20. Positif

1.2K 192 14
                                    

Aku harap-harap cemas menunggu Raynia di dalam toilet. Berkat bujuk rayu dan sikap otoriter Mama, Raynia sama sekali tak bisa berkutik. Meski kelihatan panik dan enggan, tapi dia tetap nurut masuk ke toilet.

"Nia? Udah belum? Gimana hasilnya?"

Mama mengetuk pintu toilet. Lama tak ada jawaban.

"I-iya, Ma, sebentar."

Kudengar suaranya bergetar. Apa dia menangis?

"Kok Nia lama banget ya, Kha? Harusnya hasilnya udah keluar loh, udah lewat lima menit ini."

Mama sibuk mondar mandir di depan pintu. Dasar Mama!

"Sabar, Ma. Mungkin Nia masih belum tahu cara pakainya, jadi sambil baca dulu."

Suara knop pintu terdengar tanda pintu terbuka, muncul Raynia dengan wajah yang ... entahlah aku sulit membaca ekspresinya kali ini.

"Mana hasilnya, sini Mama lihat!" Mama langsung merebut testpack dari tangan Raynia.

Jujur, aku pun penasaran. Aku mendekat ke samping Mama dan melihat hasil testpack.

"Ini ada garis duanya, Nia, tapi samar banget." Mama menganalisa.

"Jadi?" tanyaku penasaran.

"Jadi ... kalau feeling Mama, Nia beneran hamil deh, Kha. Selamat ya, Nia." Mama menarik Nia ke dalam pelukan.

"Yakin, Ma?" Aku meyakinkan diri.

"Yakin dong, feeling Mama kuat. Sebentar lagi kamu jadi ayah, Kha." Giliran Mama memelukku.

Kulirik Raynia masih menunduk dan murung.

"Tapi, Ma. Itu 'kan masih samar. Bukannya kalau hamil itu garisnya dua?"

Walau aku belum pernah menghamili perempuan, tapi aku tahu cara kerja testpack.

"Udah kamu tenang aja. Besok pagi, Nia cek lagi ya. Sekarang emang samar karena mungkin hormon kamu belum terdeteksi. Coba besok pagi bangun tidur langsung testpack ya, dijamin hasilnya lebih akurat."

Mama masih belum menyerah. Raynia masih diam membisu. Kenapa dia?

"Eh, Nia, kamu belum makan, kan? Kita makan dulu yuk. Nih, Mama bawain sup buntut kesukaan kamu. Ibu kamu bilang, kamu suka banget sama sup buntut. Ayo duduk."

Mama menuntun Raynia duduk. Dia masih diam, hanya tersenyum samar.

"Mama ngapain ke sini malem-malem? Kenapa nggak telepon Rakha?" tanyaku.

"Halah, percuma telepon kamu. Nanti supnya baru kamu kasih ke Nia besok, keburu basi."

Aku mendesah. Terserah Mama saja lah. Aku juga sudah lapar.

"Eh, kok ngambil duluan!"

Aih, tanganku yang akan mengambil nasi malah ditepis oleh Mama.

"Biar Nia dulu yang makan, dia lagi berbadan dua. Butuh banyak makan."

Buset! Mama segitunya sama Nia! Yang anaknya Nia atau aku, sih?

"Ayo, Nia, kamu harus dipaksain makan. Kamu butuh nutrisi lebih banyak."

Nia hanya menurut. Tetapi baru satu suap, lagi-lagi dia mual. Hh, kasihan juga lihatnya.

Jadi, apa Nia beneran hamil anakku? Apa hamil semenyiksa itu? Aku jadi semakin merasa bersalah.

Tunggu, kenapa aku jadi menyebutnya Nia? Ah, bodo amat lah, mau Nia kek, Raynia kek, cewek belut kek, sama saja!

***

RAINBOW CAKE ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang