"Stooopppp !! Pasukan berhenti !"
Kebo Anabrang mengangkat tangannya, memberi aba-aba untuk pasukannya berhenti. Para prajurit menghentikan langkah mereka.
"Pasukan berkumpul ! Atur barisan !"
Para tamtama mengumpulkan pasukannya. Setelah semua berkumpul, Kebo Anabrang memacu kudanya di depan pasukan.
"Kita sudah berada di perbatasan Tuban ! Aku ingin tahu, apakah kalian tahu siapakah pemberontak yang akan kita basmi itu ?"
"Tidak tahu gusti !" teriak para prajurit.
"Pemberontak itu adalah adipati Tuban, Ranggalawe !"
Para tamtama dan prajurit terkesiap. Ranggalawe ? Bukankah Ranggalawe adalah pembantu setia Prabu Wijaya ? Benarkah ia memberontak ? Pasukan Majalengka saling memandang dan bertanya-tanya.
Melihat mereka saling berpandangan, Kebo Anabrang mengerti keraguan pasukannya.
"Aku ingin bertanya sekali lagi, apakah kalian setia mengabdi pada kejayaan Wilwatikta ?"
"Kami setia mengabdi pada kerajaan Wilwatikta. Kami bersedia mengorbankan jiwa dan raga kami untuk kejayaan Wilwatikta !" seru para prajurit.
"Kalau kalian tulus ikhlas mengabdi untuk kejayaan Wilwatikta, apakah kalian rela apabila Wilwatikta hancur dan terpecah-belah ?"
"Kami tidak rela Wilwatikta terpecah-belah !"
"Apakah kalian bersedia menumpas pemberontak yang ingin menghancurkan Wilwatikta ?" tanya Kebo Anabrang membakar semangat prajuritnya.
"Kami bersedia ! Matipun kami rela untuk kejayaan Wilwatikta !"
"Kalau begitu ayo kita hancurkan para pemberontak ! Ini adalah perang suci ! Perang ini adalah wujud dharma bakti kalian untuk kerajaan."
Para prajurit mengacungkan senjata mereka.
"Hancurkan pemberontak !"
Kebo Anabrang menghunus pedang dan mengacungkannya ke langit.
"Untuk kejayaan Wilwatikta !!"
Serentak para prajurit gegap gempita meneriakkan slogan-slogan kemiliteran Majalengka.
"Untuk kejayaan Wilwatikta ! Demi ibu pertiwi !!"
Dengan semangat membara para prajurit Majalengka beramai-ramai mengacungkan pedang dan tombak mereka. Dalam benak mereka, mereka akan melaksanakan perang suci melawan para pemberontak yang ingin memisahkan diri dari Majalengka.
Dari balik semak-semak seluruh gerak gerik pasukan Majalengka diperhatikan oleh mata-mata Tuban. Ia memang diperintahkan oleh Ranggalawe menjaga perbatasan Tuban. Sebagai seorang militer yang berpengalaman, Ranggalawe tahu perdebatannya dengan Prabu Jayanegara tidak akan berhenti begitu saja. Akan ada konsekwensi dari pilihannya, menentang kebijakan raja. Ia paham sekali situasi yang terjadi di Majalengka dan ia sudah mempersiapkan diri untuk menghadapi hal terburuk yang akan terjadi.
Melihat gelagat buruk, mata-mata itu segera memacu kudanya ke ibukota kadipaten Tuban. Setibanya di istana ia berlari masuk ke istana dan melaporkannya kepada Ranggalawe.
"Hmm.... Ada berapa orang pasukan Majalengka di perbatasan ?" Tanyanya.
"Mungkin sekitar 30.000 orang, gusti." Jawab tilik sandi.
"Gusti, kita harus segera mempersiapkan pasukan." Kata Patih Sura.
Ranggalawe menarik nafas panjang. Wajahnya menjadi keruh.
"Kakang patih, apakah kau siap menghadapi pasukan Majalengka ?"
"Demi kebenaran dan keadilan hamba siap mengorbankan jiwa raga, gusti." Jawab sang patih sambil menyembah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Prahara Majapahit
Historische RomaneIa berdiri dari duduknya. Arum tertegun. Membantu ganti baju ? Melihat baju rajanya saja sudah ribet, apalagi menggantinya ? Harus mulai darimana aku membukanya ? Pikirnya bingung. Melihat gadis itu kebingungan, Jayanegara tersenyum. "Mulai dari sin...