“Kerja yang bagus, apa kamu mendengar kabar mengenai keluarga mereka?”
“Ya, Bos. Kemarin kami melihat target pergi membawa koper dengan seorang lelaki. Target juga menangis.”
Angeline tertawa puas. Keinginannya membuat Adrian membenci hingga meninggalkan Fay sudah satu-persatu berhasil.
“Baik, terima kasih.” Angeline menyodorkan segepok uang dalam amplop pada orang suruhannya. Kemudian pergi. Kini saatnya dia masuk kembali pada hidup Adrian.
°•°
“Ayo, Pak. Sudah jam berapa ini? Kita bisa-“
Fanya berhenti bicara ketika Erwin menaruh tangannya di bibir. “Sebentar, kamu sudah dibilangin panggilnya jangan ‘Pak' juga ngeyel, ya.”
“Ih, sekarang bukan waktunya berdebat. Kita harus cepat ke Jakarta. Saya rindu dengan Fay. Pasti dia sedang berbahagia atas pernikahannya.”
“Bapak baik-baik saja?” tanya Fanya. Erwin mengernyit. “Apa maksudmu? Saya baik-baik saja.”
“Hehe saya kira Bapak belum bisa move on.”
“Kamu kurang jelas apa, sih? Sudah saya bilang saya mencintai kamu.”
“Heh, Pak. Saya ini wanita tangguh dan tidak mudah ditaklukkan. Meski sudah lama saya menyukai Bapak. Tapi saya harus lihat dulu sampai mana perjuangan Bapak menaklukkan saya.”
“Oh, ya?”
Erwin mendekat ke arah Fanya. Bibirnya terangkat sebelah, masih memandang lekat lawannya.
Erwin melebarkan kedua tangan, merengkuh Fanya masuk dalam dekapan. Erwin mencium kedua pipi Fanya secara bergantian. Fanya hanya diam tak berkutik. Semburat merah hinggap di pipi.
“Kamu lemah,” bisik Erwin.
“Kamu mau ditaklukkan bagaimana lagi? Kamu baru dicium saja sudah tak berkutik.”
“Ekhem!”
Fanya dan Erwin menoleh. Kemudian keduanya sama-sama menyengir lebar ketika mendapati Ibu Fanya dengan kursi rodanya ada di pembatas dapur dan ruang tengah.
“Kok malah mesra-mesraan, katanya tadi sudah terlambat. Nggak takut nanti ketinggalan pesawat?”
Keduanya hanya mengangguk, kembali mencium tangan ibunda dan melenggang pergi dari rumah tak seberapa luas itu.
°•°
“Nur, bisa tolong bantu balikin ikan? Aku mau angkat telepon, nih.”
“Iya, Fay. Siap!”
Fay memang melarang Nur memanggilnya dengan embel-embel Mbak apalagi Non. Mereka hanya beda satu tahun. Tinggal beberapa bulan lagi ternyata umur Fay genap 22 tahun.
“Siapa sih yang telepon? Nggak sabaran banget.”
Fay terlebih dulu mengelap tangannya yang basah. Kemudian merogoh ponsel yang ada dalam saku.
Tanpa melihat nama, Fay mengangkat panggilan.
“Siapa sih, ini? Ganggu aja deh,” dengkusnya. Orang di seberang terkikik.
Fay mengenali suara itu, Fay melihat layar dan seketika memutuskan panggilan.
“Untuk apa lagi menghubungiku?”
Nur mendekati Fay yang duduk di kursi sembari menaruh ikan yang sudah matang. Gadis itu menggeret kursi ke belakang dan mendudukinya di sisi Fay.
“Sudah semua, ayo makan!” ajak Fay.
YOU ARE READING
Jodoh untuk Faynara (TAMAT-BELUM REVISI)
RomanceKesakitan yang didapat dari kedua lelaki yang pernah dipanggilnya ayah juga kematian sang ibu dua tahun lalu, membuat Gilsha Faynara membenci seorang laki-laki. Pertemuannya dengan dokter muda melalui sebuah peristiwa membuat hatinya goyah. Dengan...