dengan sudut yang lain kali ini.

"Nis," panggilnya yang membuatku tersentak dari lamunanku. "Kamu mau, kan, maafin aku?"

Aku masih bergeming.

"Aku tahu aku mungkin sedikit keterlaluan karena marah dan menuduh kamu tanpa bukti waktu itu. Aku … Aku memang sulit mengontrol diriku kalau marah. Aku hilang akal karena ini menyangkut Yuna. Kamu— Ko Ryu pernah cerita soal aku, kan, ke kamu?"

Aku mengangguk.

Diva mengembuskan napasnya. "Aku pernah mengalami masa sulit. Yah, itu harusnya nggak bisa dijadikan alasan buatku untuk menuduh kamu kalau kamu mencekoki pikiran Yuna. Aku—"

"Nggak papa," kataku lirih. "Aku udah maafin kamu kok."

Diva memandangku dengan tatapan tak percaya. "Semudah itu?"

Aku terkekeh. "Kalau ada orang meminta maaf masa nggak dimaafin? Malah aku yang dosa dong kalau gitu. Orang yang berani meminta maaf itu adalah orang yang berjiwa besar. Nggak mudah meminta maaf—"

"Lebih nggak mudah lagi memberi maaf, kan?" sela Diva. "Kalau kamu bilang orang yang berani meminta maaf adalah orang yang berjiwa besar maka orang yang bersedia memberi maaf adalah orang hebat."

Aku tersenyum. "Aku mungkin juga akan melakukan hal yang sama kalau aku jadi kamu, Div, jadi itu manusiawi. Meski aku belum jadi ibu aku tahu gimana rasanya perasaan seorang ibu terhadap anaknya."

"Persis." Diva mulai menyeruput es lemon tea-nya yang baru saja diantarkan ke meja kami. "Kamu tahu, Nis, aku tuh selalu cemburu sama kamu. Kamu cuma orang asing yang tiba-tiba datang secara nggak sengaja ke kehidupan Yuna tapi betapa mudahnya kamu mengisi hidup Yuna seolah kamu hidup lama bersama Yuna." Diva menyuap sepotong steik ke mulutnya sehingga ada jeda beberapa saat sebelum dia melanjutkan ucapannya. "Aku tahu aku salah karena aku sudah pernah meninggalkan Yuna waktu masih kecil. Tapi itu karena aku masih naif. Yah, itu tetap aja salah memang dan aku menyadari kesalahanku itu makanya aku pengen mengubah itu semua. Aku pengen restart over. Sayangnya, ternyata itu nggak mudah. Gimanapun aku nyoba buat bisa deket sama Yuna aku tetep nggak bisa sedeket kamu sama dia. Kamu pasti tahu, kan, rasanya ditolak sama anak sendiri. Itu nggak enak banget, Nis."

KADREDA | TamatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang