5. Karya Seni

140 15 8
                                    

Begitu kaki Haechan menginjak tanah Korea lagi, orang pertama yang segera ia tatap adalah sosok Mark. Sosok polisi muda yang sama sekali tidak tersenyum kearahnya. Haechan melangkah dengan riang dan dengan senyuman lebar kearah Mark yang justru terlihat terkejut. 

"Hyung..." hanya satu kata ini saja yang bisa diucapkan oleh Haechan, karena dia sendiri bingung mau berkata apa pada Mark. 

"Ayo segera masuk mobil," ucap Mark dingin. 

Haechan menatap pada Mark yang membalikkan badan dan melangkah menuju mobil yang sudah menunggu di lapangan untuk lepas landas. Haechan ikut melangkahkan kaki, ternyata seperti ini rasanya mendapatkan fasilitas khusus dari negara.

Haechan masuk kedalam mobil, duduk dibagian belakang dengan Mark dan seorang supir dari kepolisian didepannya. 

"Hyung, kita sudah lama tidak bertemu. Kau tidak mau menyapaku atau apa gitu?" tanya Haechan yang memajukan tubuhnya agar berbicara lebih dekat pada Mark. 

"Dengarkan aku baik - baik," kata Mark, "Selama proses persidangan kau akan tinggal dirumah Hyunbin nunna. Tidak boleh keluar dari rumah tanpa izin. Harus ada yang mengawal. Jika terlanjur kau tidka izin maka kau harus memberi kabar setiap 30 menit sedang ada dimana dan dengan siapa. Handphonemu juga akan diganti dengan handphone khusus."

Sebuah Handphone disodorkan oleh Mark pada Haechan. Dengan dengusan kesal, Haechan menerima handphone yang baru saja disodorkan oleh Mark. 

"Berikan handphonemu," kata Mark masih dengan nada yang begitu tidak bersahabat. 

"Tidak mau.." Haechan duduk  menyandar di bangku belakang, dengan tangan ia lipat didepan dada. 

Mark menolehkan kepala dengan kesal kearah Haechan, "Jangan main - main, cepat serahkan."

"Tidak mau... ya tidak mau... ini handphone pemberian dari Jimin eomma. Mahal harganya, berlapis emas dan ju...."

Mark mengulurkan tangannya pada Haechan, "Berikan...."

"Aku berikan tapi kau harus aegyo dulu untukku," pinta Haechan. 

"Jangan macam - macam kau ya..."

"Aku cuma minta satu macam. Aegyo," kata Haechan dengan tegas. 

Mark memelototkan matanya kearah Haechan, berharap anak laki - laki dihadapannya ini akan takut tapi malah balas tersenyum lebar dengan mata berbinar - binar. 

"Aku tidak bisa aegyo," kata Mark. 

"Cukup panggil namaku dengan manis. 'Haechanie....', begitu... cepat lakukan," desak Haechan. 

"Bagaimana kalau aku tidak mau?" tanya Mark. 

"Maka aku tidak akan memberikan handphoneku," jawab Haechan. 

Mark menarik nafas dalam - dalam kemudian menghembuskannya perlahan, "Haechanie..."

Haechan mengerutkan kening. Agak mengerikan juga melihat om - om memanggil namanya dengan manis tapi wajahnya tidak tersenyum sama sekali. Kepala Haechan menggeleng prihatin, ia mengambil handphone dari tasnya dan menyodorkan pada Mark.

"Sebelum kasusnya selesai aku akan mengajarimu aegyo yang benar hyung..."

"Terima kasih," ucap Mark sembari mengambil handphone Haechan yang ternyata benar berlapis emas. 

@@@@@

Haechan menatpa pada pisau lipat yang diletakkan di meja hadapannya. Ia kemudian melihat sebuah semprotan cabai dan yang paling menarik perhatiannya adalah sebuah benda lonjong sebesar lipstik. Tangan Haechan terjulur mengambil benda lonjong dan menekan tombol ditengahnya yang membuat benda lonjong itu memanjang dengan cepat, mengeluarkan tongkat tambahan dari dua sisi berbeda yang berukuran panjang dan nyaris menyodok Sehun yang baru saja datanng. 

Takdir?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang