02

153 21 1
                                    

"Nggak ada gunanya kamu nulis yang kaya gini ini! Buang-buang waktu !"
itu yang ayah suarakan sebelum menumpahkan kopi pada karya yang tengah kutulis pagi itu.

Aku langsung menarik buku itu. Berusaha menyelamatkannya. Saat tau yang kulakukan sepertinya memperburuk kondisi karyaku, aku hanya bisa menangis.

Aku menyambar buku dan juga ponselku. Aku berlari keluar area rumah sambil menelfon Bayu. Pemuda itu yang ada di otakku untuk pertama kali. Seolah ialah solusi yang terpikirkan untuk masalah ini.

Aku bersembunyi dibalik pot gerabah besar milik tetanggaku sambil menunggu Bayu mengangkat panggilannya. Aku menahan tangisku, aku tau Bayu pasti akan panik jika sudah seperti ini.

"Pagi Rosa, gimana ?" suara lembut itu menyapa.

"Bay, jemput aku di warung sebelah timur ya." pintaku langsung pada pointnya.

"Ya." hanya itu. Bayu tau aku tidak suka ditanya 'kenapa' jika sudah begini.

Tante Hela melihatku rupanya. Beliau mengajakku masuk ke ruang tamu tapi aku menolak. Lantas ia mengajakku pergi ke warung, dan aku baru mengiyakan.

Beliau memberiku tisu, dan minuman coklat dingin. Aku hanya mengambil tisunya dan mengelap lembaran buku yang lengket satu sama lain.

"Udah cantik, jangan nangis ya." beliau tak bertanya kenapa. Hanya menenangkanku.

Bayu tiba dan menghampiriku dengan wajah panik. Nafasnya memburu bagai orang dikejar puting beliung.

"Bay..." aku memanggilnya.

Dia langsung merengkuh tubuhku. Mengusap punggungku penuh afeksi.

"...bawa aku pergi, aku nggak mau pulang." begitu lanjutku.

Dia bertanya dan aku menceritakannya. Tentang pagi yang tidak ingin ku ulangi dua kali. Tentang teriakan ayah yang tak ingin aku dengar lagi.

Dia membawaku pergi. Aku berpegangan ketika dibonceng olehnya. Sungguh, aku ingin menangis jika tidak tau tempat.
Tapi Bayu tau. Dia pemuda yang paling tau isi hati dan perasaanku.

"Nangis aja. Ga ada yang nganggap kamu perempuan berdosa cuma karena nangis." begitu katanya kala kami berhenti dilampu merah.

Aku menubrukkan wajah ke punggung lebarnya. Tanganku terasa ditarik untuk melingkar diperut sambil dielus pelan. Dia benar-benar tau apa yang aku butuhkan.

.

.

.

Aku tak ingin pulang sejujurnya. Tapi wanita diseberang sana ingin bertemu denganku.

"Ya, nek. Nanti agak malem Rosa pulang." begitu jawabku.

Sejauh ini hanya nenek yang mendukungku. Nenek hampir punya pemikiran yang sama seperti ayah,menganggap kalau menulis hanya membuang waktu. Tapi nenek tidak melarangku, ia berkata tak masalah jika itu sebagai hiburan.

"Kamu delivery ?" suara Bayu memecah lamunanku usai memutuskan percakapan nirkabel dengan nenek. Kepalanya menyembul dari daun pintu kamar sambil memperlihatkan bungkusan yang ia bawa.

Aku mengangguk kemudian meletakan ponselku ke nakas. Lalu aku melangkahkan kaki berjalan mengambil bungkusan yang ada ditangannya.

"Kamu mandi dulu, biar aku yang nyiapin." suruhku.

Dia mengangguk dan berjalan ke arah kamar sebelah. Lalu keluar dengan handuk di pundaknya.

Aku pun pergi dari tempat semula. Dari kamar menuju dapur, mau tak mau aku melewati ruang tengah. Sesuatu diatas meja berhasil membuatku tertarik.

Itu buku puisiku.

Dan ponsel Bayu yang di charge dalam kondisi menyala. Beberapa lembaran juga ia tempelkan di jendela dengan perekat.

Dia menulis ulang tulisanku di ponselnya. Ini tidak sopan, tapi aku kelewat penasaran. Aku membuka ponselnya, dan benar dia menulisnya ulang.

Beberapa kata yang ia ketik mungkin salah, tapi usahanya untuk karya yang bahkan bukan miliknya, ya, itu cukup membuktikan kalau dia pemuda yang baik.

Aku beranjak ke dapur untuk memanaskan sup ayam yang aku beli dari layanan pesan antar. Sepi. Bahkan ketika aku dan Bayu ada ditempat ini rasanya begitu sepi.

Aku menyalakan api. Memandang ke arah kuah sup yang belum bergejolak. Aku membayangkan bagaimana jika aku hanya sendiri ditempat ini. Kosong dan sepi. Keduanya sudah lama menjadi temanku. Aku terbiasa.

Tapi kenapa, ketika aku membayangkan sepi yang tenang, kini  rasanya begitu menyedihkan. Seolah aku takut kehilangan sesuatu.

Aku sadar, aku takut kehilangan Bayu.

Aku takut suatu saat Bayu akan menemukan permaisurinya. Dan dia akan melupakanku begitu saja. Aku takut kekosongan itu datang tiba-tiba. Buruknya, aku tidak bisa mengisi dengan hal yang baru.

Tak ada yang bisa aku salahkan jika itu benar terjadi.

"Rosa, hey...kamu kok nangis ?" suara itu menarikku kembali ke dunia nyata. Usapan halus dibahuku menyadarkan kalau aku tak lagi sendiri dalam sepi yang melingkupi.

Dia, Bayu.

Aku memelukknya. Menangis hanya karena melihat wajahnya yang turut sedih karena aku.

"Makasih..." hanya itu yang aku bisa ucapkan.

Sejak pukul sepuluh pagi aku disini, hingga sore ini. Bayu tidak banyak mengeluarkan suara. Dia hanya mendengarkan, mendengarkan, dan terus mendengarkan makianku. Dia selalu siap menjadi samsak tinjuku.
Dia yang selalu membuka diri, bahkan jika kujadikan dirinya sebuah pelampiasan.

Bagaimana aku akan rela melepasnya kelak ?

Oh Tuhan, betapa beruntungnya jodoh Bayu kelak.



Bersambung....

Okey lov, aku kembali. Dan aku mau pergi lagi, sksksksk.

Dia, Bayu.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang