Bunga lily putih, bunga yang melambangkan kesucian dan ketulusan. Seseorang mengatakan padanya saat menunggu mama di depan toko bunga dulu sekali. Saat mama harus kembali memasuki toko dan menitipkan bunga lily putih padanya.
"Ibumu baik hati sekali, sangat sopan dan tulus seperti bunga yang dicintainya."Laki-laki itu memandang bunga ditangan Senja, ia tersenyum simpul. "Jaga ibumu ya nak."
Kala itu, Senja hanya tersenyum menanggapi, tanpa tau siapa orang yang mengajaknya berbicara. Hingga dua hari sepeninggal Raina, orang itu membawa serta beberapa orang datang ke rumah. Mengucapkan bela sungkawa mereka sebagai perwakilan dari banyaknya tuna wisma yang selalu Raina bantu. Mereka datang bersama pemilik toko bunga langganan Raina. Bahkan dulu mamanya masih penuh kasih di saat keuangan mereka sempat memburuk.
Sudah dua minggu sepeninggal mama, Senja sudah merasa sedikit lebih baik dan bisa mengontrol emosinya setelah seminggu lebih mengasingkan diri dari dunia luar. Keluarganya dari jogja Senja paksa pulang karena mereka juga memiliki kehidupan yang harus dijalani. Senja tidak ingin membebani.
"Pikirkan baik-baik ya nang. Senja bisa pulang ke eyang kapanpun."
Budhe dan eyang menawarinya untuk pindah ke Jogja, mereka memberinya kebebasan tanpa menuntut. Senja tau, dia sangat sadar akan orang-orang yang masih ada untuknya. Itu mengapa, ia juga harus berproses dengan cepat. Berusaha menata hatinya kembali. Meski dengan jalan yang sedikit berbeda.
Diantara semua yang memperdulikannya, ada orang-orang terdekat yang bahkan tidak menemuinya lagi setelah pemakaman. Seperti kakek neneknya dari papa, dan papanya itu sendiri. Fajar tidak menemuinya lagi semenjak terakhir kali berbicara padanya di mobil hari itu.
Senja menaruh bunga lily nya di depan nisan mamanya. Jemarinya beralih mengusap nama Raina di sana.
"Pagi, mama cantik. Senja mampir lagi sebelum ke sekolah." Senja tersenyum lembut, seolah benar-benar berbicara pada Raina.
"Hari ini bakal sibuk, Senja ikut penggalangan dana buat bencana alam. Mama selalu suka lakuin itu kan, Senja bakal lakuin juga."
Senja terdiam, merasakan kejanggalan dalam kata-katanya. "Engga, maksud Senja. Senja lakuin ini karna keinginan Senja sendiri kok. Mama cuma memotivasi."
Pemuda yang kurang dari dua minggu lagi berusia 16 tahun itu mempoutkan bibirnya, sadar akan kesalahannya menyampaikan maksud. Jika mama masih ada, mama pasti akan menatapnya dan menuntut jawaban yang lebih baik.
Senyum Senja kembali, mengingat bagaimana hangatnya senyum mama. "Mama, Senja ngga jadi pengen ikut mama. Nanti Pras sama Davin nangis. Mereka kan jelek kalo nangis." Ia terkekeh, membayangkan ekspresi tidak terima dua temannya.
"Enak ya ngejeknya."
Senja menoleh dengan sedikit berjengit karena kaget, Davin datang tanpa disadarinya. Temannya itu berjongkok tepat di seberang Senja. Davin itu paling tidak bisa berjongkok, tumitnya pasti akan terangkat menopang tubuh.
"Pagi tante, Davin manis dateng lagi."
Senja membuat gestur ingin muntah dan mencibir kenarsisan Davin yang tidak Davin perdulikan. Ia masih terus mengatakan banyak hal dan menceritakan sedikit tentang harinya kemarin. Sebelum menutup mata dan berdoa untuk Raina.
"Pras mana?" Tanya Senja setelah Davin menyelesaikan doanya.
"Asal lo tau, tuh anak masih molor. Bodoamat gue kalo dia telat. Gue yakin dia tidur pagi abis mabar."
"Mabar? Sama Geo?"
"Mana ada, Geo kan masih sibuk ospek. Sama temen SMP nya."
Keduanya berjalan beriringan keluar area pemakaman. Davin memperhatikan Senja yang berjalan di depannya. Senja memang tidak terlihat berubah untuk mereka yang hanya tau Senja dari jauh. Tapi, untuknya dan Sirkel B, Senja sudah mulai sedikit berbeda dan itu membuat Davin resah.
Davin hanya berharap, Senjanya akan baik-baik saja. Sudah cukup Arka yang menyebrangi batas mereka dan menjauhkan diri.
Ponsel Senja berbunyi, anak itu mengeluarkannnya dari saku dan menoleh pada Davin, nengatakan tanpa suara bahwa Rean yang menelpon.
"Kenapa yan?"
"Lo kenapa kemaren ketemu sirkel Agra?"
Davin mengernyit melihat keterdiaman Senja. Dia tidak tahu apa yang Rean katakan hingga membuat Senja kehilangan kata-katanya.
■ S E N J A ■
Davin dan Senja berhenti di depan penjual bubur ayam, jam masih menunjukkan pukul enam lebih dua puluh. Mereka benar-benar berangkat pagi buta ke makam Raina.
Pagi ini sudah lumayan ramai, mengingat stasiun ada di dekat sini. Banyak orang yang mampir membeli makan sebelum bepergian.
Senja menilik sekitar, mencium aroma jalanan yang sudah sedikit tercemari asap kendaraan. Pandangannya terhenti tepat di depan penjual nasi uduk, di mana dua orang telah mencuri atensinya. Arka dan neneknya. Arka mengenakan kemeja putih dan celana hitam, outfitnya untuk ospek pagi ini.
Rahang Senja mengeras, bahkan Arka mengambil kasih neneknya. Senja terkekeh kemudian hingga menarik perhatian Davin yang kini mengikuti arah pandangnya.
'Gila, cucunya sendiri ga dijenguk malah main sama cucu tiri.'
Davin tau, dia sudah sangat buruk karena perlahan semakin tidak menyukai Arka. Tapi, perasaan kecewanya tidak bisa hilang seperti Geo dan yang lain.
"Udah ga usah diliat. Mending makan sekarang keburu siang."
Senja mengangguk, menerima satu mangkuk bubur dari penjual dan duduk di sebelah Davin.
"Ga peduli juga, ga penting."
Harusnya Davin senang, Senja tidak menaruh rasa sedih untuk hal ini. Tapi, dia justru semakin resah. Senja, benar-benar sedikit berbeda.
'Jangan hilang arah Senja.'
■ S E N J A ■
inget Agra ngga? mantan Audrey. Kakak kelas Senja Davin dulu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Crepuscule [JJK] ✔
FanfictionCrepuscule (n.) the time from when the sun begins to set to the onset of total darkness. Mama bilang, Senja dilahirkan sesaat setelah matahari terbenam, menyisakan cahaya merah yang kemudian hilang diantara kegelapan. Mama bilang, Senja adalah milik...