Studio Seni Mr. Taylor

27 4 0
                                    

Meja makan rumah Anderson mendeteksi ketegangan yang mulai menjalar perlahan. Sereal di mangkuk Alex semakin layu dan belum tersentuh. Setengah mengantuk, Robert menaruh telunjuk dan jempolnya di depan bibir, memikirkan sesuatu begitu keras. Albert menggeser-geser iPadnya dengan malas, membaca dengan asal peraturan perusahaan yang memusingkan. Merasa semakin stress, Albert mematikan iPadnya dan ikut melamun seperti Alex dan Robert.

Tak lama, Miller keluar dari kamar Emma dan duduk bersama mereka. Tepatnya, di sebelah Robert.

"Hh.." desahnya saat duduk. "Aku sedih sekali," katanya.

Alex memainkan sereal dengan sendok. "Aku merasa dosa banget, tahu."

Albert menoleh. "Maksudmu?"

"Yeah, waktu itu kalian membongkar-bongkar diary Emma dan sengaja memperlihatkan gambar-gambar kecemasannya pada Bibi Jade," kata Alex, tak berani menatap semua kakaknya.

"Tapi kita jadi tahu Emma diam-diam pergi ke psikiater rumah sakit," sahut Albert.

"Tetap saja itu privasi dia," balas Alex, masih menunduk ke mangkuknya. "Dia pasti malu banget gambarnya diketahui Bibi Jade."

"Dan sekarang dia sembuh, 'kan?" tanya Robert.

Alex mendongak. "Itu hikmahnya."

Mereka bertiga bersandar ke kursi bersamaan, seolah baru saja menyelesaikan debat kusir. Miller tidak mengalihkan pandangan dari ponselnya.

"Bagaimana jika kita ulang kesepakatan tadi?" tanya Alex, memicing sinis pada ponsel Miller.

Miller yang merasa itu ditujukkan untuk dirinya akhirnya menjauhkan ponselnya. "Aku hanya membaca ulang tulisan di diary itu," sahut Miller lemas. Dia sudah memotret halaman terakhir di diary Emma yang semalaman terbuka.

Albert jadi ikut menggeser iPadnya agar tidak terjangkau di atas meja makan. "Jadi, apa yang akan kita lakukan?"

"Membiarkannya menulis diary tanpa kita tahu isinya," kata Alex.

Robert melebarkan matanya. "Astaga, Alex. Ini bukan lagi soal privasi atau tidak privasi. Emma adalah tanggung jawab kita. Membiarkannya terus mengurung kesedihannya sendiri sama dengan melepas peran kita sebagai keluarganya. Apa kau mau dia terus terusan terserang anxiety karena kita tidak tahu perasaan yang dipendamnya selama ini?"

Alex terdiam. Lalu Miller berkata dengan serak, "Dia terus mengulang tentang tuntutanku tentang matematika."

Albert mengangguk pelan. "Itu tampak seperti luka yang sulit disembuhkan."

"Aku menyesal," ucap Miller jujur. Ternyata, tuntutan kepada Emma tentang pelajaran matematika itu sangat fatal akibatnya. Miller telah menoreh luka yang menyakitkan bagi Emma. "Padahal dulu aku merasa hanya memotivasinya untuk mendapat nilai yang maksimal seperti Alex."

"Tetap saja membandingkan itu tidak dibenarkan," ujar Albert. Ia sering menyaksikan Emma dimarahi Miller karena mendapat D, maksimal C saat Elementary School. Albert tidak bisa berbuat apa-apa untuk menyadarkan Miller karena lelaki itu sangat keras kepala dan judgmental. Ia hanya bisa mengusap punggung Emma dan tidak berkata banyak-karena sebelum menikah dengan Norah, Albert tidak paham situasi seperti itu.

Miller menghela nafas panjang. "Dia sudah selesai dengan Tom?"

Semua menoleh pada Alex. Anak itu berjengit tak nyaman. "Um yeah. Sudah lama, sih."

"Dia menyebut-nyebut soal itu di tulisannya 'kan?" tanya Robert.

Alex menganggukkan kepalanya. "Tom kayaknya punya pacar baru. Siapa yang tidak sakit hati, 'kan?"

HAUTE VALUER [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang