Dia, Bayu.
Laki-laki yang selalu memberiku senyum penuh semangat. Laki-laki yang selalu mendekapku kala aku menangis. Laki-laki aneh yang memilihku dari sekian banyak perempuan yang suka padanya.
Awal kata kami ,dimulai ketika Bayu meminjam pulpen milikku. Jika Bayu berkata lain tentang ini, terserah pada kalian ingin percaya pada siapa.
Waktu itu ia tampak frustasi sebab tidak menemukan satupun alat tulis ditasnya. Harus aku akui dia anak yang rajin, dia selalu mencatat apa yang dosen jelaskan didepan sana.
Kurasa dia memang berminat masuk jurusan ini. Bukan seperti aku yang terpaksa.
"Ini pulpen kamu." dia menyodorkan satu paper bag, seminggu setelah dia meminjam alat tulis padaku. Aku mengernyitkan dahi. Pulpenku dalam sebuah paper bag ?
Aku belum menerima uluran benda dari tangannya. Dan dia meletakan itu disampingku.
"...pulpen yang kemarin habis. Gantinya ada disitu."
Aku hendak membukanya. Tapi dia mencegahku.
"Jangan sekarang!. Pulpennya murahan. Aku malu."
Aku hanya mengangguk. Dia bingung ingin mengatakan apa lagi sepertinya.
"...kamu Rosa kan ?" dia menunjukku. Aku mengangguk lagi. "...namaku Bayu. Jangan sungkan nyapa kalau kita ketemu. Aku duluan.,"
Dia pamit dengan langkah setengah berlari. Entah kenapa aku ingin menatap punggungnya sampai benar-benar hilang.
Hanya pemuda itu yang sampai saat ini mau mengajakku bicara banyak padahal ia tau aku tidak banyak mengeluarkan suara. Aku tercenung ditempat. Rasanya aku ingin bertemu lagi dengan pemuda itu.
Aku membuka paper bag itu. Didalamnya justru berisi pakaian. Aku tak mengerti, dimana yang katanya pulpen ?
Aku merogohnya lebih dalam dan benar, aku menemukan pulpen. Bukan satu buah pulpen, tapi satu lusin. Secarik kertas kecil ada diantara pakaian itu.
'oh hai. Haha, kamu udah baca ya ? Itu buat nuker pulpen kamu. Aku keasikan nulis sampai lupa dan kebawa pulang. Maaf ya. Itu bajunya buat kamu. Kalau jelek buang aja, kalau sempit kasih ke orang. Namaku Bayu, jaga-jaga kalau kita nggak sempat kenalan.'
Lucu. Pemuda itu bahkan sudah mempersiapkan surat jika dia tak sempat berkenalan.
Ah ya, Bayu. Aku akan selalu ingat namanya.
.
.
.
.
Pagi harinya, kebetulan aku dan Bayu kembali sekelas. Aku melihatnya duduk di gazebo sambil membuka buku catatannya.
Aku memperlambat langkah untuk memperhatikannya. Dia melihat ke arah arloji perak dipergelangan. Dia tampak kalang kabut seketika. Dengan cepat dirinya membereskan semua buku dan aneka keperluan kuliahnya.
Oh tunggu, aku harus menyapanya sebelum dia pergi. Langkahku aku percepat. Tepat sebelum Bayu berdiri aku sudah berjalan didepannya dan menyapanya duluan.
"Pagi, Bayu."
Dia mematung ditempatnya. Aku sempat meliriknya sejenak. Air wajahnya jelas terkejut. Apa aku menyeramkan ?
Aku berlalu menuju kelas. Berusaha abai. Harusnya aku tidak menyapanya kan ?
Langkahku sudah aku percepat, tapi masih ada yang mensejajari langkahku."Pagi juga, Rosa." ucap suara itu. Oh, itu Bayu.
Kami dekat sejak itu. Mulai dari sering bertukar sapa, pergi ke kantin bersama, bahkan sampai memfotokopi materi dan jurnal kami lakukan bersama.
Akhirnya, Bayu tau kalau aku seorang penulis cerita.
"Kalau kamu suka nulis kenapa nggak di publish ?" tanyanya kala itu. Aku menggeleng.
"Belum siap." jawabku pelan.
Dia hanya mengangguk. Ya, dia tidak banyak bertanya lagi setelahnya.
Sebenarnya bukan tentang siap atau tidaknya aku, tapi aku sama sekali tidak pernah dapat dukungan untuk kesenanganku.Jangan kalian pikir orangtuaku senang punya putri yang gemar membaca daripada belanja. Nyatanya tidak demikian.
.
.
.
.
.
Dia, Bayu.Pemuda dengan segudang talenta yang bahkan aku sama sekali tidak berekspektasi kesana. Bermusik misalnya, dia selalu seperti dewa melodi jika sudah berkumpul dengan alat-alat musik.
Atau ketika bagaimana dirinya tampil dikalangan junior. Wibawanya seolah terpancar hanya dengan diam berdiri dan mendengarkan apa yang disampaikan orang lain. Juga aura kepemimpinan yang entah dari mana, membuatku terkagum-kagum.
Apa dia tidak berniat mencalonkan diri sebagai ketua Badan Eksekutif Mahasiswa ?
Dia bertalenta, dan aku bangga karena itu. Dia berwibawa, dan aku kagum dengan yang satu itu. Dia mudah bergaul, dan aku.
Aku iri dengan itu.
Bukan sekali dua kali fakultas ekonomi mengadakan acara bakti sosial untuk masyarakat. Dia selalu menggandengku untuk acaranya. Dia selalu mengajariku cara untuk mendapatkan teman.
Tapi berbeda. Aku seperti sulit memahami yang satu ini. Bayu hanya butuh senyuman dan satu kali sapaan, maka siapapun akan melebur dalam dialog mereka.
Sedangkan aku ? Tentu aku perlu orang-orang seperti Bayu yang ada disekelilingku. Orang yang bisa sabar jika aku hanya mengeluarkan satu atau dua kata. Orang yang mau menerima gadis berstempel kutu buku seperti diriku.
Tapi itulah Bayu.
Apapun acara yang melibatkan dirinya, ia selalu mengajakku untuk ikut serta. Sekali dua kali aku menolak karena memang tidak bisa. Sisanya aku menolak untuk menghindar, dan Bayu bisa tau aku enggan.
Dia mencoba menyakinkan diriku. Mencoba membuatku percaya bahwa ia akan selalu disampingku.Dan sekarang. Aku percaya!
Bersambung....
Hari ini aku publish work ini buat kalian.
Karena besok aku dan team bakal maju lomba,, semoga kami menang!Mohon doanya teman-teman!
11-04-2022
KAMU SEDANG MEMBACA
Dia, Bayu.
Short Story♠[S2] untuk lelaki yang selalu menyanggaku kala nyaris tumbang oleh kegilaan dunia, terimakasih. ©raihannisahayy 2022