Ini tidak nyaman. Berada diantara orang yang memandangiku dengan tatapan iba, seolah aku layak menerima belas kasih lantaran tidak seberuntung Tenara dalam urusan asmara.
Ouh menyebalkan.
Seharusnya tidak kuhiraukan. Sekarang ahu hanya perlu ambil seribu langkah menjauh dari kerumunan ibu-ibu komplek ini dan meninggalkan beberapa pilihan sayurku di sana. Dengan alasan apapun, biar Mbak Is yang ambil nanti.Benar. Aku tidak mau mendengar gosip pagi yang kutebak bakal merambah pada pertanyaan personal, menyangkut diriku. Semacam, 'Neng Myea kapan nikah?' atau begini, 'Disegerakan Neng nikahnya, jangan kelamaan nanti keburu tua loh. Konon sih, aura anak gadis enggak lagi menarik kalau udah di atas umur 30'. Atau sesadis ini, 'Duh, saya kira yang laku Neng Myea Duluan loh ... eh ternyata ....'. Lalu mereka tertawa, seolah ucapannya selucu komedian Raditya Dika.
Oh hei!
Apa perlu aku menggantung karton di leherku lalu kutulis angka 24 di sana? Mayoritas dari teman sebayaku memang banyak yang sudah berkeluarga, tapi umur segitu juga tidak boleh dikatakan tua.Ouh atau ... aku boros muka?!
Kurasa tidak juga.
Sebagai sulung tugasku memang sedikit ngenes, mirip ibu rumah tangga tanpa gelar istri. Pagi masak, sesekali bantu Mbak Is beberes rumah sebelum kerja. Banting tulang padahal tidak memiliki kebutuhan terkusus. Jadi sekadar butuh dan tuntutan saja. Setidaknya aku memiliki budget untuk mencintai diri sendiri, memanjakan diri.
Seperti liburan, bisa beli ini itu tanpa membebani orang tua dan makan apa pun yang aku mau, sekaligus membeli omongan tetangga jika mau. Dengan ... sewa pacar gadungan, mungkin? Sesuai saran Mbak Is. Katanya, cari yang sekomplek saja biar tetangga mingkem.
Ya. Kurasa bukan rencana buruk. Setidaknya untuk sementara waktu selama Kelhan—kekasihku menyelesaikan kuliahnya di Utrecht, Belanda.
“Katanya mau ngenalin pacarmu ke Ibu? Jadinya kapan, Nduk?” mataku memicing, menangkap sosok Rumna—Ibuku yang sedang mengobrak abrik beberapa tatanan alat dapur. Sementara aku menyelesaiakan potongan wortel terakhir, capcay dengan ayam goreng mentega adalah menu pagi kami.
“Sabar Ibuu, orangnya masih sibuk,” jawabku.
Lalu suara riang Ibu terdengar menyapa seseorang, “Pagi sayang!” Mataku konstan mendelik malas saat bersitatap denganTenara—adikku yang masih berbalut baju tidur kusut. Enak sekali bocah itu. Udah bangun siang, tahu-tahu makan cuma tinggal nangkring lalu suap doang.
“Sesibuk apa sih, orang ketemu Ibu nggak harus seharian, kok,” sanggahnya kepadaku. “Hati-hati lho kamu Mbak, biasanya yang banyak alasan diajak ketemu keluarga mencerminkan tanda tidak adanya keseriusan!” peringatnya.
Aku menelan ludah. Lalu dengan jumawanya, Tenara menyahut setelah mencomot satu perkedel kentang. Ewh, jorok! Pipi aja masih bau iler. “Kaya Mas Yusuf dong Mbak, sat set sat set.”
Lagaknya sat set sat set. Iyalah orang Yusuf udah tua, 33 tahun! Ck, udah pasti dikejar nikah tuh orang.
“Mau nggak sama anak temen Ayah? Guanteeng lho, Nduk.” Ayahku, Hukman namanya, menyahut dari pintu belakang—halaman belakang bawah menjadi spot favoritnya, mengingat di sanalah tempat bermacam jenis burung peliharaan Ayah tinggal— ekspresinya kini tersenyum meledek, juga pongah.
Tidak hanya Ibu-Ibu komplek, orang rumah juga membuatku kesal.
“Heleh si Ayah, kaya yang dibutuhin gantenge tok. Yang penting kan bertanggung jawab, gemati,” kalimat bijak Ibu terucap, seiring jawaban Ayah kemudian yang membuat keduanya berdebat.
Kepalaku pening. Sementara Tenara? Biangkerok itu duduk cantik sambil menyesap teh pelangsing tubuh andalannya.
Oh ya Tuhan ....
Kulirik Mbak Isni. Dia nyengir setelah tertangkap basah memandangku penuh arti. Cengiran polosnya membuatku tertarik menyeret janda anak satu itu untuk mencari jalan keluar dari tekanan ini. Mengingat, hanya Mbak Is teman curhat andalanku. Usianya yang lebih dewasa juga pengalamannya membuatku tak sungkan bercerita atau sekadar meminta pendapat. Sejauh ini Mbak Is tidak mendebatku soal Kelhan, mungkin karena tidak berani juga. Entah, pada intinya aku merasa beruntung karen Mbak Is berada dipihakku
-
Seperti biasa, kesibukanku adalah mengurus pernikahan orang lain. Menjalankan jasa Wedding orgnizer yang dulu menjadi impian besarku kini berhasil sukses. Alhamdulillah.
Banyak acara dari budget standar hingga acara besar-besaran yang aku tangani. Mulai dari kalangan artis, pejabat, hingga orang biasa tapi berkepung harta. Orang yang menukar rupiah senilai ratusan juta dengan kemewahan semalam dua malam saja.
Oke. Tidak masalah, toh aku pihak yang menerima untung juga. Meski pekerjaanku kadang menjadi pemicu peranyaan-pertanyaan yang tidak ingin aku dengar juga. Mau gimana lagi, selalu ada resiko di balik apa pun itu 'kan?
Seperti sekarang, berbincang dengan Tantri—teman SMA-ku si konglomerat Yogyakarta—yang beberapa bulan lagi menggelar pernikahan menggunakan jasaku dan tim.
“Kamu kapan nyusul, Mye? Enggak bosan apa ngurusin nikahan orang lain mulu? Ayo, dong, angkatan kita udah nikah semua lho ....”
Aku nyengir. Andai saja bukan calon pemasukan rekeningku, sudah pasti ku sambar habis-habisan. Pada akhirnya aku juga yang ngalah, meski jengah, di sini posisiku sedang dituntut untuk waras. Lalu dengan terpaksa hanya bisa menjawab, “Secepatnya, doakan saja ya!”
Aku harap berakhir. Namun ternyata?
“Wiih, udah ada calon? Siapa-siapa?” cecarnya. “Kenalin dong! Bawa lah, ke reuni yang aku buat akhir bulan ini, masih gabung grub WhatsApp alumni kan?”
Aku tersenyum kaku.
Oh, ya Tuhan, cobaan apa lagi ini? Aku bisa fruatasi. Tantri juga tidak memberiku ruang untuk menjawab.“Bawa! Pokonya harus bawa ke reuni nanti.”
“Coba nanti kalau nggak ada kesibukan, ya, enggak berani janji dulu,” jawabku setengah menahan geraman.
Aku masih ingat betul siapa Tantri. Biang gosip anak Ips 2 yang mulutnya ember minta ampun. Sekali dapat berita, satu sekolah bisa mendengar dalam hitungan jam. Bakalan bersukur banget kalau setelah kejadian ini tidak ada yang menjadikanku bahan terror, bahan gosip, dan narasumber dari anak-anak satu ngkatanku di SMA Wisma. Secara, tampangku yang pas-pas-an, bodi kutilang dalam artian kurus tinggi tinggal tulang ini cukup terkenal sombong. Setelah beredar gosip menolak cinta roman piscisan senior OSIS pada masanya.
-To Be Continue-
Hailo! Iseng-iseng nih, semoga nggak un-update lagi deh. Emang suka kurang ajar nih jari wkwk. Btw, kasih semangat kalau suka:(((
Bye-bye aja deh. Sampai ketemu di part selanjutnyaaa!
KAMU SEDANG MEMBACA
Chased Time Of Marriage
ChickLitMyea, gadis keturunan Yogyakarta yang merasa di teror dengan pertanyaan orang sekitar mengenai pernikahan. Selain umur, Tenara, adiknya yang sudah bertunangan menjadi satu bagian pemicunya. Di mana, orang tuanya menganut kepercayaan adat Jawa mengen...