Bab 6 Eksekusi Mati

27 4 2
                                    

Maria dan Laila akhirnya dijatuhi hukuman cambuk karena melanggar beberapa pasal hukum pidana.

Algojo pun datang. Hanya punya satu mata, matanya merah pula, sudah jadi algojo cambuk sejak masih anak-anak. Ketika beranjak remaja tugasnya bertambah, menjadi pelaksana hukuman mati. Tak ada bagian tubuhnya yang menyentuh tanah, kecuali cambuk yang selalu ia bawa. Kesehariannya adalah makan, mengeksekusi tahanan, dan melayang tanpa ekspresi di sekitar kota.

Namanya Yuglen Afridiz, dan pakaian serba hijaunya membuatnya sangat mudah dikenali dari sudut manapun.

Yuglen menelan dua perempuan itu. Sesuai perintah hakim yang memvonis mereka dengan hukuman mati. Ia lalu pergi membawa mereka ke tempat eksekusi yang entah berada di wilayah mana. Yang pernah pergi ke sana hanya Yuglen dan para algojo lainnya.

"Kurasa memang kita harus bernasib seperti ini, Laila. Sendirian di dalam tubuh algojo dan menunggu mati."

Bagian bulu cambuknya menciptakan dorongan yang amat kuat di udara. Mereka melaju kencang ke depan. Cambuknya kadang berputar-putar ringan, kadang membuat lengkung rapat dan melecut kuat. Yang pasti pergerakan Sang Algojo tak dapat dihentikan.

Algojo kemudian mendekati sebuah perairan yang dari atas terlihat suram. Penuh alga hijau muda. Tak terlihat di mana dasarnya.

Sementara itu, algojo-algojo yang lain juga membawa tahanan masing-masing. Dalam tubuh mereka yang tembus pandang itu terlihat muka-muka sendu, beberapa masih bernyawa utuh, beberapa tinggal tengkorak kaku.

Cambuk-cambuk itu saling bertabrakan satu sama lain. Siapa yang menyangka di dalam air ada jaringan komunikasi antar algojo cambuk yang segini kompleksnya? Siapa sangka ada juga tahanan-tahanan lain yang sedang menunggu mati di dalam tubuh para algojo?

Dari rongga kosong kaya oksigen yang mengurung Maria dan Laila, dapat dengan mudah terlihat mata Sang Algojo. Dilihat dari dekat mata itu lebih mirip permata rubi yang bergerak-gerak pada aksisnya. Mungkin mata itulah pengendali tubuhnya. Maria dan Laila, dalam sedih dan takutnya, masih sempat mengagumi permata merah yang peka cahaya itu.

"Kalau bisa ingin kuambil matanya, Laila."

"Ya, mungkin bagus kalau jadi liontin atau dipecah lebih kecil untuk cincin. Itupun kalau kita bisa keluar dari sini."

Laila mulai bisa tersenyum lebih lebar. Maria memanglah seorang pembuka percakapan yang baik.

"Setidaknya aku ingin memegangnya sebelum mati."

"Amin, amin, amin, Laila."

"Kadang kupikir aku ini pantas mati. Karena tidak bisa jadi ibu yang baik. Anakku berhak mendapatkan ibu yang lebih berguna. Ibu yang bisa menjaga anaknya dengan baik."

Maria diam sejenak. Ia tak menyangka Laila akan membahas hal tersebut. Itu bukanlah topik yang tepat untuk di bahas dalam situasi seperti ini.

"Menjadi ideal itu berat, jadilah apa-adanya. Soal matimu, semoga waktunya bukan hari ini atau besok atau lusa. Kuharap kau tidak mati dulu sebelum kau bahagia. Aku yakin, anakmu tidak akan bahagia melihatmu sedih begini. Jangan sia-siakan kematiannya."

"Itu doa yang baik. Terima kasih. Kuharap kau juga bisa berdamai dengan suamimu, Maria."

Maria terperangah. Laila rupanya peka juga dengan sekitarnya. Dikiranya Laila itu cuma tahanan yang egois.

"Aku sih mau, dia saja yang memilih hal yang berbeda denganku. Ya sudahlah, aku juga tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Sekarang, jika bisa keluar dari sini, fokusku adalah mengurus anakku sampai dewasa. Sampai jadi manusia yang mencinta, meski terluka. Terserahlah suamiku mau tidur dengan siapa, asal dia bahagia."

BELUM SANGGUP MENASKAHIMUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang