Matahari bersinar terik di SMA Unggul Jakarta meskipun hari terhitung telah senja. Telah melewati matahari terik selama 17 tahun lamanya; rasanya sudah tidak asing lagi untuk penghuni sekolah tersebut. Pak Untung, petugas kebersihan sekolah, tidak ragu untuk berjemur diri untuk menyapu halaman sekolah. Mumpung tidak ada siswa yang mengerubungi lapangan untuk bermain futsal, basket, atau latihan ekstrakurikuler lainnya. Pak Untung sengaja untuk bersih-bersih ketika waktu pulang sekolah agar besok, ketika kegiatan belajar-mengajar dimulai, amarah yang tak perlu tidak diterimanya. Musim ujian seperti saat ini adalah masa-masa favoritnya karena memudahkannya untuk bersih-bersih lapangan lebih awal karena ia tak perlu pulang sampai larut.
Tunggu, Pak Untung bukan tokoh utama di cerita ini.
Tokoh utama cerita ini adalah siswa yang saat ini sedang duduk di ruang Bimbingan Konseling. Ia membenci matahari yang terik di luar karena sangat bertolak belakang dengan hatinya yang saat ini mendung. Tidak ada jaminan hatinya akan terus mendung. Bergantung dengan pembicaraannya dengan guru Bimbingan Konseling, bisa jadi cuaca hatinya berubah menjadi badai katrina, sebuah badai siklon tropis besar yang melanda benua Amerika. Setidaknya, itu yang pernah ia baca.
Musim ujian untuk kelas dua belas seharusnya menjadi surga bagi junior-juniornya, tetapi tidak untuknya. Itu adalah masa-masa ia akan dipanggil guru BK untuk membicarakan topik yang sangat dihindarinya.
"Diandra, makasih sudah menunggu ibu, ya." Ibu Katarina menyapa Diandra dari belakang dan segera duduk di kursi yang tersedia di hadapan Diandra. Diandra tersenyum seenaknya. Namanya saja Katarina, pantas saja mengundang badai, batinnya.
"Meskipun kami masih kelas sebelas, kamu tahu kan kalau pendidikan lanjut perlu dibicarakan lebih awal," lanjut Bu Katarina. Ia mengeluarkan sebuah bundel kertas yang di-klip ujung kirinya. Diandra tidak tahu betul, tetapi yang ia dengar dari gosip yang bersliweran Bu Katarina akan menyerahkan kuesioner karir.
"Nggak semua, loh, dipanggil ke ruang BK sejak masih kelas sebelas. Cuma siswa top 10 di sekolah untuk setiap jurusan. Sekolah pikir perlu menyiapkan kalian lebih dini supaya nggak salah pilih jurusan ketika SNMPTN undangan, mempertimbangkan peringkat di sekolah dan nilai-nilai mata pelajaran kalian." Bu Katarina menjelaskan sambil menyodorkan bundel kertas itu pada Diandra.
'Kuesioner Minat dan Karir SMA Unggul Jakarta'. Ternyata benar kuesioner, batin Diandra.
"Kuesioner ini Ibu harap bisa membantu kamu menentukan minat kamu dan memilih jurusan nanti berdasarkan aspirasi karir." Bu Katarina hening sejenak menatap ekspresiku, berusaha menebak reaksiku tetapi pasti ia tidak menemukan apapun di sana. "Kamu kan peringkat 3 di jurusan IPA, pasti mengincar Kedokteran, ya kan?" lanjutnya.
"Iya bu." Jawabku singkat, berharap percakapan ini segera selesai. Maksudku, siapa sih siswa yang betah untuk ngobrol dengan guru BK?
"Tapi mungkin akan susah, loh, kalau dua orang yang peringkatnya di atas kamu daftar Kedokteran juga. Nandina yang peringkatnya tepat di atas kamu udah mantap pilih Kedokteran. Ibu belum ketemu Andreas, tapi dia sudah jelas unggul kalau milih Kedokteran juga."
Akhirnya sampai juga di topik yang paling Diandra hindari. Nandina. Andreas. Masih kelas sebelas, seharusnya masih punya waktu untuk menikmati masa-masa yang tidak akan terulang lagi, tetapi semua orang membicarakan bagaimana Diandra bisa bersaing dengan Dina dan Andre untuk memperebutkan bangku kuliah di Kedokteran.
"Saya tahu setiap tahun Kedokteran UI cuma ambil maksimal dua orang dari sekolah kita. Akan saya pikirkan lagi."
Bu Katarina memegang tangan Diandra pelan. "Kalau saja kamu banyak ikut kegiatan selama kelas sepuluh dan kelas sebelas, mungkin kamu bisa bersaing. Kamu tahu, kan, kalau Nandina juara olimpiade Biologi dan Andreas itu ketua kelompok keagamaan. Jujur, ibu tidak yakin beberapa sertifikat juara nasional speech contest membantu kamu."
Diandra mengangguk, enggan memperpanjang pembicaraan ini. Baru beberapa menit saja duduk di ruang BK dadanya sudah terasa sesak seakan-akan tidak ada udara di sana.
"Saya permisi, Bu."
***
Diandra memandangi Pak Untung yang sedang menyapu lapangan dari kejauhan. Sebuah senyum tipis tersungging di bibirnya. Bersih-bersih Pak Untung adalah pertanda ia pulang karena gerbang sekolah akan segera ditutup.
Matahari masih tinggi. Langit masih berwarna jingga. Lantai lorong masih memantulkan cahaya yang menerobos dari sela-sela genting. Waktu yang tidak biasa untuk menyaksikan Pak Untung untuk bersih-bersih, tetapi itu pertanda bahwa semakin sedikit siswa yang berada di sekolah. Tepatnya tersisa dua angkatan. Akhir tahun ajaran sudah tiba. Rasanya semakin nyata saja bahwa masa SMA nya tinggal tersisa 1/3 masa lagi.
Diandra senang berada di luar, setidaknya dibandingkan dengan di ruang BK. Seberapa pun ia ingin melupakan percakapannya, beberapa bagian mengulang-ulang di benaknya.
Kalau saja kamu banyak ikut kegiatan selama kelas sepuluh dan kelas sebelas, mungkin kamu bisa bersaing.
Diandra tidak punya hobi, tidak punya keterampilan seni dan olahraga, tidak suka suasana canggung ketika berkegiatan dengan orang yang tidak dikenalnya. Itulah penyebab kalendernya selalu bersih dari kegiatan sekolah.
Sebaliknya, ia suka belajar. Tidak ada pelajaran yang benar-benar ia sukai. Yang ia sukai menganalisa bagaimana cara mendapat nilai bagus. Bagaimana ia bisa mengetahui kelebihan dan kelemahannya lewat jenis-jenis soal yang dilatih setiap hari. Bagaimana dengan menguasai kelemahannya, ia bisa mencetak skor sempurna.
Meskipun tak se-sempurna Dina dan Andre., batinnya.
Ada beberapa momen yang ia sukai. Ketika menyiapkan pidato dalam Bahasa Inggris dan melakukan riset ke banyak situs luar negeri. Tidak banyak yang bisa dengan fasih menggunakan kemampuan bahasa sebaik dirinya. Tersimpan kebangaan dalam mimbar-mimbar di mana ia berdiri dan memamerkan kata-kata rumit dan pidato dengan struktur komprehensif yang membuatnya beberapa kali menyabet gelar juara dalam speech contest.
Ternyata tidak cukup.
Dari titiknya berdiri Diandra bisa melihat ruang OSIS yang berada tepat lurus di hadapannya. Ada beberapa siswa yang dikenalnya tengah duduk-duduk di lorong. Ajie dengan perawakan yang tinggi dan kulit sawo matang sangat kentara di antara kerumunan siswa.
Dari arah tangga terdengar langkah kaki beberapa orang. Diandra menyaksikan beberapa siswa turun dan berbelok melangkah menuju pintu keluar. Dua orang di antaranya membawa sarung gitar yang digendongkan di salah satu bahunya. Jam segini anak-anak rohani kristen biasanya sudah selesai kebaktian.
Terdengar langkah kaki setengah berlari menyusul mereka. Seorang siswa yang tinggi, berkulit putih, berambut sebahu, dan mengenakan kacamata juga menenteng tas gitar di salah satu bahunya. Diandra tahu betul siapa dia. Andreas Wijaya, ketua kelompok rohani kristen.
Pengurus OSIS, anggota-anggota rohani kristen, Nandina, Ajie, dan Andre. Mereka begitu beruntung bisa memiliki kegiatan yang bisa mereka tuliskan dengan bangga di borang SNMPTN undangan.
Setidaknya mereka tidak perlu diceramahi guru BK karena jarang berkegiatan.
YOU ARE READING
Dunia Tipu-Tipu
ChickLitDi dunia di mana Diandra tidak merasa tempat di manapun, ia merasa hanya Andre yang terasa nyata baginya. Ketika seluruh dunia berkata rasa yang ia miliki adalah tipuan, hanya detak jantungnya yang membuatnya merasa hidup.