Ming selalu berasumsi bahwa apa yang dia pikirkan tentang pernikahan pastilah selaras dengan apa yang Jessica bayangkan. Sampai hari itu. Kalau saja mereka tidak harus mengerjakan tugas dari Jason dan Fera, semuanya pasti akan tetap baik-baik saja.
Ia baru tahu Jessica hanya ingin punya 1 anak, sedangkan ia sendiri mendamba rumah yang riuh dengan 2 atau 3 anak. Jessica dengan tegas mengatakan akan menggunakan bantuan babysitter untuk mengasuh mereka, sebuah pemikiran yang tidak Ming setujui. Ia lebih suka Jessica ada di rumah dan fokus membesarkan anak-anak mereka.
"Oh ya, Yang, tentang rumah, Papa udah kasih tahu kamu, kan?"
Ming menelan ludah mendengar pertanyaan Jessica. Ketika ia tiba di rumah Jessica tadi, papanya mengajak bicara, menanyakan rencana tempat tinggal mereka setelah menikah.
"Hm. Tadi Papa sudah ngomong. Aku bilang sama Papa kalo nanti kamu masuk tinggal di ruko aja. Aku belum punya cukup dana untuk beliin kamu rumah."
"Lo, Papa nawarin kamu rumah yang di perumahan sebelah itu, kan? Papa bilang kita bisa pake rumah itu sementara. Toh Papa beli untuk investasi dan belum ada yang nempatin."
Tak ingin langsung menjawab, Ming mengambil waktu untuk meneguk teh manis di hadapannya. Ia menatap tunangannya, meraih tangan mungilnya, dan menepuknya lembut.
"Iya, Papa nawarin, Jess. Tapi, aku pikir enggak perlu. Kamu ikut aku aja. Nanti aku renovasi sedikit kamarku. Masih cukup luas untuk tambah ranjang king size. Terus tambah beberapa perabot untuk bikin cukup nyaman buat kamu."
Jessica melempar pandang pada jam yang tergantung pada dinding di hadapan mereka. Raut wajahnya menegang, matanya mulai berkaca-kaca.
"Yang, aku ...," suara Jessica bergetar, "aku nggak pernah kebayang harus tinggal di ruko."
Dalam hatinya, Ming tahu pastilah sulit bagi Jessica yang terbiasa tinggal di perumahan elite untuk pindah ke ruko sederhana. Ia memahami ketidaknyamanan tunangannya. Tetapi, ia ingin Jessica belajar menyesuaikan diri dengan kehidupannya. Bukankah seorang istri harusnya ikut suami dan bukan sebaliknya?
"Ada aku, Jess." Ming mengeratkan genggaman tangannya. "Ini juga untuk sementara aja. Sabar ya. Aku lagi kumpulin duit untuk beli rumah buat kita."
"Berapa lama, Ming?" Jessica mengerjap. "Kalau sementara, kita tinggal di rumah yang Papa tawarin bisa juga, kan? Atau di sini? Kamarku lebih besar–"
"Jess, please. Soal detail acara wedding, aku udah banyak ngalah, ikut mau kamu. Tapi soal tempat tinggal, kamu ikut aku, ya?"
Jessica menatapnya nanar, menarik tangan dari genggaman Ming, lalu menjawab lirih, "Aku ... harus mikir dulu. Aku enggak bisa jawab sekarang."
--
Santi meletakkan gagang telepon pada tempatnya. Senyum lebar terulas di wajah manis itu. Semua ini dimulai dengan sebuah pesan singkat yang ia terima beberapa minggu lalu.
Awalnya Santi mengabaikan pesan itu, ia tak merasa kenal dengan pengirimnya. Tapi ia tak bisa menghindar lagi ketika laki-laki itu menemuinya di kampus keesokan harinya.
Teman-temannya mendadak heboh mengetahui Albert, kakak tingkat idaman, mengajak Santi berkenalan. Di fakultas mereka, populasi laki-laki tidak banyak. Mendapat perhatian khusus dari kakak tingkat atau teman laki-laki seangkatannya sensasinya melebihi mendapat durian runtuh.
Bohong kalau Santi bilang pertemuan itu biasa saja baginya. Hatinya jumpalitan melihat senyum yang merekah di wajah Albert. Ia dengan sopan menjabat tangan Santi dan memperkenalkan diri. Bisa saja Santi bilang wajahnya memerah karena terik matahari yang menyorot taman kecil tempat mereka duduk. Tapi ia tahu penyebab sesungguhnya adalah laki-laki yang terus menatapnya dan teman-teman yang menyoraki perkenalan mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hi, It's Me!
Storie d'amoreMichael, atau yang dipanggil Ming oleh orang-orang dekatnya, selalu dipuji sanak saudaranya, dijadikan teladan nyata bagi anak-anak saudara papa dan mamanya. Ia lulus kuliah dengan baik, rela meneruskan usaha papanya, dan memiliki pacar dari keluarg...