Kami Sudah Ditelanjangi

201 65 9
                                    


𓆩 THE SOUND OF RAIN 𓆪

Pulau Jawa sudah tak aman lagi untuk kalian, itu yang Mas Chandra ucap kepadaku dan Mas Rino. Kami sudah dicurigai oleh intel, tak jarang juga kami diikuti oleh beberapa orang berpakaian serba hitam. Aku tak paham bagaimana cara mereka berpikir, tapi setidaknya tolong ganti kebiasaan berpakaian mereka itu dengan yang lebih baru. Mereka tak tahu gaya, sepertinya.

Setelah banyak gerakan-gerakan yang kami lakukan, pengintaian ini menjadi-jadi. Aji bahkan tak bisa mengunjungi Bapak dan Ibunya dengan tenang saat mampir di Surabaya. Cctv, kamera, semuanya seolah siap merekam apa saja kegiatan yang kami lakukan. Rasanya seolah ditelanjangi, meski kami tak telanjang.

Sannan, pemuda paling manis yang pernah kutemui, pernah didatangi di rumahnya sendiri. Bayangkan makan malam keluarga yang hangat itu harus rusak karena kedatangan sekelompok orang yang sepertinya tak pernah mandi, kemudian jadi beban pikiran bagi Bunda dan Ayah Sannan saat itu. Mas Chandra bahkan harus turun tangan untuk meyakinkan orang tua Sannan bahwa kami akan baik-baik saja.

Diantara banyaknya anggota, wajahku dan Mas Rino adalah yang paling dikenali oleh intel. Mungkin karena kami yang sering turun ke lapangan, beda halnya dengan Mas Chandra, Aji, dan Bimo yang lebih memilih melakukan tugas mereka di dalam ruangan. Aku dan Mas Rino kemudian menyebrang ke pulau Sumatera. Pertama di kota Padang, Pekanbaru, bahkan Aceh sekalipun sudah kami jejaki. Tak butuh waktu lama, palingan kami hanya bertahan dua atau tiga minggu dan selanjutnya akan berpindah lagi demi keamanan.

Kala itu, berawal dari surat yang dikirim secara estafet-dari tangan satu ke tangan yang lain, Mas Rino menerima sebuah pesan. Surat itu ditulis menggunakan bahasa Prancis dengan nama penerima Umbara Harwanto; nama samaran Mas Rino yang lain.

"Mas, bapak jatuh."

Hanya dengan sepucuk surat yang diisi satu kalimat (bahkan tak bisa kuartikan sebelum Mas Rino memberitahu) itu, maka sang Umbara ini bergegas mengemasi barangnya. Aku membantu mencari tiket atau apalah itu untuk Mas Rino agar ia bisa pulang ke Jogja.

"Hati-hati, Mas. Jangan sampai kelihatan sama lalat-lalat itu. Bahaya." Aku mengingatkan. Mas Rino kepalang khawatir sampai tak menjawab kalimatku. Bapaknya sudah tua renta, memang. Ia juga mengidap penyakit diabetes yang cukup parah untuk sekedar membuat jantung anak tunggalnya memacu saat dapat berita begini.

"Her."

"Kenapa, Mas?"

"Kemasi barang-barangmu juga, kita berangkat." Kupikir Mas Rino yang kelewatan khawatir sampai lupa sekitar. Ternyata sebaliknya. Aku menangkap tatapan Mas Rino yang terus melirik ke jendela; ada mobil jeep yang berhenti tak jauh dari halaman rumah kami. Langkah kakiku lantas dipercepat menuju lemari, kemudian mengemasi barangku secepat yang aku bisa.

"Her, mereka datang!" Mas Rino berbisik mendekati berteriak.

Peduli amat dengan pakaianku di saat begini. Tunggu, apa kami harus bersembunyi? Bagaimana kalau mereka mendobrak? Apa sebaiknya lari dari pintu belakang? Oh- tunggu, mereka ada di pintu belakang. Gawat. Bagaimana ini?

"Mas, pintu depan. Santai saja, mereka di belakang. Setelah di luar, kita lari ke semak-semak."

Dengan segera dan tanpa suara Mas Rino membuka kunci pintu. Kami tergopoh-gopoh sambil membawa tas di pung-

BRAK!

"Mas-!"

Selanjutnya-aku. Anjing! Kepalaku pening, entah darimana mereka muncul. Aku bisa mencium bau anyir darah menguar, kepalaku sepertinya sudah mulai mengeluarkan cairan kental saat ini. Tubuhku terhuyung, terjerembab ke tanah. Samar-samar kulihat Mas Rino masih memberontak. Ia menggeliat seperti cacing, menyumpah-serapah seseorang berbadan gempal yang tengah menahan tubuhnya saat ini.

"Woy, jancok!?" Aku bahkan masih bisa mendengar Mas Rino misuh dengan logat Jawa kental.

Kala itu, senja tengah mesra dengan jingganya. Aku paham bagaimana hangatnya kekeluargaan sesaat sebelum malam tiba seperti ini. Masakan para ibu biasanya sudah tersaji di meja. Aku bisa membayangkan sang kepala keluarga akan duduk minum kopi sembari menemani anaknya yang menonton kartun di televisi.

Terlalu hangat di dalam-sampai tak seorangpun yang tertarik dengan apa yang terjadi di luar sini.

"Sujita Nareswara, Wiro Pamungkas, Anom, Sunaryo-jadi yang benar; Herjuno?" Pria ini menapakkan sepatunya ke wajahku. Taruhan! Kakinya pasti tak pernah dibasuh. Bau sekali, sumpah, bahkan saat dia masih pakai sepatu?

Aku meringis saat kakinya menekan lebih kuat seolah ingin sandranya ini menyatu dengan aspal jalan. Lengan kiriku jadi tempat ia memadamkan sisa rokoknya yang sedikit itu.

"Her, Her. Kamu ngapain ikut-ikutan aksi mahasiswa yang bandel begini? Anak dari anggota PKI, bersama keluargamu, harusnya kamu sudah mati." []

© SUNFLUOUS, 2022

i. the sound of rain, straykids ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang