Adriana mencoba membiasakan diri dengan keadaan disekitarnya yang serba mewah. Untuk mencapai tempat tinggal yang disebutkan Arthur saja, dia harus menaiki elevator sebelum berhenti di lantai tertinggi. Sesungguhnya Adriana masih belum mampu menyembunyikan kekagumannya terhadap desain bangunan maupun keberadaan gedung-gedung tinggi lain yang menjulang disekitar tempatnya berada sekarang. Seketika tubuhnya terasa amat kecil.
"Maaf, tapi aku tidak bisa menemani anda selama di apartemen."
Adriana mengangguk namun dia berhenti sejenak. "Aku belum tahu namamu, tapi tadi Arthur bilang Ferrel. Itu namamu?"
"Iya Nona. Panggil saja aku Ferrel. Sebaiknya Nona masuk. Sebentar aku akan kembali lagi. Tolong bukakan pintu padaku ya." Kata Ferrel sambil menunjuk pada pintu masuk berwarna biru gelap yang baru dibukanya. Adriana diam sejenak sebelum beranjak masuk ke dalam.
"Ah satu lagi Nona, anda sangat beruntung." Kata Ferrel sambil bersedekap.
Dahi Adriana berkerut. "Beruntung?"
Ferrel mengangguk dengan senyum diwajahnya. "Tidak ada cewek yang berhasil masuk ke apartemen tuan, Nona. Anda-lah yang pertama." Kata Ferrel sebelum beranjak dalam elevator.
Adriana merasa tidak tahu harus bereaksi seperti apa begitu lelaki itu meninggalkannya. Apa yang terjadi dengan kehidupannya bukan sebuah keberuntungan. Bila jujur, Adriana malah berpikir sebaliknya. Namun dia harus mengabaikan semua itu sejenak.
Hal pertama yang menarik tubuh Adriana adalah jendela lebar yang ditutupi tirai tipis berwarna putih. Kaki Adriana secara otomatis tertarik menuju sisi ruangan itu. Begitu Adriana menyibak sebentar, semua pemandangan seisi kota dapat terlihat. Adriana tersentuh namun pikirannya melayang pada adiknya. Semoga semua baik-baik saja di desa. Perlahan dia berjalan mengelilingi tempat itu. Adriana pikir sebagai orang kaya, Arthur seharusnya lebih rapi seperti kelihatannya. Kenyataannya tidaklah demikian.
Merasa mustahil berada pada tempat yang berantakan membuat tangan Adriana gatal membereskan satu sisi dekat jendela. Beragam kertas berceceran dilantai. Belum sisa makanan ringan dan kaleng soda membuat Adriana menggeleng. Entah sejak kapan semua benda-benda itu tergeletak disana. Seusai membereskan semua, Adriana berpaling pada kulkas dua pintu yang memantulkan wajahnya sendiri pada bagian depan permukaannya. Isi kulkas tersebut kosong.
Adriana berpaling pada pintu lain dan membukanya perlahan. Sesuai perkiraannya itu merupakan kamar utama milik Arthur karena figura lelaki itu ada disana. Ranjangnya rapi tak tersentuh. Dominasi warna abu-abu, putih dan biru tua memenuhi interior ruangan itu. Adriana memutuskan mundur dan beralih ke ruangan lain. Dia pikir akan menemukan kamar lain, namun yang ada adalah satu ruangan berisi beragam layar monitor dan rak buku tebal.
"Dimana aku harus tidur?" batin Adriana lantas berbalik dan membuka pintu terakhir yang adalah kamar mandi. Belum selesai, bunyi bel terdengar. Adriana melangkah menuju pintu utama dan menatap sebentar pada pintu tersebut. Tadi Ferrel sempat memasukan beberapa kode pada kotak mengkilap diatas gagang pintu. Bagus, untuk membuka pintu sendiri Adriana tampak bingung. Sebuah monitor kecil didekat pintu menyala, wajah Ferrel muncul disana. Lelaki itu tampak melambaikan tangan.
Adriana menggigit bibirnya. Bagaimana membuka pintu tersebut. Ferrel menangkat sebuah kertas ke arah monitor, Adriana membaca singkat dan mengangguk. Dia mengikuti arahan disana dan pintu pun terbuka.
"Maaf aku lupa menjelaskan teknis mengenai pintu ini Nona."
Adriana mengangguk dan mundur, membiarkan Ferrel berjalan masuk. Ditangan lelaki itu ada beberapa kantong kresek besar. Adriana mengikuti arah lelaki itu menuju pantry.
"Nona, ini barang-barang yang mungkin anda butuhkan. Aku sudah membeli makan malam. Anda harus istirahat lebih awal Nona."
Adriana menimbang untuk bertanya karena dia sendiri bingung harus tidur dimana. Seperti membaca pertanyaan dalam benak wanita itu, Ferrel tersenyum lagi.