- { 26 } -

1K 76 1
                                    

26. Tentang Luka yang Dalam

 Tentang Luka yang Dalam

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Rama ikut mendudukkan diri di samping Raka yang melamun. Entah kenapa, ia merasa ada yang salah dengan adik sulungnya itu. "Ka, boleh Kakak nanya?"

Raka melirik sebentar, lalu tak lama ia mengangguk. Dapat terlihat urat-urat Raka mengeras, tangannya terkepal kuat seperti tengah menahan amarah.

"Sebelum Kakak sama Raga ke makam waktu itu, kakak nemu kertas resep obat dari dokter. Obat apa itu, Ka?" Bohong jika Rama tidak tahu obat apa yang ia temukan. Lantas, apa gunanya internet kini?

Raka tidak bergeming. Ia membuang muka, tak berani menatap wajah sang Kakak. Sial! Kenapa bisa ketahuan?

Rama memejamkan mata, mencoba untuk menenangkan diri. Jangan meledak sekarang.

"Jujur aja, Ka. Kakak mau kamu jujur. Ayo terbuka sama Kakak," Rama mengusap perlahan tangan mengepal Raka. "Kalau emang parah, Kakak bantu kamu buat sembuh. Kita sama-sama berjuang."

Dan pada akhirnya, Raka berhasil meledak. Ia bangun, meninju dengan kuat sofa yang tadi ia duduki. Ingin memberikan tinjunya pada tembok, namun Raka sadar ini rumah sakit, jangan sampai ia membuat kericuhan. Lantas Raka berjongkok, ia menunduk. Rasanya ingin menangis, tapi kenapa tidak bisa?

Sedangkan Raga yang sedari tadi hanya mampu mendengarkan, akhirnya ikut membuka suara. "Kak Raka, terlalu berat, ya?" Celetuk Raga yang membuat kedua kakaknya menoleh begitu saja. "Apa terlalu berat sampai kakak gak sanggup buat cerita? Kalau kakak mau cerita, aku janji bakalan bantu kakak sembuh. Aku juga janji, bakalan jadi penopang kak Raka, selain Kak Rama. Meskipun keadaan aku kayak gini, tapi aku bakalan berjuang buat bantu kakak!"

Rama mengulas senyum tipis. Raga, ia begitu mulia. Dengan segala kekurangan yang ia punya, Raga mencoba untuk membuat orang lain berdiri kokoh. Raga tidak ingin orang lain hancur dan kehilangan topangan hidup mereka.

"G-gue ngidap PTSD," dengan berani, Raka mencoba mengatakan fakta tentang dirinya. Fakta yang selama ini ia simpan, dengan begitu banyak ketakutan.

Keterkejutan langsung menghampiri Rama. Ia hanya tahu obat yang ditemukannya adalah obat penenang. Ia tidak tahu jika Raka sakit. Dan yang lebih mengerikannya, sakit itu terlalu dalam, menyerang mental sosok kuat yang menyembunyikan segala sakitnya. Lagi, Rama gagal menjadi seorang kakak. Kakak macam apa yang membiarkan adik-adiknya hancur dalam rasa sakit?

Air mata Rama tidak dapat dibendung. Ia tahu penyakit apa yang diidap oleh Raka. Rama pernah membantu teman kuliahnya yang berada di jurusan psikologi. Meski tidak tahu rincinya, namun Rama tahu betul inti penyakit tersebut.

PTSD, Post-Traumatic Stress Disorder. Gangguan stress pasca trauma. Penyakit mental yang membuat orang menjadi mudah marah dan takut tanpa terkontrol. Biasanya, banyak diidap oleh orang-orang yang memiliki trauma dari peristiwa tragis atau mematikan yang pernah pengidap alami maupun saksikan.

"Kenapa kamu sembuyiin ini dari kakak, Ka? Kenapa? Dan lagi, trauma apa yang kamu punya sampai mengidap PTSD, Ka?" Tanya Rama beruntun dengan nada lirih mengisi. Ia terpukul, benar-benar terpukul dengan keadaan dua adiknya.

"Mungkin emang saatnya gue ceritain hal ini ke kalian semua. Sebelum gue bercerita, gue minta maaf. Maaf karena gagal melindungi keluarga kita sebanyak dua kali."

Raka yang berusia sepuluh tahun berjalan membawa bola mainannya. Keringat sudah membasahi sekujur tubuh anak laki-laki itu. Bajunya kotor sebab lumpur yang ada di lapangan tadi.

Senandung kecil yang ia keluarkan terpaksa dihentikan ketika melihat mobil yang tidak asing berhenti di persimpangan jalan. Itu mobil kedua orang tuanya. Hendak menghampiri, namun langkah Raka kecil terhenti ketika melihat ada mobil yang tiba-tiba turut berhenti.

Papa Raka keluar dan berkelahi dengan beberapa sosok kekar yang terlihat menakutkan di mata Raka. Raka ingin berteriak, tapi terlalu takut. Di belakang sang ayah kini seseorang dengan kayu siap menghantam kepala Papanya saat itu juga.

Dan semuanya benar-benar terjadi. Ayahnya tidak diberi kesempatan melawan sama sekali, dipukuli dan dihantam menggunakan kayu. Tak lama, beberapa orang yang ada berganti ke jok mobil di mana sang ibu duduk. Sama seperti Papanya, Mama Raka turut dihantam oleh kayu.

Tidak tahu bagaimana disiksanya sang Mama saat itu, Raka mundur dan segera berlari. Ia ketakutan. Kejadian tersebut terlalu menakutkan untuk bocah seperti Raka. Kakinya sungguh lemas.

Ia takut dan marah. Kenapa ia tidak menolong kedua orangtuanya? Kenapa ia lari?

"Saat itu juga, gue merasa gak guna. Gue penyebab Mama Papa meninggal, gue, Kak. Gue!" Tangan Raka memukul kepalanya berulang kali. Ia sungguh marah. Kenapa ia tidak menjadi pahlawan di akhir kehidupan orang tuanya?

Dengan cepat Rama menghentikan pergerakan Raka. Sudah cukup, Rama masih terlalu shock. Kenyataan yang ia terima terlalu menyakitkan. Namun ia sadar, Raka lebih sakit. Raka lebih takut. Dan Raka, ia terlalu dalam masuk ke lubang kegelapan.

Rama mengambil oksigen dengan rakus. Kenapa Mama Papanya pergi dalam cara yang mengenaskan? "Terus, soal kecelakaan mereka?"

Raka menggeleng, "semuanya bohong. Kematian Mama Papa dimanipulasi. Penyebab kematian mereka bukan kecelakaan, tapi ini murni pembunuhan yang direncanakan."

Dan Raga, ia benar-benar sudah menangis di tempatnya. Tidak mampu berbicara, Raga benar-benar merasa sulit berbicara. Lidahnya beku, sekujur tubuhnya seperti dihantam banyak bebatuan.

Kenapa hidup mereka harus menyedihkan seperti ini?

•

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

-SmoothyCha

SEKUAT RAGA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang