Punah.

3 1 0
                                    

Aku menarik napas lelah. Kegiatan hari ini terasa cukup berat, seharian aku harus berjemur di bawah panasnya sinar matahari karena terlambat datang ke sekolah, dan aku tak menyukai itu. Kulitku dapat terbakar karenanya.

"Xavier, gimana? Enak dijemurnya?" Dia yang berbicara begitu adalah temanku. Zidan namanya. Menyebalkan, sudah tahu temannya sedang dalam kesusahan bukannya menyemangati malah menjatuhkan.

"Enak banget dan, sumpah enggak boong, enak banget," ucapku dengan senyum masam sementara Zidan hanya tertawa geli.

"Ya udah, yuk balik Xa." Aku mengangguk mengiyakan, kemudian kami berdua berjalan ke parkiran sekolah.

Pas sekali, aku melihat ada guru yang menghukumku mengambil mobil yang terparkir di tempat parkir khusus guru yang berada tepat di depan mobil Zidan.

"Eh, Bu Nenden, mau pulang Bu?" tanya Zidan berbasa-basi, tapi aku tahu niat terselubungnya, yaitu menggodaku. Sialan.

"Iya nak." Guru itu tersenyum manis, kemudian berubah sinis saat melihat wajahku.

"Ya elah, biasa aja Bu liatnya, belum aja saya colok mata Ibu," batinku. Aku hanya mampu membatin dalam hati, karena jika aku melontarkan kata-kata itu aku yakin akan berpisah dengan sekolah ini.

"Saya duluan ya Bu." Guru itu kembali tersenyum. Zidan dan aku masuk ke dalam mobil berwarna merah, dia duduk di kursi kemudi, sementara aku duduk di kursi sampingnya.

"Kamu ngeledek aku ya?" tanyaku sembari memicingkan mata.

"Enggak tuh, PD kamu." Haish, dasar Zidan. Jika memang dia tidak meledek untuk apa dia tertawa.

Aku kemudian hanya diam sembari mengerucutkan bibirku. Namun tiba-tiba aku teringat sesuatu.

"Zidan, kamu hari ini dapat berapa?" tanyaku sembari menghadap ke arahnya yang tengah sibuk mengendarai mobil.

"5, dan semuanya orang dewasa," ucapnya menyombongkan diri. Aku tersenyum miring.

"Aku 15," ucapku angkuh. Kemudian dia tertawa, aku pun mengernyitkan dahi melihatnya. Mengapa dia tertawa?

"Kenapa ketawa? Iri kan? Iya kan? Ngaku aja." Zidan tersenyum bangga sembari berkacak pinggang.

"Ha? Enggak mungkin aku iri sama kamu. Orang yang kamu bunuh aja cuma anak kecil." Aku menusuk-nusuk dadanya dengan jari telunjukku.

"Ck, komandan yang menyuruh begitu. Gak mungkin aku nolak," ucap Zidan sembari menyalakan mobil dan melajukannya.

Aku mengangguk mengiyakan perkataan Zidan. Jika kita melanggar perintah komandan, dapat dipastikan kita akan hangus menjadi debu. Komandan kami adalah pemimpin yang kejam, dia tidak segan mencabut taring prajurit, ah maksudku anak buahnya. Dia bahkan tidak menyikapi kami selayaknya prajurit.

Taring adalah segalanya bagi vampir. Jika vampir kehilangan taringnya maka ia akan dianggap bukan bagian dari kami, dan jika dia bukan bagian dari kami seharusnya dia sudah mati sejak 3000 tahun yang lalu kan? Ya, aku yakin kalian sudah menebak apa yang akan terjadi selanjutnya.

Aku memperhatikan wajah Zidan yabg tengah menyetir dari samping. Cukup tampan sebetulnya, namun sifatnya itu membuat ketampanannya tertutupi. Menyebalkan, bahkan lebih dari itu.

"Ngapain ngeliatin muka gue? Ganteng?" Zidan melirik ke arahku dengan senyuman khasnya.

"Iya, ups." Aku menutup mulutku yang mengucapkan kata-kata yang seharusnya tidak kuucapkan.

Ngittttt!

Zidan tiba-tiba menghentikan mobil secara mendadak. Ada apa ini? Perasaanku tidak enak ….

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 19, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Punah || Short Story.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang