Ada Yang Hilang

239 63 37
                                    


𓆩 THE SOUND OF RAIN 𓆪

"Her, kalau sudah besar, jangan jadi orang jahat ya, Nak?" Aku lahir di tahun 1975 dan kala itu, aku tak ingat tahun berapa-ibu berpesan kepadaku. Ibu berucap seperti seorang yang tak pernah marah, aku bisa melihat kantong matanya yang makin menghitam seiring bertambahnya hari. Bapak? Bapak entah kemana. Aku tak pernah melihatnya sejak dulu. Mungkin-pernah, saat aku masih kecil, aku tak ingat.

Suatu hari, ibu bilang kami akan bermain petak umpet. Ibu yang mencari, dan aku yang bersembunyi. Kami sering bermain ini sejak aku masih kecil, aku sudah ahli mencari tempat persembunyian terbaik. Tapi hari itu, ada yang berbeda. Ibu bilang ia akan menghitung sampai seratus. Seratus-katanya, itu waktu yang cukup lama.

Di dapur, di dalam lemari makanan dekat samping kulkas, aku meringkuk di dalam kegelapan. Aku ikut menghitung, cukup was-was karena sudah sampai angka tujuh puluh namun ibuku belum juga datang mencari. Otak bocah ingusanku cukup panik saat itu, entah angka berapa setelah seratus, aku tak tahu. Aku takut.

"Ibu akan mencarimu. Apapun yang terjadi, jika ibu belum menemukanmu, jangan keluar!"

Lalu aku bersembunyi, terus bersembunyi, tanpa pernah ditemukan. Itu terakhir kalinya aku melihat Ibu.

***

Entah di mana ini, jam berapa? Mataku ditutup dengan kain merah berbau apek, tadi sempat kulihat kainnya sudah kotor sekali, mungkin tak pernah dicuci. Aku digiring masuk ke suatu tempat. Di belakangku juga ada Mas Rino, aku bisa dengar mulutnya masih berisik sampai lelaki gempal itu membekapnya.

"Her."

Tak ada niatan menoleh. Aku tak ingin menghadapi napas bau dari orang ini saat ia bicara. Demi tuhan, apapun yang ada di dirinya-semuanya-bau. Mari panggil ia Si Bau mulai saat ini.

"Ibumu, Dinastri, 'kan?"

Tunggu, darimana ia tahu?

"Seperti ibumu dulu, kamu sebaiknya mati di tanganku."

Mati-katanya!? Bajingan, ternyata orang ini!?

"Santai saja, Her. Jangan buru-buru begini, saya tahu kamu ingin cepat-cepat mati."

Geram sekali mendengarnya. Andai saja tanganku tak diikat dan mataku masih bebas atau setidaknya kepalaku tidak bocor seperti ini, mungkin sudah kutantang mereka berkelahi sejak tadi.

"Nah, selamat datang di kuburanmu."

Mereka membuka kain penutup mataku kasar, tanpa rasa kasihan. Mas Rino juga berdiri di belakangku sama seperti tadi. Di mana ini? Ada sebuah lubang berdiamater 100 senti di depan sana. Kelihatan-familiar.

"Tahun 1965* sampai 1966, saat seluruh anggota dan pendukung PKI, orang yang diduga anggota dan simpatisan PKI, seluruh partai kelas buruh dan ratusan ribu pekerja serta para petani Indonesia yang lain dibunuh, disiksa, diintrogasi, dibantai-kamu belum lahir, ya?"

Duh, dengarlah nada menjengkelkan Si Bau ini. "Kalian sebenarnya ingin apa?" tanyaku sok berani.

Ini jauh dari pemukiman warga, atau kota, atau bahkan sebuah tempat yang punya tanda-tanda kehidupan. Kami berdiri di sebuah padang yang isinya hanyalah rerumputan, ada beberapa tangkai bunga juga nun jauh di sana. Mana bisa lari kalau begini.

"Pertanyaan dibalas pertanyaan, saya tak suka orang sepertimu, Her. Namun mumpung kamu bertanya, Rino akan kami bawa untuk diintrogasi," tuturnya. "Sementara kamu, tinggal di sini ... selamanya."

i. the sound of rain, straykids ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang