MANISNYA SEBUAH PERJUANGAN

9 0 0
                                    


Oleh : Rustantini, S.Pd.

Aku melangkah terengah-engah menuruni jalan setapak.  Semenit yang lalu aku baru saja turun dari sebuah angkot  yang menghantarkanku dari bimbel menuju daerah tempat tinggalku.

Hari mulai gelap.  Sayup kudengar azan dari sebuah masjid yang tak jauh dari jalan raya.  Aku segera masuk ke dalam masjid untuk menunaikan salat Magrib.  Setelahnya  aku harus bergegas menuju rumah pengasuh anakku karena ia pasti sudah tak sabar ingin dijemput ibunya.

Kukenakan sepatu kerja satu-satunya milikku yang teronggok di pelataran masjid, lalu mulai menelusuri  jalan kecil menuju rumah pengasuh Dzakiy. Jalanan menurun membuat langkahku sedikit limbung, mungkin karena belum makan atau juga kecapaian.

Kutatap langit dengan sedikit cemas. Sepertinya hari akan segera hujan. Bunyi petir bersahut-sahutan. Kilatannya menerpa wajahku membuat nyali sedikit ciut.  Embusan angin malam menerpa ujung hijabku.  Membuatnya berkibar-kibar seperti akan lepas dari kepala.   Kudekap tas kerja warna hitam yang mulai lusuh dengan kedua lenganku agar hijab qyang aku kenakan tidak tertiup angin.  Berharap juga dengan cara ini bisa mengusir dingin yang mulai menusuk pori-pori.

Jalanan yang sepi, sebenarnya membuat bulu kudukku merinding. Jujur aku takut kegelapan.  Tapi apa boleh buat, aku harus mencari sesuap nasi demi membantu suami mempertahankan dapur agar tetap berasap.

Di ujung jalan beberapa pemuda asyik bersenda gurau.  Tak jelas wajah mereka, tapi ejekan mereka jelas sampai ke telinga, “Perempuan apaan jam segini baru pulang kerja?” ucap satu di antara mereka.
“Hahahaha!” Yang lainnya tertawa berderai seolah mengamini olokan temannya.

Aku meringis ngilu. Ada sedih menelusuri relung hatiku. Tapi aku terus berjalan tak peduli dengan cemoohan mereka. Pikiranku hanya tertuju pada Dzakiy.  Pasti dia sudah keharusan dan menginginkan  ASI.  Anakku tak suka susu formula.  Jadi hanya air putih yang diminumnya ketika aku bekerja.  Ia menolak meminum dengan botol susu.

Sementara aku dari pagi hingga senja harus bergulat dengan pekerjaan.
Aku sampai di rumah Bu Aminah, pengasuh Dzakiy.  Tampak Bu Aminah sedang menggendong Dzakiy yang kelihatan tertawa sumringah melihat kehadiranku.  Tubuhnya melonjak-lonjak senang di dalam gendongan Bu Aminah.

Melihat Dzakiy yang tak sabar ingin bersamaku, akupun  segera membereskan perlengkapan yang berserakan ke dalam tas.  Pakaian bekas ompol, pampers isi ulang dan perlengkapan makannya. Setelah itu aku meraih Dzakiy yang sudah merengek minta digendong. 

Aku meraih Dzakiy, lalu melilitkan kain jarik ke pundakku kuat-kuat.  Aku tak ingin anakku jatuh dari gendongan.
“Ibu, saya pulang dulu ya,” pamitku pada Bu Aminah.  Tak lupa kuselipkan beberapa lembar uang ribuan ke Adelia anak Bu Aminah yang masih berusia tiga tahun.

“Buat jajan ya,” pesanku berbisik ke telinga Adelia.  Disambut senyum ceria anak berpipi gembul dan berambut indah itu.
“Makasih,  Tante,” ucapnya berbinar dengan mulut mungil menggemaskan.  Aku tersenyum dan menepuk pipinya lembut.  Lalu aku pun meraih tangan Bu Aminah dan mencium punggung tangannya.
“Hujan di luar, Neng,” ujarnya khawatir.

Aku memandang ke luar dengan menakutkan alis. Cemas campur sedih.  Rintik hujan mulai menderas.  Tapi aku harus pulang.  Sejenak kupandang Dzakiy di gendongan yang sudah mulai gelisah ingin cepat diajak keluar.

Akhirnya kuambil payung lipat dari dalam tas yang memang selalu ada ke mana pun aku pergi.  Lalu kucangklong tas di bahu kanan dengan tangan kanan memegang payung dan tangan kiri menjinjing tas besar perlengkapan Dzakiy.  

Melihat aku kerepotan, Bu Aminah merasa kasihan, tapi tak bisa berbuat apa-apa.  Beliau pun harus menjaga Adelia karena suami Bu Aminah belum pulang dari bekerja.
“Neng, gak apa-apa pulang sendirian hujan gini? “ tanyakan cemas.
Aku tersenyum berusaha menentramkan hati perempuan separuh baya itu.
“Nggak apa-apa kok, Bu.  Kan sudah ada payung.  Hujan air ini, bukan hujan batu,” ujarku berseloroh.  Bu Aminah hanya tersenyum.

Setelah mengucapkan salam, aku keluar dari rumah Bu Aminah dan menerobos hujan.  Masih sekitar  seperempat kilometer lagi menuju rumah kontrakanku.  Tapi aku harus berani dan tabah.  Kupandangi Dzakiy yang mulai terlelap di gendongan dengan topi rajut yang melindungi kepalanya.  Kelihatannya ia cukup hangat dan nyaman. Payung yang  kami gunakan lumayan membuat hujan  tak membasahi kepala, meskipun  rok yang aku kenakan sudah basah kuyup.

Sesekali bahu kanan kuangkat agar tas cangklong yang menggantung tidak jatuh karena tangan kananku memegang payung. Aku benar-benar kepayahan.  Apalagi tak ada satu orang pun yang aku temui di jalanan.
Aku berjalan penuh perhitungan dan hati-hati, karena selain jalanan yang kulewati gelap, juga licin karena merupakan jalan tanah liat.

Ketika sampai di kontrakan, aku bisa tersenyum lega. Kontrakan yang tidak besar, namun lumayan bisa menampung keluarga kecil kami hampir setengah tahun lamanya.  Kontrakan ini sangat kecil.  Lebih tepat jika disebut bedengan.  Aku menyewa di bagian tengah dari tiga bedeng yang ada.  Kuletakkan bawaan di pembatas antar bedeng yang lebih sering digunakan untuk tempat duduk.  Lalu  Kutaruh payung di bawah lantai membiarkannya tergeletak agar tetesan air hujan mengering. Kubuka resleting bagian luar tas tempat aku menaruh kunci rumah. Setelah kutemukann justru aku terpaku di tempat aku berdiri.

Sejenak kupandangi kaca depan kontrakan yang retak sejak kami menyewa tempat ini.  Tak ada pilihan bagi kami yang berpenghasilan pas-pasan.  Aku hanyalah guru honor di beberapa sekolah, yang mengharuskan aku bekerja dari pagi hingga senja hari.  Sedangkan suamiku  bekerja sebagai kurir pada siang hari dan malamnya ia mengajar privat. 

Hampir setiap hari kami hanya bertemu di malam hari.  Di pagi hari ia mengantarku ke sekolah setelah terlebih dahulu menitipkan Dzakiy ke ibu asuhnya, selebihnya ia akan bekerja hingga sore hari sebagai kurir.  Lalu setelah makan makanan dengan lauk ala kadarnya di rumah, ia akan berangkat lagi untuk mengajar privat.
Untunglah di pagi hari, aku mengajar di sebuah sekolah SMA yang tak jauh dari rumah pengasuhnya.  Sehingga setiap istirahat, aku akan berlari menghampiri rumah sang pengasuh karena waktu istirahat yang hanya lima belas menit. Setelah menyusui dan bercengkerama dengan anakku, aku kembali ke sekolah.

Setelah pulang dari sekolah, sorenya aku mengajar di sebuah bimbel yang mengharuskan aku mengganti angkot sebanyak dua kali.  Sebelum berangkat ke bimbel kuupayakan menyusui Dzakiy hingga kenyang agar tidak rewel dengan pengasuhnya.
Tidak ada jalan lain bagiku dan suami selain harus menjalani semua ini dengan ikhlas.  Suami selalu berusaha memotivasiku agar sabar dan tabah menjalani pekerjaan dan liku hidup yang kami hadapi sebagai pasangan muda yang masih merintis dari bawah.
Aku tersadar dari lamunanku, ketika si kecil Dzakiy dalam gendongan menangis. Segera kubuka pintu rumah kontrakan, lalu menaruh Dzakiy di tempat  tidur. 

Sejenak kutepuk-tepuk lembut paha si kecil agar tetap tertidur, lalu beranjak ke luar mengambil tas dan perlengkapan yang masih teronggok di luar.
Udara malam begitu menusuk.   Suasana di luar juga sepi. Tak satu pun tetanggaku membuka pintu apalagi duduk di teras.  Saat seperti ini memang lebih nyaman berada di dalam rumah bercengkerama dengan keluarga sambil minum teh.

Segera kututup pintu dan menguncinya dari dalam,  akupun mengganti pakaian lalu menunaikan salat Isya.  Terasa syahdu dan damai, apalagi diiringi suara tetesan air dari genting yang tak berplafon. 

Setelah salat aku beranjak ke dapur.   Kulongok ember penyimpanan beras yg masih tersisa untuk beberapa hari. Setelah mencuci beras dengan bersih, aku pun mulai menanak nasi.  Menunggu nasi matang, aku manfaatkan waktu untuk mencuci pakaian di belakang rumah kontrakan.

Rintik hujan menemani aktivitasku mencuciku.  Sayup terdengar suara tetangga kanan kiri yang sedang asyik mengobrol dengan anak atau suaminya. Membuat aku sedikit iri. Tetesan hujan  dari pinggiran asbes jatuh ke tanah yang becek tepat di samping kakiku. Bau lembab mulai menusuk hidung. Temaram dari lampu neon membuat suasana di belakang kontrakan ini terasa me ceramah. Tak jauh dari tempatku mencuci pakaian, terdapat jamban yang berukuran satu kali satu meter yang disekat oleh karung plastik.  Tak ada kamar mandi di sini karena untuk tiga bedeng kami hanya disediakan sebuah sumur umum, di mana masing-masing penghuninya mandi bergantian. 

Aku bergegas menyelesaikan cucianku, karena terdengar tangisan Dzakiy dari dalam kamar. Segera kubilas cucian lalu menaruhnya di dalam ember, biasanya akan kujemur di pagi hari sebelum berangkat sekolah.
Tergopoh aku menghampiri Dzakiy yang sudah terduduk di atas tempat tidur sambil mengucek matanya. Ada tetesan air hujan yang jatuh di pembaringan membuat kasur di samping anakku tertidur sedikit basah. Itu yang rupanya membuat Dzakiy terbangun.  Kubaringkan tubuh di sampingnya sambil memberikannya air susu. Biasanya tak lama ia akan terlelap lagi.

Tak berapa lama terdengar deru motor  milik suamiku berhenti di depan pintu rumah.  Akupun terbangun dan merapikan diri.  Kusambut suamiku dengan sumringah.  Seperti biasa ketika aku mencium punggung tangannya, ia akan meraih kepalaku dan mencium keningku dengan mesra.  Sejenak kepenatan luruh.
Kuraih tas kerjanya, sementara suamiku mendorong motor masuk ke ruang tamu kami yang sempit.
Suamiku mengambil sesuatu dari kaitan motor lalu mengangsurkan sebuah keresek hitam.
"Apa ini, Bi?" tanyakan penasaran.
"Bebek goreng. Hari ini kita makan enak. Honor dari ngurir hari ini lumayan banyak," ujarnya tersenyum sambil memberikan  amplop putih. Mataku berbinar, aku menerimanya dengan senang. Kusimpan baik-baik di atas meja televisi sebelum menghitungnya  nanti.
Tak lama aku sudah sibuk menyiapkan makan malam.  Setelah  suamiku membersihkan diri dan mengganti pakaian serta salat Isya kami pun duduk bersama di sisi tempat tidur di mana kami biasa makan.  Kusendokkan nasi ke atas piring,  tak lupa berupa lauk ayam goreng yang dibawa oleh suamiku.  Masih hangat dan tercium aroma yang nikmat menggugah selera.  Kami makan dengan nikmat.  Jarang sekali kami bisa makan makanan mahal.
"Umi, jangan lupa uang gajian yang ana kasih setiap hari disimpan baik-baik dan disisihkan sebagian untuk zakat," tutur suamiku menasihati.
Aku mengangguk.
"Jangan lupa juga dicatat setiap hari yang Abi kasih berapa, karena kan nggak setiap hari dapat honor yang sama. Biar kita tahu pendapatan sebulan berapa," ujarnya lagi.  Aku hanya tersenyum sambil menelan makananku.
"Oh, iya, Mi.  Kalau semisal Abi bisa kerja sampai malam pun Abi rela asal kehidupan kita jauh lebih baik," kata suamiku bersemangat. Setelah menyelesaikan makannya ia mentap langit-langit kamar.
“Supaya kita bisa dapat tempat tinggal yang layak,” gumamnya.
Aku menetap suamiku  berkaca-kaca.  Hampir saja air mata ini behamburan jika tidak dicegah.
"Umi, jangan sedih. Abi tahu beratnya beban Umi, juga Abi sudah berusaha melakukan semaksimal mungkin yang Abi bisa," ucapnya lirih. Lalu diraih ya kepalaku menenggelamkan di dadanya yang bidang.  Tangisku pun pecah. Ada sesuatu yang menghimpit dada yang akhirnya bisa kukeluarkan dalam tangis.
Suamiku mengusap pipiku, lalu menepuknya sambil tertawa.
"Ya, sudah jangan nangis. Cengeng. Ayo bereskan piring makannya, trus kita istirahat yuk," ajak suamiku. Aku mengangguk.

***
Masih pagi buta ketika aku terbangun.  Kuambil gawai jadul yang tersimpan di samping meja televisi.
"Pukul setengah empat,”  gumamku.  Aku menatap kedua orang kesayangan yang tertidur pulas, lalu beringsut dari tempat tidur.  Kuambil ember di dapur dan alat mandi lalu bergegas ke sumur umum. 
Cepat-cepat aku menimba air lalu mengangkatnya dan memindahkan ke dalam ember besar yang ada di dapur.  Setelah ember besar penuh aku pun segera mandi.  Jika agak kesiangan, akan banyak orang di sini yang lalu lalang yang pastinya akan membuat aku malu dan risih. 
Setelah mandi aku menyempatkan mengambil air wudu lalu mengisi ember kecil dengan air untuk keperluan di dalam wc.
Tak berapa lama aku sudah menanak nasi untuk sarapan kami dan siang nanti.  Kukenakan mukena dan menggelar sajadah. Lalu kutunaikan salat hajat dan lain.  Kedekatan dengan Tuhan adalah sesuatu yang sangat aku butuhkan saat ini.  Aku tersungkur dalam sujud, memohon agar Allah berkenan memperbaiki nasib kami. Aku merasakan letih yang teramat sangat. Tak ada tempat aku mengadu selain Dialah yang Maha Mendengar.
Azan Subuh berkumandang,  kubangunkan suamiku untuk salat subuh berjamaah.  Rasa syahdu menghampiri  kebersamaan kami di subuh itu.  Ada tenteram yang mendamaikan jiwa. Semoga seperti ini selamanya.  Kami senantiasa taat pada perintah Sang Khalik.

***

Seperti biasa aktivitas kami di pagi hari, suami menjaga Dzakiy kecil, sementara aku membereskan rumah, memasak lauk untuk bekal dan makan sore suami ketika pulang dari mengurir serta menggosok pakaian.
Kuambil kompor minyak tanah dari dapur  lalu meletakkan di ruang tengah yang menjadi ruang tempat tidur kami. Aku mulai menggelar alas untuk menggosok.  Kuraih gosokan arang dengan hiasan kepala ayam di atasnya, lalu menaruhnya di atas kompor yang menyala.  Di sini kami tidak diperkenankan menggunakan kompor listrik, bahkan menghidupkan dispenser pun tak boleh.  Pemilik kontrakan yang tinggal di samping kami selalu memata-matai kami dari celah-celah geribik dapur, padahal aku memiliki gosokan listrik.   Tapi demi mematuhi aturan di bedengan ini, aku pun menuruti perintah dari sang pemilik.
Di kontrakan ini, ketiga penghuni bedengan membayar listrik dengan cara patungan, sehingga agar adil dibagi tiga kepala keluarga, maka kami harus menggunakan listrik sesuai dengan standar yang ditetapkan pemilik.
Dibalik kerumitan hidup yang kujalani, aku masih bersyukur karena mendapatkan tempat tinggal yang murah dan tetangga yang rukun dan saling tolong menolong.
Kehidupan kami yang sulit tak pernah kami ceritakan pada orang tua.  Kami tak ingin menjadi beban mereka, dengan cara mandiri kami berharap bisa lebih menghargai setiap tetesan keringat dan betapa sulitnya perjuangan menjadi orang tua.

***

Pendaftaran CPNS dimulai.
Aku dan suami tak melewatkan kesempatan itu.  Kami yang masih berusia dua puluh enam tahun, tak akan melewatkan kesempatan untuk bisa merubah nasib lebih baik.
Kala itu aku yang lulusan S1 sudah tiga kali mendaftar CPNS.  Pada kali pertama tes aku pernah lulus di ujian tertulis, namun gagal pada saat tes wawancara. Kali ke dua, aku sedang hamil tujuh bulan dan mengambil test di Kabupaten yang berbeda.  Namun, lagi-lagi aku gagal.  Bahkan kali ini aku tak lulus samasekali.
Untuk test yang ketiga ini, aku benar-benar berupaya semaksimal mungkin.  Aku ingin mempersembahkan hadiah Terindah untuk keluarga kecilku, sehingga siang malam aku belajar.
Di setiap waktu aku panjatkan doa pada Yang Maha Rahim, agar berkenan mengabulkan keinginanku.
Pada test yang ketiga aku mendaftar di Kabupaten yang jauh dari kota asalku, yaitu Lampung Utara.  Tak ada gambaran samasekali Lampung Utara itu seperti apa,  sehingga ketika mengajar aku ceritakan kepada siswa bahwa esok aku akan izin untuk tidak mengajar karena akan mengikuti seleksi CPNS.  Pada kesempatan itu juga aku meminta doa dari siswa-siswa didikku. Kita tidak pernah tahu doa dari wicara siapa yang akan dikabulkan oleh Allah.
Saat itu aku bukan hanya mendapatkan doa, tapi juga dukungan bahkan saran dari siswa-siswaku.
"Ibu, kalau saya boleh sarankan, ibu berangkatnya pagi-pagi sekali naik engkel.  Ibu bisa mencari engkel arah Kotabumi di sekitar Terminal Rajabasa," ujar seorang siswa.
Iapun juga menceritakan situasi di Kotabumi itu seperti apa, karena kebetulan ia berasal dari daerah tersebut.  
Segala masukan kami pertimbangkan masak-masak.  Kebetulan aku dan suami sama-sama akan melaksanakan seleksi.  Bedanya suami mendaftar dengan ijazah SMA meskipun sebenarnya ia adalah lulusan diploma.
Akhirnya kami memutuskan akan berangkat ke Kotabumi yang merupakan ibukota Lampung Utara itu dengan mengendarai motor tua milik kami, dengan pertimbangan jika menggunakan kendaraan akan lebih hemat dalam waktu dan biaya.
Malamnya kami bertandang ke rumah pengasuh Dzakiy untuk mengutarakan keinginan kami mengikuti test CPNS di Kabupaten yang jauh.  Apakah Dzakiy bisa dititipkan sebelum subuh tiba. Karena jika kami berangkat sebelum subuh, bisa dipastikan kami akan terlambat mengikuti seleksi.  Berdasarkan informasi yang kami dapat, jarak tempuh ke Lampung Utara dari Bandar Lampung adalah tiga jam menggunakan kendaraan pribadi.
Syukur alhamdulillah, sang pengasuh sama sekali tidak keberatan jika kami menitipkan Dzakiy di waktu yang tidak biasa.
"Pokoknya Neng, ketuk pintu saja ya kalau semisal pintu rumah ibu masih tertutup. Tapi Innshaallah ibu sudah bangun," tutur Bu Aminah meyakinkan.
Kami tersenyum lega.
Akhirnya di subuh itu kami berangkat dengan motor legendaris kami yang sebelumnya sudah diisi penuh tangki bensinnya.  Kami berangkat dengan penuh keyakinan meskipun sejujurnya di daerah ini kami masih terasa asing.
Kami tiba tepat waktu meskipun sebelumnya untuk mencapai lokasi tempat test, kami harus bertanya dengan beberapa orang yang kami jumpai. 
Untuk beberapa saat aku berpisah dari suami karena lokasi test yang memang berbeda.  Ketika mengerjakan test, aku merasa Allah menuntunku untuk mengerjakan semua soal.  Terasa mudah dan ringan sekali.  Test pertama aku lalui dengan lancar.
Di waktu istirahat, benar-benar kegunaan untuk mempelajari materi di sesi berikutnya.  Test ke-2 pun berjalan tanpa hambatan.  Hingga akhirnya kami pulang dengan perasaan lega.  Apalagi ketiga tiba di rumah, Dzakiy tidak rewel samasekali.   Kami mengucapkan terima  kasih kepada pengasuh Dzakiy dan tak lupa memberikan sedikit uang tanda terima kasih.

***

Waktu berlalu dan aku kembali menjalani aktivitasku sebagai guru di sekolah dan guru di bimbel.
Suatu hari, ketika hendak berangkat menuju bimbel, hujan teramat deras.  Kala itu suami sedang tidak mengantar paket.  Dzakiy anteng berada di pangkuan sang ayah. Aku sudah siap dengan pakaian kerjaku.
"Nggak apa-apa Mi berangkat hujan deras begini? Apa nunggu reda aja, takut kalau jalanan licin," ucap Mas Hadi cemas.
Aku menatap dua orang yang aku cintai dengan sedih.  Aku sendiri tak yakin akan menerobos hujan  yang teramat lebat.  Sedangkan untuk mencapai jalanan besar tempat angkot yang akan aku tumpangi, aku harus berjalan sejauh setengah kilometer, melalui jembatan besar yang entah arusnya meluap atau tidak.
Tapi demi menjalankan tugas dan kewajiban, akhirnya keputuskan untuk berangkat.  Aku mengambil satu stel pakaian ganti di alamat lalu kuhamoiru suami dan mencium takzim tangannya.  Yang terpenting adalah ridho dan doanya.  Kubuka pintu pelan dan segera menerobos hujan dengan payung yang setia menemani di kala hujan.
Arus hujan yang lebat seketika membuat baju yang aku kenakan basah.  Tapi aku tak bisa mundur, aku terus berjalan mendaki dan menuruni jembatan yang cukup licin.  Jembatan itu melengkung sehingga membuat sepatu yang aku kenakan terkadang terperosok jika tubuh tak mampu mengimbangi jembatan.  Di tempat inilah yang paling aku takut ketika harus berangkat kerja seorang diri.
Allah melindungi hingga aku bisa sampai ke bimbel tanpa hambatan berarti dan tepat waktu. 
Penampilanku sudah tak karuan sejak naik angkot tadi, selain baju yang basah kuyup dan penuh pericikan lumpur, kaos kaki dan sepatu yang aku kenakan teras lembab dan tidak nyaman.  Kulepas sepatu dan terlihat jelas jari-jari kaki sudah mengeriput karena dingin.
Sebelum masuk kelas kesempatan diri untuk mengganti pakaian yang aku kenakan meskipun aku tak bisa mengganti sepatu karena tak memiliki sepatu pengganti.  Meski demikian, aku berusaha tetap tersenyum di depan siswaku.  Aku tak ingin menampakkan rona kesedihan dan keletihan yang kurasakan.

***
Pagi yang indah. Mentari lembut mengiringi perjalanan kami dari kontrakan menuju sekolah dengan motor butut kesayangan.
Dzakiy kecil anteng di dalam gendongan.
Ketika membelah jalanan kampung, beberapa anak kecil memanggil nama Dzakiy.   Rupanya mereka sudah familiar dengan Dzakiy.  Mereka memang sudah mengenal anakku karena di waktu senggang kami selalu mengajak Dzakiy berkeliling kampung dengan motor, agar ia senang dan mengenal lingkungan sekitarnya.
Sesekali anakku yang masih berusia satu tahun  tertawa menggemaskan setiap ada orang yang memanggil nama anakku.
“Dzakiy, mau ke sekolah ya?” tanya seorang ibu dari teras rumahnya.
Aku mengangguk dan tersenyum kepada si penyapa, sementara Dzakiy tertawa kegirangan. 
Pagi itu kulangkahkan kaki memasuki gerbang sekolah dengan riang.  Ketika bel berbunyi, aku pun melangkah ke kelas dengan mantap.  Hari ini pelajaran Matematika Ekonomi kusampaikan dengan gamblang kepada siswa-siswaku.  Mereka sangat antusias meskipun sekolah tempat aku mengajar bukanlah sekolah favorit, tapi siswa di sini sangat disiplin dan menghargai imu yang disampaikan oleh guru-gurunya. 
Latar belakang mereka beragam.  Kebanyakan berasal dari keluarga kurang mampu, sehingga mereka harus bekerja setiap pulang dari sekolah. Saat mereka tengah mengerjakan soal latihan, kesempatan diri untuk menunaikan salat dhuha.
Sekolah kecil ini memiliki tempat yang nyaman untuk tempat aku bermunajat.  Baru dua rakyat kutunaikan ketika aku mendengar kehebohan dari ruang guru. Aku pun menghampiri asal suara.
Terlihat beberapa rekan guru tengah asyik melihat berita di koran pagi.
“Wow, selamat ya, Ibu Mardeti lulus,” ucap salah seorang guru.
Aku baru tersadar bahwa hari ini adalah pengumuman ketulusan CPNSD.  Aku ikut bergabung bersama mereka.   Kutelusuri nama demi nama.  Tapi sayang tak ada.  Bahkan tak satu pun temanku yang berkomentar bahwa ada namaku di sana.  Aku terduduk lesu.  Siapa sudah harapanku.
Masih penuh harap kuambil koran yang baru saja diletakkan oleh temanku di atas meja. Kutelusuri lagi satu per satu nama yang tertera pada koran tersebut dengan lebih sesama.
Netraku membuat ketika menemukan namaku berada di antara deretan peserta yang lulus. 
“Alhamdulillah ya Allah ada namaku di sini!” seruku girang.
Serta merta teman-temanku menoleh tak percaya lalu menghampiriku.
Ketika melihat namaku benar-benar terpampang di koran itu mereka pun menghujaniku dengan ucapan selamat.  Aku begitu haru dan larut dalam kebahagiaan.  Kuucapkan terima kasih kepada mereka satu per satu.
Akupun menghambur ke mushola sekolah dan terhanyut dalam sujud syukur yang teramat dalam pada kebesaran Illahi. Begitu nikmat kuasa ya Allah.   Akhirnya perjuanganku sekian lama berbuah manis.

“Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan."
{Q.S. Al-Insyirah ayat 5-6}

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 20, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

MANISNYA SEBUAH PERJUANGANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang