Deburan ombak memukul-mukul bibir pantai. Angin kencang sesekali berembus, menerbangkan helai-demi helai rambut hitam pekat milik seorang anak lelaki putih yang duduk di atas pasir.
Matanya nanar. Ada berjuta kesedihan yang nampak dari kedua manik cokelatnya. Ada kerinduan yang menggelegak di dalam sana. Ia merindukan sosok itu. Sosok yang tak pernah ia tatap wajahnya. Sosok yang tak pernah ia ketahui namanya. Ia merindukan sosok itu.
"Nak!"
Panggilan itu tak dihiraukannya. Ia tetap memilih untuk fokus menatap kosong ke depan. Ia sudah muak. Muak dengan kebohongan demi kebohongan yang dibuat oleh ayahnya. Ya, sosok yang kini mendekat duduk di sampingnya adalah ayahnya, yang mulai detik itu, tidak ingin ia tatap matanya.
"Pulang yuk! Sebentar lagi mau hujan. Langitnya sudah mendung."
Adam tak menggubris.
"Adam..."
"Biar saja Adam kehujanan. Gak akan ada yang tahu kalau Adam sedang menangis jika hujan turun."
"Nanti kamu sakit."
"Nggak apa, Adam ingin mati saja. Adam gak mau bertemu ayah lagi!"
Lelaki yang nampaknya masih berusia 30 tahun itu, mulai berkaca.
"Nak, tidak baik bicara seperti itu. Ayah sayang sama Adam, ayah ikhlas besarkan Adam tanpa seorang wanita di samping ayah. Ayah ingin lihat Adam bahagia," ucapnya sedikit gemetar.
"Tapi kebahagiaan Adam itu ibu, Yah!" tangis Adam mulai pecah. "Adam ingin bertemu dengan ibu. Adam ingin tahu seperti apa wajah ibu. Adam ingin dapat kasih sayang ibu, sama seperti teman-teman Adam di sekolah. Hiks.."
"Adam kan punya ayah. Ayah bisa jadi ibu. Ayah bisa masak, ayah bisa mencuci, ayah juga bisa setrika pakaian."
"Nggak! Ayah tetap akan menjadi ayah. Pandai memasak tidak akan bisa merubah kenyataan bahwa ayah hanyalah seorang ayah! Gak usah berlagak sok menjadi pahlawan! Ayah gak pantas!"
Plakk..
Tamparan itu berhasil membuat Adam diam mematung. Tangan mungilnya menyentuh pipi kanan yang terasa panas. Dadanya semakin terasa sesak.
"Ayah gak pernah ajarin kamu untuk berkata kasar. Ayah sayang sama kamu. Ayah cinta sama kamu. Ayah gak mau kamu kecewa setelah tau siapa ibumu." Suara tegas itu terdengar begitu lirih. Air matanya tumpah menyisakan jejak di kedua pipinya.
"Ayah sayang sama Adam. Tolong jangan benci ayah. Ayah mohon..."
Adam berdiri cepat, berlalu meninggalkan sang ayah yang hampir ambruk karena tangisnya yang semakin menjadi.
Keduanya terluka, tapi dengan alasan yang berbeda. Saling memunggungi satu sama lain, keduanya merasa sudah begitu jauh. Tembok perselisihan kian meninggi. Sang anak yang tak ingin melihat ayahnya, sedang sang ayah ingin selalu berada di samping anaknya.
Mulai hari itu, keduanya tak lagi saling menyapa. Ah tidak. Lebih tepatnya, salah seorang di antara keduanya.
_____
KAMU SEDANG MEMBACA
Ayah, Terima Kasih
Teen FictionBerkisah tentang Adam, seorang remaja yang hidup tanpa cinta dari sosok ibunda. Beribu pertanyaan tentang dimana ibunya berada, selalu menghantui pikirannya. Dibesarkan oleh seorang ayah, rupanya tak cukup membuat dirinya bahagia. Permasalahan hidu...